Minggu, 11 Januari 2009

Tasawuf Menurut Ibnu Taimiyah

(Khusus untuk pengikut Abdul Aziz Abdullah Bin Baaz)
Oleh: Dr. Thiblawy Mahmoud Saad

Tingkatan Sufi Menurut Ibnu Taimiyah

Ibnu Taimiyah membagi tingkatan sufi menjadi tiga
macam; Shufiyah Al-Haqaiq (Tasauf Ekstensialis),
Shufiyah Al-Arzaq (Tasauf Essensialis) dan Shufiyah
Al-Rasmi (Tasauf Simbolis).

Mengenai Shufiyah Al-Haqaiq, Ibnu Taimiyah berkata;
"Kaum sufi adalah jamaah orang-orang yang jujur dan
dipercayai karena kejuhudannya dan ketekunannya dalam
beribadah, maka hanya merekalah yang patut mendapat
sebutan itu. Dan ada pernyataan seseorang mengatakan,
bahwa kaum sufi itu adalah paling jujurnya ulama dan
pemerintahan/penguasa, tanpa mengkhususkan pendapatnya
kepada kaum sufi yang hidup pada masa Rasulullah
(sahabat), kaum sufi dari tokoh tabi’ien atau
tabi’it-tabi’ien.

Bila mereka dijuluki sebagai orang-orang yang jujur di
Bashrah, maka para ulama fiqih daerah Kufah juga
disebut orang-orang yang jujur dari Kufah. Dan mereka
semua selalu berhati-hati di dalam menempuh jalan
menuju ridha Allah dan Rasul-Nya, sebagai beban
tanggung jawab mereka sebagai tokoh yang diteladani
kaumnya. Kedua, pandangan Ibnu Taimiyah tentang
Shufiah Al-Arzaq. Ia berkata; "Mereka adalah kaum sufi
yang sangat berhati-hati di dalam beribadah..."
kemudian Ibnu Taimiyah melanjutkan kata-katanya
tentang Shufiyah Al-Arzaq; "Mereka adalah kaum sufi
yang sebutannya terbatas pada cara berpakaiannya
(wool) saja, atau tingkah lakunya dalam pergaulan
sebagai contoh teladan bagi pengikut mereka."

Pandangan Ibnu Taimiyah terhadap Kepribadian Kaum Sufi
dan Kitab-Kitab Tasauf

Ibnu Taimiyah berkata, "Di dalam memahami jalan hidup
yang ditempuh kaum sufi, orang-orang ramai yang keliru
memandang mereka, bahkan mengecam tasawuf sebagai
sumber ilmunya. Orang-orang itu pun berkata; kaum sufi
adalah kelompok ahli bid’ah, yakni orang yang
ibadahnya menyimpang dari ajaran sunnah Nabi, namun
banyak diikuti oleh beberapa aliran, karena mereka
mengaku sebagai paling istimewanya makhluk setelah
para Nabi."

Dan Ibnu Taimiyah menyanggah pendapat ini dengan
kata-katanya; "Yang benar..., mereka adalah
hamba-hamba yang taat kepada Allah untuk mendapatkan
ridha-Nya, seperti sahabat Nabi dahulu. Di antara
mereka ada yang mendekatkan diri kepada Allah dengan
ketekunan ibadahnya, ada pula yang melalui safar
(perjalanan musafir). Namun sesekali mereka ada yang
keliru melangkah, maka dia bertaubat memohon ampunan
atas kesalahannya." Pada pendapatnya ini Ibnu Taimiyah
menjelaskan ruh tasamuh (ramah dan murah hati) kaum
sufi dan ahli salaf.

Ibnu Taimiyah akan menerangkan kepada kita tentang
beberapa karya tulis sufi yang diantaranya adalah
hasil rujukan dari kitab-kitab pendahulu mereka. Ia
juga menyebutkan perbedaan-perbedaan yang mesti
dibantah dan hadis-hadis dha’if dalam kitab itu. Akan
tetapi dari cacat dan kebaikan suatu kitab, kita tidak
akan luput dari manfaat yang ada di baliknya.

Suatu waktu, Ibnu Taimiyah pernah diminta komentarnya
tentang kitab Ihyaa ‘Ulumuddien, karangan al-Ghazali
dan kitab Qutul Qulub (Makanan Hati) karangan Abu
Thalib al-Makki. Ia menjawab; "Kitab-kitab itu telah
membawa dampak yang cukup besar di dalam membina rasa
sabar, syukur, cinta kasih kepada Allah, tawakkal, dan
tauhid seseorang. Maka Abu Thalib lebih banyak
mengetahui daripadaku mengenai orang yang ahli dalam
ilmu hati dari kalangan sufi."

Setelah itu Ibnu Taimiyah memuji kata-kata al-Makki
dan berkata; " Wawasannya luas sekali dan jauh dari
faham bid’ah. Padahal sulit sekali kita dapatkan hadis
yang menunjukkan cara pembinaan hati, walaupun ada,
itu adalah hadis dha’if dan maudhu’."

Dan Ibnu Taimiyah menjelaskan, bahwa pembahasan
al-Ghazali tentang Al-Mukhlikat (sifat-sifat yang
merusak) dalam kitabnya yang berjudul Ihyaa Ulumuddien
dipengaruhi oleh Al-Muhasibi melalui karya tulisnya
Ar-Ri’ayah li Huquqillah."

Ibnu Taimiyah berkata: "Sedangkan pembicaraan
al-Ghazali tentang sifat-sifat yang merusak (
al-Mukhlikat) dalam kitab Ihyaa Ulumuddiennya seperti
sifat sombong, riya, hasud dan lain-lain. Adalah
nukilan dari kitab Ri’ayah al-Muhasibi diantara
pendapatnya ada yang diikuti, ada yang ditentang dan
ada yang menimbulkan berbagai pendapat ulama. Tetapi
kitab Ihyaa Ulumuddien banyak mengandung manfaat."

Ibnu Taimiyah tidak terlalu fanatik dengan karya
al-Ghazali itu. Buktinya, Ia menganggap banyak faedah
yang terkandung dalam kitab Ihyaa Ulumuddien, tetapi
ia berkata; " Dalam kitab itu ada materi pembahasan
yang tercela sungguh di sana terdapat fikiran-fikiran
filosof yang merusak tentang tauhid, kenabian, alam
akhirat dan lain-lain.

Sampai tokoh Muslimin pun memungkiri karya tulis Abu
Hamid. Maka berkata; "Apakah dia berpura-pura sakit?"
sebagaimana diucapkan oleh Abu Bakar Ibnu al’Arabi,
al-Hafid al-’Iraqi juga menyebutkan beberapa hadis
dha’if dalam kitab Ihyaa Ulumuddien.

Barulah kemudian Ibnu Taimiyah berbicara tentang
kandungan kitab Ihyaa Ulumuddien yang penuh kebaikan
menuju ibadah dan penjelasan sekitar masalah pekerjaan
hati, di samping penjelasannya mengenai peranan tokoh
sufi yang bijaksana. Ia berkata,"Di dalam kitab Ihyaa
Ulumuddien itu terdapat pandangan tokoh sufi yang
bijaksana dan alim dalam mengetahui
perbuatan-perbuatan hati berdasarkan al-Quran dan
Sunnah Nabi.

Karya-Karya Tulis Sufi Ibnu Taimiyah
1. At-Tuhfah al-’Iraqiyah fi A’mal al-Qalbiyah
(Kalangan Iraq tentang perbuatan-perbuatan Hati)
Dalam kitab ini Ibnu Taimiyah berkata; "Pembahasan
singkat tentang kekuatan (peran) hati dalam kehidupan
menusia yang kita sebut dengan ahwal dan maqaamat
adalah sebahagian dari dasar kepercayaan dan rasa
cinta kepada Allah dan Rasul-Nya, tawakkal, ikhlas,
syukur, sabar (menerima takdir Allah), takut (kepada
Allah), raja’ (berharap kepada Allah).

Dan akan kita ketahui, bahwa Ibnu Taimiyah sering
menggunakan istilah-istilah kaum sufi terdahulu di
dalam kitabnya, seperti kata al-maqamat wal-ahwal."
Istilah ini sudah lama dikenal dan dipergunakan oleh
mereka.

Di dalam menafsirkan makna al-Maqamat wal-ahwal, Ibnu
Taimiyah menyamakannya dengan arti rasa cinta,
tawakkal, ikhlas, raja’, takut kepada Allah (khauf)
dan syukur. Dan dalam risalahnya ini, ia
menjelaskannya secara rinci sebagaimana lazimnya
kitab-kitab para sufi.

Qaidatul Mahabbah (Dasar Cinta Kasih)

Ibnu Taimiyah adalah seorang sufi yang memiliki rasa
cinta. Berikut pernyataannya dalam risalah berjudul
"at-Tuhfah al-’Iraqiyah fil A’mal al-Qalibiyah"; "...
Adapun langit, bumi dan apa yang berada diantara
keduanya, matahari, bulan, gugusan bintang dan lapisan
atmosfir serta awan, hujan, juga tumbuh-tubuhan adalah
tanda kekuasaan Allah yang dititipkan kepada langit
dan bumi yang patuh mengerjakan segala perintah yang
dititahkan kepadanya.

Pada akhir risalahnya itu, Ibnu Taimiyah berkata:
"Sudah kita ketahui, bahwa semua gerakan unsur dalam
itu adalah bersumber dari rasa cinta kasih kepada sang
Khalik (pencipta)". Dan satu-satunya cara Ibnu
Taimiyah mencintai Tuhannya adalah menganut ajaran
agama yang diridhai Allah, karena hanya itulah
satu-satunya perantara yang akan menyampaikan semua
amal baiknya kepada Illahi.

Ibnu Taimiyah menyebutkan bahwa ia setuju dengan
pandangan al-Fadhil bi ‘Iyadh tentang sebuah ayat
al-Quran: "Agar Dia menguji siapakah di antara kamu
sekalian yang lebih amalnya." (Hud:7)

Kemudian dia melanjutkan; ...dengan ikhlas dan benar:
Murid-muridnya bertanya; "mengapa mesti ikhlas dan
benar?" AL-Fadhil menjawab; "Karena Allah tidak akan
menerima perbuatan benar tanpa didasari ikhlas Lillahi
Ta’ala, pun sebaliknya Dia tidak meridhai amal yang
kamu dasari hati ikhlas sedang itu adalah perbuatan
salah, maka amalmu harus didampingi keduanya, ikhlas
dan benar".

Seperti juga Asy-Syubli meriwayatkan, bahwa Ibnu
Taimiyah berpandangan .... "rasa cinta harus
dibuktikan dengan melaksanakan perintah Allah." Dan ia
mengulang kata-katanya; "rasa cinta itu menuntut
dilaksanakannya kewajiban dengan sempurna, dan
kesempurnaan cinta kasih akan membawa kepada amal yang
sempurna pula. Sedangkan maksiat adalah suatu hal yang
mengurangi cintanya seorang hamba."

Berikut ini Asy-Syubli berpendapat tentang cinta
kepada Allah:

"Kamu durhaka kepada Allah, padahal kamu berharap
cintanya. Hal itu jelas tidak logik, bila cintamu itu
tulus, pastilah kamu mentaatinya. Sesungguhnya orang
yang bercinta itu patuh kepada yang dicintainya."

2. Kitab Al-Istiqamah

Salah satu judul buku sufi Ibnu Taimiyah yang lain
adalah "Qaidatun fi Wujubil Istiqamah wal
I’tidal(prinsip dasar kejujuran dan keadilan). Setelah
mendengar penjelasan Ibnu Taimiyah dalam buku ini,
kelompok Mu’tazilah dan Asy’ariyah beserta para
pengikutnya mengecamnya dengan ilmu kalam. Namun tidak
mudah bagi ulama sufi untuk mengikuti kelompok
tersebut, karena telah merasa jemu dengan ilmu kalam
mereka, bahkan ketekunannya menelaah karya-karya sufi
Ibnu Taimiyah semakin meningkat.

Di dalam bukunya itu pula, Ibnu Taimiyah menulis satu
fasal yang merupakan sanggahan terhadap risalah Abu
al-Qasim al-Qusyairi. Ibnu Taimiyah berkata: "Ada satu
pasal dalam risalah Abu al-Qasim al-Qusyairi yang
terkenal itu menyebutkan adanya perpecahan pandangan
kaum sufi terhadap ilmu kalam. Dan dia menyatakan
sebagian kaum sufi menyokong pada kelompok Asy’ariyah.
Itu hanyalah dugaan Abu al-Qasim al-Qusyairi
sebagaimana halnya Abu Bakar bin Faruk dan Abu Ishak
Al-Asfarayaini. Kemudian Ibnu Taimiyah menambahkan;
"Abu al-Qasim itu telah membuat bingung kaum sufi
dengan ilmu kalam kelompok Asy’ariyah dan Kilabiyah."

Seringkali Ibnu Taimiyah menerangkan kedudukan tokoh
kaum sufi, bahwa mereka tetap berpegang pada ajaran
sunnah Nabi dan sebaliknya menolak pandangan kelompok
Kilabiyah dan Asy’ariyah yang menganut faham ilmu
kalam. Kata-kata Ibnu Taimiyah ini adalah sindiran
kepada al-Qusyairi. Pada akhir kitabnya ini Ibnu
Taimiyah lebih banyak menyanggah ilmu kalamnya
al-Qusyairi. (Disarikan dari "Tasawuf Menurut Ibnu
Taimiyah karya Dr. Thiblawy Mahmoud Saad)

Tidak ada komentar: