Kamis, 29 Januari 2009

Membaca Surat Yasin

Membaca Surat Yasin

Ada sebuah hadits yang menyebutkan bahwa “Yasin lima quriat lahu”, artinya surat Yasin dibaca sesuai niat si pembaca. Yasin dapat dibaca saat kita mengharap rezeki Tuhan, meminta sembuh dari penyakit, menghadap ujian, mencari jodoh, dan lain-lain.

Akan tetapi, dalam praktik sehari-hari, akhir-akhir ini masyarakat sudah mentradisikan membaca Yasin dalam majelis-majelis kecil di kampung-kampung. Bahkan sudah lazim bacaan Yasin digabung dengan Tahlil. Tahlil dan Yasin telah menyatu menjadi bacaan orang-orang NU, dan selalu dapat kita dengar dari kelompok-kelompok kecil, kadang di siang hari, sore hari, malam hari, dan pagi hari.

Lebih dari itu, surat Yasin sudah menjadi kebiasaan masyarakat bila salah satu keluarga ada yang sakit kritis. Surat Yasin dibaca dengan harapan jika bisa sembuh semoga cepat sembuh, dan jika Allah menghendaki yang bersangkutan kembali kepada-Nya, semoga cepat diambil oleh-Nya dengan tenang.

Ada kalanya Yasin dibaca sendirian, ada juga bersamaan dengan tetangga yang lain. Yang jelas, orang yang sakit sudah ridak ada harapan lagi untuk sembuh karena tanda-tanda akan diakhirinya ke­hidupan ini sudah jelas. Dan surat Yasin menjadi pengantar kepulangannya ke hadirat Allah.

Dalil orang-orang NU membaca surat Yasin ini adalah, pertama dalam hadits riwayat Nasa'i bersumber dari Ma'qal bin Yasar al-Muzan mengatakan, Rasulullah SAW pernah bersabda:

اقْرَؤُا يس عِنْدَ مَوْتَاكُمْ

“Bacalah surat Yasin di samping saudaramu yang sedang sekarat.”

Hadits ini juga berlaku bagi yang masih hidup untuk membacakan Yasin untuk yang sudah meninggal. Persis seperti sabda Rasulullah: Laqqinu mautakum La ilaha illallah (Tuntunlah orang mati dengan kalimat La ilaha illallah). Dan termasuk dalam hadits ini adalah bacaan Yasin di atas makam. (Demikian penjelasan dalam kitab Kasyifatus Syubhat, hlm. 263)

Dalam hadits Ma'qal bin Yasar tersebut juga disebutkan bahwa:

يس قَلْبُ القُرْآن لَا يَقْرَؤهَا رَجُلٌ يُرِيْدُ اللهَ وَالدَّارَ الآخِرَةَ إلَّا غَفَرَ لَهُ اقْرَءُوْهَا عَلَى مَوْتَاكُمْ

Surat Yasin adalah jantung Al-Qur'an. Siapa saja yang membacanya semata-mata karena Allah dan berharap kebahagiaan akhirat maka ia akan diampuni. Maka bacakanlah Yasin di samping saudaramu yang sedang sekarat.

Diriwayatkan juga: jika seorang muslim dan muslimah dibacakan surat Yasin ketika mendekati ajal maka akan diturunkan 10 malaikat berkat dari huruf-huruf Yasin yang dibaca. Para malaikat itu berdiri berbaris di samping yang sakit, membacakan shalawat dan istighfar kepadanya dan ikut menyaksikan saat dimandikan dan mengantarkan ia ke makam. (Tafsir Yasin lil Hamamy, hlm. 2)

Dalam kitab Audhaul Ma’ani Ahadits Riyadh as Shalihin disebutkan bahwa bacaan surat Yasin untuk yang sedang mendekati ajal akan menjadi bekal dia, seperti halnyaa ia membawa susu kental dalam perjalanan. Dan surat Yasin pada dasarnya dapat dibaca untuk seseorang setelah meninggal di rumah atau bahkan di makam. (Audhaul Ma’ani, hlm. 376)


KH Munawwir Abdul Fattah
Pengasuh Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta

Rabu, 28 Januari 2009

Memutarbalikkan Sejarah

Memutarbalikkan Sejarah

Setiap menjelang bulan November orang kembali mengungkit sejarah sesuai dengan kepentingan masing-masing. Tetapi sayang penggalian sejarah itu sering kali sambil melakukan penguburan sejarah atau sedikitnya membelokkan bahkan memutarbalikkan sejarah. Hal itu dilakukan untuk membenarkan tindakan yang keliru di masa lalu. Seterusnya mereka berharap untuk mendapatkan gelar kepahlawanan, seperti yang terjadi belakangan ini.

Sebelum M. Natsir dipromosikan sebagai pahlawan nasional, berbagai ulasan mengenai sejarah PRRI dipublikasikan besar-besaran, sehingga seolah gerakan itu bukan pemberontakan, tetapi semata gerakan kritik terhadap pemerintah pusat. Ketika PRRI-Permesta tidak lagi dianggap pemberontakan maka para pimpinannya seperti Natsir, Safruddin Prawiranegara dan Soemitro Jojohadikukumo, bukan pemberontak, tetapi pengkritik kebijakan pemerintah yang sentralistik. Karena itu mereka mendapat julukan tokoh demokratis, berhadapan dengan Bung Karno yang otoriter.

Ada beberapa inkonsistensi dalam persepsi semacam itu. Pertama, kalau PRRI itu sebuah gerakan kritik, bukan pemberontakan, mengapa melibatkan berbagai panglima daerah, dan menggunakan senjata dan dilakukan di hutan, dan didanai dengan cara membobol Bank Indonesia dan asing, serta mendapat amunisi dan persenjataan dan personil tentara dari luar negeri?

Kedua, bukankah saat itu zaman demokrasi liberal atau demokrasi parlementer, di mana kekuasaan bukan di Presiden tapi di parlemen, sehingga kritik bisa dilakukan di parlemen, karena partai politik para pemberontak itu juga sebagai anggota Konstituante, anggota DPR dan anggota kabinet?

Ketiga, kalau mereka mengaku demokratis kenapa kritik dilakukan dengan kekerasan bahkan dengan pembantaian?

Dengan cara pandang semacam itu maka kambing hitam diarahkan pada Bung Karno, sebagai pemimpin yang otoriter dan sentralistik untuk itu harus dilawan. Dengan senjata maupun tanpa senjata, dengan opini. Para sejarawan pada umumnya sepakat dengan pemutarbalikan sejarah bangsa itu, sehingga para tokoh pemberontak, yang menyengsarakan rakyat, sehingga ratusan ribu warga Minang eksodus, ekonomi dan pendidikan setempat hancur lebur dan menjadikan orang Minang kehilangan kepercayaan diri selama beberapa dekade. Mereka yang mengacaukan negara dan menyengsarakan rakyat dielukan sebagai pahlawan demokrasi dan kebebasan.

Dengan cara pandang seperti itu maka Bung Karno ditempatkan sebagai orang yang salah, sehingga harus meminta maaf pada para pemberontak itu. Seperti disampaikan oleh Sekjen PKS Anis Matta bahwa Bung Karno melakukan Kesalahan dengan Memenjarakan Natsir, Syahrir dan sebagainya, termasuk Hamka. Padahal Bung karno telah berusaha mengampuni mereka yang terlibat pemberontakan asal meminta maaf, tetapi mereka tidak meminta maaf, hanya beberapa perwira seperti Husein dan Simbolon yang meminta maaf dan dimaafkan, karena mengaku bersalah mengangkat senjata melawan negara.

Bung Karno akhirnya tidak memanfaatkan pemberontak PRRI, sebab mereka telah membuat negara dalam negara. Dan Bung Karno melakukan serangan terhadap PRRI itu setelah mendapat restu dan dorongan dari Bung Hatta, yang dilaksanakan oleh Panglima perang Nasution dan dikomandani oleh Ahmad Yani.

Kenapa yang disalahkan hanya bung Karno tidak turut menyalahkan Hatta yang keras terhadap pemberontak, dan kenapa tidak melakukan serangan terhadap Nasution yang membasmi pemberontakan itu dengan persenjataan lengkap, dan terutama Ahmad Yani yang membasmi kekuatan PRRI di lapangan? Kalau Natsir dan Sjahrir dipenjara tanpa pengadilan hal itu dibenarkan secara hukum, karena saat itu negara sedang darurat militer, sehingga militer berhak menahan siapa saja yang dicurigai sebagai pelaku sebversi. Padahal Bung Karno sudah sangat berlapang dada, ketika PSI dan Masyumi hendak dibubarkan, para pemimpin kedua partai itu diundang ke istana. Tetapi karena tidak pernah ada klarifikasi baik dari Soekiman maupun dari Sjahrir maka terus dibubarkan dan para pemimpinnya yang terlibat di penjara.

Sebenarnya pemberian gelar pahlawan kepada siapapun tidak ada masalah apalagi pada orang orang yang jelas sumbangannya pada negara ini, seperti tokoh-tokoh di atas. Tetapi pemutarbalikan sejarah itu urusan lain lagi. Karena itu yang dilakukan dalam rekonsiliasi adalah pengampunan atau dimaafkan kesalahannya, bukan melupakan tindakannya. Sejarah tidak boleh dilupakan kalau dilupakan orang akan tersesat dan akan terjerumus pada jurang yang sama. Itu yang utama.

Kenapa NU peduli dengan masalah ini, tidak lain karena sejak awal NU mengutuk tindakan PRRI-Permesta dan menyatakan sebagai bughat (pemberontakan), karenanya pemerintah dan segenap rakyat harus menghadapi pemberontakan seperti itu. Kalau sampai itu dikatakan bukan sebagai pemberontakan maka keputusan NU dan pemerintah itu dianggap salah, padahal keputusan NU itu merupakan sebuah pemikiran dan sikap logis dalam bernegara. Sebagaimana pemerintah, NU menghendaki adanya rekonsiliasi untuk memaafkan tindakan mereka, tetapi peristiwa itu tidak boleh dilupakan. Selama ini mereka tidak pernah minta maaf karena merasa tindakannya tidak salah.

Sayangnya kesadaran sejarah di kalangan NU juga masih rendah sehingga begitu gampang mengikuti pandangan sejarah orang lain, sehingga bukan membela kesejarahannya sendiri yang dibelokkan orang tetapi justru membela pembelokan sejarah yang dilakukan kelompok lain.

Seperti kelompok Imam Azis di yogya yang dianggap oleh para kiai terlalu bersemangat membela bekas PKI, menjadi seolah menyalahkan NU dalam peristiwa 1965. Padahal saat itu sedang terjadi konflik horizontal, sehingga terjadi penyerangan terhadap kedua belah pihak. PKI bukan korban tapi aktor, hanya saja kemudian kalah. Di sisi lain, di Jakarta, Lukman Hakim Syaifuddin yang dengan naifnya ikut membela PRRI dan merehabilitasi para tokohnya, padahal NU mengutuk pemberontakan itu.

Sementara kesejarahan NU yang menjadi pemeran utama dalam Revolusi November di Surabaya banyak digelapkan orang, mereka hanya diam saja. Selama peringatan Hari pahlawan itu beberapa tokoh dan sejarawan diwawancarai, tetapi beberapa tokoh seperti Rosihan Anwar maupun sejarawan Aminuddin Kasdi sama sekali tidak menyebut peran NU di sana. Padahal perang November itu terjadi akibat Resolusi Jihad yang dikeluarkan oleh KH Hasyim As'ari yang kemudian dikobarkan melalui radio oleh Bung Tomo.

Demikian juga mereka menggelapkan tokoh pelaku penyobekan bendera Belanda yang berkibar di atas Hotel Oranye Surabaya itu. Padahal dengan jelas disaksikan banyak orang bahwa pelaku penyobekan bendera setelah berhasil memanjat puncak hotel itu adalah Cak Arie, seorang anggota Pemuda Ansor NU Cabang Surabaya.

Pembelokan sejarah itu terjadi seringkali karena kehilangan bukti. Karena itu pelurusan sejarah hanya bisa dilakukan dengan menghadirkan saksi sejarah, arsip-arsip dan dokumen serta berbagai artefak yang tersedia. Tetapi persoalannya sekarang ini saksi telah banyak yang meninggal, arsip tidak terawatt, bahkan berbagai dokumen penting telah dicuri oleh pihak lain. Maraknya perburuan naskah kuno baik naskah Melayu, Naskah Jawa, Naskah Bugis dan sebagainya, oleh bangsa lain merupakan ancaman bagi kelurusan sejarah. Tanpa adanya sejarah tidak mungkin suatu bangsa memiliki rasa percaya diri, tak memiliki identitas dan integritas.

Dengan memahami sejarah maka rekonsiliasi bisa dilaksanakan dengan lancar dan proporsional. Melakukan rekonsiliasi bukan asal-asalan, apalagi hanya sebagai politik dagang sapi untuk meraih kekuasaan. Dalam rekonsiliasi harus diungkapkan kebenaran yang sesungguhnya, bukan kebohongan, karena itu harus ada pengadilan, melalui pengadilan itulah ditentukan mana pihak yang salah dan pihak yang benar. Lalu di situ bisa saling memaafkan.

Disitulah rekonsiliasi itu tidak hanya mengandung kebenaran, tetapi juga memuat keadilan. Karena itu tidak bisa dilalui dengan memutarbalikkan sejarah, agar kesalahan kabur, dan disulap menjadi kebenaran, tetapi harus dilalui dengan pemahaman sejarah yang jujur dan adil. Dengan cara yang benar, adil dan prosedural itulah rekonsiliasi yang sebenarnya bisa dicapai dengan cara itu kerukunan dan persatuan nasional akan lebih kokoh. (Abdul Mun'im DZ)

Selasa, 27 Januari 2009

Usaha Menyembunyikan Sejarah

Usaha Menyembunyikan Sejarah

Perubahan sikap suatu kelompok cenderung disertai perubahan pandangan terhadap masa lalu. Tindakan masa lalu yang oleh umum diangap sebagai suatu tindakan naïf, atau bahkan noda hitam lalu berusaha ditutupi. Agar mereka tidak disisihkan dalam pergulatan sosial politik saat ini. Langkah itulah yang ditempuh beberapa kelompok untuk menyembunyikan bahkan menghapus sejarah hitam mereka sendiri.

Kalau selama ini pemerintah dan beberapa ormas Islam turun tangan soal penghilangan keterlibatan Partai Komunis Indonesia (PKI) dalam peristiwa 1965, yang dianggap sebagai upaya partai terlarang itu untuk cuci tangan, padahal kekejaman partai itu masih dirasakan sebagian besar generasi yang hidup saat itu. Ini karena masyarakat tidak cermat membedakan mana realitas empiris dan mana realitas konstruktif (rekayasa).

Belakangan ini juga ada usaha menyembunyikan sejarah pemberontakan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) dan Permesta tahun 1950-an yang dilakukan oleh Partai Masjumi dan Partai Sosial Indonesia, terbukti keterlibatan beberapa tokoh utama kedua partai politik itu. Namun sekarang disebutkan pergolakan bersenjata itu bukan pemberontakan, tetapi kritik terhadap pemerintah pusat. Pandangan ini ditulis dalam berbagai buku, berbagai seminar dan artikel di Koran. Sebagai upaya cuci tangan yang memanipulasi realitas sejarah.

Kalau sebagai sebuah kritik terhadap pemerintah pusat, kenapa kelompok itu menamakan dirinya sebagai pemerintah, bukankah pembentukan pemerintah ketika masih ada pemerintahan yang sah itu sama dengan pemeberontakan. Kalapun masih disebit sebagai kritik, kenapa kritik dilakukan di hutan-hutan dengan menggunakan senjata, melakukan pertempuran. Apalagi mereka memperoleh suplai dengan menjarah uang negara dan mengundang pasukan asing memasukkan senjata untuk melawan pemerintah dan negara sendiri. Ini jelas pemberontakan, apalagi salah seorang pasukan asing seperti lan Pope berhasil ditangkap dan mengakui perbuatannya.

Sejaak awal sikap NU sangat jelas terhadap gerakan DI-TII dan PRRI Permesta, semuanya adalah bughat (pemberontakan) karena itu harus ditumpas. Bahkan oleh yang paling tegas menghadapi berbagai ulah kaum separatis dan pemberontak itu adalah Bung Hatta, bahwa sikap mereka itu sudah menciptakan Negara dalam Negara karena itu mendorong Bung Karno yang masih ragu-ragu agar segera menggempur mereka. Ketika pemberontah menyerah Bung karno mau memaafkan mereka. Tetapi Bung Hatta tak pernah memaafkan para pemeberontak itu, terbukti tidak maui ditemui para pemberontak sampai akhir hayatnya.

Dengan berpegang pada sikap NU pada saat itu dan pandangan Bung Hatta sebagai orang yang namanya dicatut untuk melakukan pemberontakan itu kita tidak mudah dikelabuhi dan dimanipulasi baik para politisi maupun sejarawan kanan yang berusaha memanipulasi sejarah di tengah masyarakat yang transparan.

Untuk mengsambil sikap nasionalis yang tegas itu bagi NU tidak mudah, tetapi penuh resiko yang ditanggung hingga saat ini. Akibatnya oleh sejarawan NU dicap sebagai oportunis, karena kebetulan skapnya sama dengan pendirian pemerintah mengenai keutuhan Negara. Padahal itu sangat tegas dengan sikap patriotik hingga saat ini, yang menentang segala bentuk kolonialisme dan intervensi asing baik yang bersifat budaya, politik maupun ideologi.

Pengaburan sejarah pemberontakan PRRI-Permesta itu sebaga upaya mengubah konstelasi politik nasional, yang hendak memerankan para para pemberontak serta anak cucunya yang terlibat dalam pemberontakan itu dalam percaturan politik di negeri yang dulu pernah digempur ini. Tindakan ini hanya diambil oleh para oportunis yang menjadi agen asing. Pantas karena mereka itu sejak awal didik secara colonial dan menerapkan prinsip-prinsip kolonial dalam gaya hidup mereka. Mereka dengan tegas menolak nasionalisme dan segala bentuk nilai tradisi, termasuk sejarah.

Adalah aneh mereka yang mengagungkan pemberontakan itu ikut bicara soal kedaulatan nasional, padahal sejak awal mereka bersekongkol dengan kolonial, justeru disaat bangsa ini gigih menolak kolonialisme. Sejarah yang menjadi memori bersama itu harus dipegang, sebab kalau tidak orang bisa terkecoh. Di tengah pergerakan nasional untuk mengembalikan kedaulatan bangsa dan Negara ini mereka hendak turut ambil bagian, dengan cara memanipulasi sejarah hitam mereka. Bukan dengan mengakui kesalahannya, lalu melakukan refleksi dan langkah kompensasinya.

Kesalahan sejarah itu tidak akan hilang karena ditutupi, sebab semua orang sudah tahu dari sumber paling otentik bahwa PRRI Permesta itu adalah pemberontakan yang bersekongkol dengan agen dan tentara kolonial untuk mengganti pemerintah dan Negara RI. Dengan adanya kesadaran itu orang tidak akan terkecoh berbagai teori, berbagai analisis serta pandangan yang tidak sesuai dengan realitas histories itu. Ingatan publik jauh lebih kuat disbanding manipulasi elite yang hendak memanipulasi, karena itu penulisan dan analisis sejarah semacam itu harus dikontrol sejak dini. (Abdul Mun'im DZ)

Hukum Waris

Pentingnya pembagian warisan untuk orang-orang yang ditinggalkan dengan seadil-adilnya sudah diatur dalam Islam, mencegah terjadinya konflik antar ahli waris dan menghindari perpecahan ukhuwah persaudaraan antar sesama keluiarga yang masih hidup.

1. Pembagian warisan menurut Islam, Allah telah berfirman di jelaskan dalam Al-Quran :

“Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu, bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibu-bapak bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar utangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa diantara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. SesungguhnyaAllah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (an-Nisa’: 11)

“Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika istri-istrimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar utangnya. Para istri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar utang-utangmu. Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan, yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar utangnya dengan tidak memberi mudarat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syariat yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun.” (an-Nisa’: 12)

“Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: ‘Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meningal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara laki-laki dan perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sebanyak bagian dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (an-Nisa’: 176)

PEMBAGIAN WARIS MENURUT AL-QUR’AN

JUMLAH bagian yang telah ditentukan Al-Qur’an ada enam macam, yaitu setengah (1/2), seperempat (1/4), seperdelapan (1/8), dua per tiga (2/3), sepertiga (1/3), dan seperenam (1/6). Kini mari kita kenali pembagiannya secara rinci, siapa saja ahli waris yang termasuk ashhabul furudh dengan bagian yang berhak ia terima.

A. Ashhabul furudh yang Berhak Mendapat Setengah

Ashhabul furudh yang berhak mendapatkan separo dari harta waris peninggalan pewaris ada lima, satu dari golongan laki-laki dan empat lainnya perempuan. Kelima ashhabul furudh tersebut ialah suami, anak perempuan, cucu perempuan keturunan anak laki-laki, saudara kandung perempuan, dan saudara perempuan seayah. Rinciannya seperti berikut:

1. Seorang suami berhak untuk mendapatkan separo harta warisan, dengan syarat apabila pewaris tidak mempunyai keturunan, baik anak laki-laki maupun anak perempuan, baik anak keturunan itu dari suami tersebut ataupun bukan. Dalilnya adalah firman Allah:

“… dan bagi kalian (para suami) mendapat separo dari harta yang ditinggalkan istri-istri kalian, bila mereka (para istri) tidak mempunyai anak …” (an-Nisa’: 12)

2. Anak perempuan (kandung) mendapat bagian separo harta peninggalan pewaris, dengan dua syarat:

1. Pewaris tidak mempunyai anak laki-laki (berarti anak perempuan tersebut tidak mempunyai saudara laki-laki, penj.).
2. Apabila anak perempuan itu adalah anak tunggal. Dalilnya adalah firman Allah: “dan apabila ia (anak perempuan) hanya seorang, maka ia mendapat separo harta warisan yang ada”. Bila kedua persyaratan tersebut tidak ada, maka anak perempuan pewaris tidak mendapat bagian setengah.

3. Cucu perempuan keturunan anak laki-laki akan mendapat bagian separo, dengan tiga syarat:

1. Apabila ia tidak mempunyai saudara laki-laki (yakni cucu laki-laki dari keturunan anak laki-laki).
2. Apabila hanya seorang (yakni cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki tersebut sebagai cucu tunggal).
3. Apabila pewaris tidak mempunyai anak perempuan ataupun anak laki-laki.

Dalilnya sama saja dengan dalil bagian anak perempuan (sama dengan nomor 2). Sebab cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki sama kedudukannya dengan anak kandung perempuan bila anak kandung perempuan tidak ada. Maka firman-Nya “yushikumullahu fi auladikum”, mencakup anak dan anak laki-laki dari keturunan anak, dan hal ini telah menjadi kesepakatan para ulama.

4. Saudara kandung perempuan akan mendapat bagian separo harta warisan, dengan tiga syarat:

1. Ia tidak mempunyai saudara kandung laki-laki.
2. Ia hanya seorang diri (tidak mempunyai saudara perempuan).
3. Pewaris tidak mempunyai ayah atau kakek, dan tidak pula mempunyai keturunan, baik keturunan laki-laki ataupun keturunan perempuan.

Dalilnya adalah firman Allah berikut:

“Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: ‘Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaituj: jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya …’” (an-Nisa’: 176)

5. Saudara perempuan seayah akan mendapat bagian separo dari harta warisan peninggalan pewaris, dengan empat syarat:

1. Apabila ia tidak mempunyai saudara laki-laki.
2. Apabila ia hanya seorang diri.
3. Pewaris tidak mempunyai saudara kandung perempuan.
4. Pewaris tidak mempunyai ayah atau kakak, dan tidak pula anak, baik anak laki-laki maupun perempuan.

Dalilnya sama dengan Butir 4 (an-Nisa’: 176), dan hal ini telah menjadi kesepakatan ulama.

B. Ashhabul furudh yang Berhak Mendapat Seperempat

Adapun kerabat pewaris yang berhak mendapat seperempat (1/4) dari harta peninggalannya hanya ada dua, yaitu suami dan istri. Rinciannya sebagai berikut:

1. Seorang suami berhak mendapat bagian seperempat (1/4) dari harta peninggalan istrinya dengan satu syarat, yaitu bila sang istri mempunyai anak atau cucu laki-laki dari keturunan anak laki-lakinya, baik anak atau cucu tersebut dari darah dagingnya ataupun dari suami lain (sebelumnya). Hal ini berdasarkan firman Allah berikut:

“… Jika istri-istrimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya É” (an-Nisa’: 12)

2. Seorang istri akan mendapat bagian seperempat (1/4) dari harta peninggalan suaminya dengan satu syarat, yaitu apabila suami tidak mempunyai anak/cucu, baik anak tersebut lahir dari rahimnya ataupun dari rahim istri lainnya. Ketentuan ini berdasarkan firman Allah berikut:

“… Para istri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak …” (an-Nisa’: 12)

Ada satu hal yang patut diketahui oleh kita –khususnya para penuntut ilmu– tentang bagian istri. Yang dimaksud dengan “istri mendapat seperempat” adalah bagi seluruh istri yang dinikahi seorang suami yang meninggal tersebut. Dengan kata lain, sekalipun seorang suami meninggalkan istri lebih dari satu, maka mereka tetap mendapat seperempat harta peninggalan suami mereka. Hal ini berdasarkan firman Allah di atas, yaitu dengan digunakannya kata lahunna (dalam bentuk jamak) yang bermakna ‘mereka perempuan’. Jadi, baik suami meninggalkan seorang istri ataupun empat orang istri, bagian mereka tetap seperempat dari harta peninggalan.

C. Ashhabul furudh yang Berhak Mendapat Seperdelapan

Dari sederetan ashhabul furudh yang berhak memperoleh bagian seperdelapan (1/8) yaitu istri. Istri, baik seorang maupun lebih akan mendapatkan seperdelapan dari harta peninggalan suaminya, bila suami mempunyai anak atau cucu, baik anak tersebut lahir dari rahimnya atau dari rahim istri yang lain. Dalilnya adalah firman Allah SWT:

“… Jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuh, wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar utang-utangmu …” (an-Nisa’: 12)

D. Ashhabul furudh yang Berhak Mendapat Bagian Dua per Tiga

Ahli waris yang berhak mendapat bagian dua per tiga (2/3) dari harta peninggalan pewaris ada empat, dan semuanya terdiri dari wanita:

1. Dua anak perempuan (kandung) atau lebih.
2. Dua orang cucu perempuan keturunan anak laki-laki atau lebih.
3. Dua orang saudara kandung perempuan atau lebih.
4. Dua orang saudara perempuan seayah atau lebih.

Ketentuan ini terikat oleh syarat-syarat seperti berikut:

1. Dua anak perempuan (kandung) atau lebih itu tidak mempunyai saudara laki-laki, yakni anak laki-laki dari pewaris. Dalilnya firman Allah berikut:

“… dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua per tiga dari harta yang ditinggalkan …” (an-Nisa’: 11)

Ada satu hal penting yang mesti kita ketahui agar tidak tersesat dalam memahami hukum yang ada dalam Kitabullah. Makna “fauqa itsnataini” bukanlah ‘anak perempuan lebih dari dua’, melainkan ‘dua anak perempuan atau lebih’, hal ini merupakan kesepakatan para ulama. Mereka bersandar pada hadits Rasulullah saw. yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim yang mengisahkan vonis Rasulullah terhadap pengaduan istri Sa’ad bin ar-Rabi’ r.a. –sebagaimana diungkapkan dalam bab sebelum ini.

Hadits tersebut sangat jelas dan tegas menunjukkan bahwa makna ayat itsnataini adalah ‘dua anak perempuan atau lebih’. Jadi, orang yang berpendapat bahwa maksud ayat tersebut adalah “anak perempuan lebih dari dua” jelas tidak benar dan menyalahi ijma’ para ulama. Wallahu a’lam.

2. Dua orang cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki akan mendapatkan bagian dua per tiga (2/3), dengan persyaratan sebagai berikut:

1. Pewaris tidak mempunyai anak kandung, baik laki-laki atau perempuan.
2. Pewaris tidak mempunyai dua orang anak kandung perempuan.
3. Dua cucu putri tersebut tidak mempunyai saudara laki-laki.

3. Dua saudara kandung perempuan (atau lebih) akan mendapat bagian dua per tiga dengan persyaratan sebagai berikut:

1. Bila pewaris tidak mempunyai anak (baik laki-laki maupun perempuan), juga tidak mempunyai ayah atau kakek.
2. Dua saudara kandung perempuan (atau lebih) itu tidak mempunyai saudara laki-laki sebagai ‘ashabah.
3. Pewaris tidak mempunyai anak perempuan, atau cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki. Dalilnya adalah firman Allah:

“… tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua per tiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal …” (an-Nisa’: 176)

4. Dua saudara perempuan seayah (atau lebih) akan mendapat bagian dua per tiga dengan syarat sebagai berikut:

1. Bila pewaris tidak mempunyai anak, ayah, atau kakek.
2. Kedua saudara perempuan seayah itu tidak mempunyai saudara laki-laki seayah.
3. Pewaris tidak mempunyai anak perempuan atau cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki, atau saudara kandung (baik laki-laki maupun perempuan).

Persyaratan yang harus dipenuhi bagi dua saudara perempuan seayah untuk mendapatkan bagian dua per tiga hampir sama dengan persyaratan dua saudara kandung perempuan, hanya di sini (saudara seayah) ditambah dengan keharusan adanya saudara kandung (baik laki-laki maupun perempuan). Dan dalilnya sama, yaitu ijma’ para ulama bahwa ayat “… tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua per tiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal …” (an-Nisa’: 176) mencakup saudara kandung perempuan dan saudara perempuan seayah. Sedangkan saudara perempuan seibu tidaklah termasuk dalam pengertian ayat tersebut. Wallahu a’lam.

E. Ashhabul furudh yang Berhak Mendapat Bagian Sepertiga

Adapun ashhabul furudh yang berhak mendapatkan warisan sepertiga bagian hanya dua, yaitu ibu dan dua saudara (baik laki-laki ataupun perempuan) yang seibu.

Seorang ibu berhak mendapatkan bagian sepertiga dengan syarat:

1. Pewaris tidak mempunyai anak atau cucu laki-laki dari keturunan anak laki-laki.
2. Pewaris tidak mempunyai dua orang saudara atau lebih (laki-laki maupun perempuan), baik saudara itu sekandung atau seayah ataupun seibu. Dalilnya adalah firman Allah:

“… dan jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga…” (an-Nisa’: 11)

Juga firman-Nya:

“… jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam…” (an-Nisa’: 11)

Catatan:

Lafazh ikhwatun bila digunakan dalam faraid (ilmu tentang waris) tidak berarti harus bermakna ‘tiga atau lebih’, sebagaimana makna yang masyhur dalam bahasa Arab –sebagai bentuk jamak. Namun, lafazh ini bermakna ‘dua atau lebih’. Sebab dalam bahasa bentuk jamak terkadang digunakan dengan makna ‘dua orang’. Misalnya dalam istilah shalat jamaah, yang berarti sah dilakukan hanya oleh dua orang, satu sebagai imam dan satu lagi sebagai makmum. Dalil lain yang menunjukkan kebenaran hal ini adalah firman Allah berikut:

“Jika kamu berdua bertobat kepada Allah, maka sesungguhnya hati kamu berdua telah condong (untuk menerima kebaikan) É” (at-Tahrim: 4)

Kemudian saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu, dua orang atau lebih, akan mendapat bagian sepertiga dengan syarat sebagai berikut:

1. Bila pewaris tidak mempunyai anak (baik laki-laki ataupun perempuan), juga tidak mempunyai ayah atau kakak.
2. Jumlah saudara yang seibu itu dua orang atau lebih.

Adapun dalilnya adalah firman Allah:

“… Jika seseorang mati baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu …” (an-Nisa’: 12)

Catatan

Yang dimaksud dengan kalimat “walahu akhun au ukhtun” dalam ayat tersebut adalah ’saudara seibu’. Sebab Allah SWT telah menjelaskan hukum yang berkaitan dengan saudara laki-laki dan saudara perempuan sekandung dalam akhir surat an-Nisa’. Juga menjelaskan hukum yang berkaitan dengan bagian saudara laki-laki dan perempuan seayah dalam ayat yang sama. Karena itu seluruh ulama sepakat bahwa yang dimaksud dengan “akhun au ukhtun” dalam ayat itu adalah saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu.

Selain itu, ada hal lain yang perlu kita tekankan di sini yakni tentang firman “fahum syurakaa ‘u fits tsulutsi” (mereka bersekutu dalam yang sepertiga). Kata bersekutu menunjukkan kebersamaan. Yakni, mereka harus membagi sama di antara saudara laki-laki dan perempuan seibu tanpa membedakan bahwa laki-laki harus memperoleh bagian yang lebih besar daripada perempuan. Kesimpulannya, bagian saudara laki-laki dan perempuan seibu bila telah memenuhi syarat-syarat di atas ialah sepertiga, dan pembagiannya sama rata baik yang laki-laki maupun perempuan. Pembagian mereka berbeda dengan bagian para saudara laki-laki/perempuan kandung dan seayah, yang dalam hal ini bagian saudara laki-laki dua kali lipat bagian saudara perempuan.

Rukun Waris

Rukun waris ada tiga:

1. Pewaris, yakni orang yang meninggal dunia, dan ahli warisnya berhak untuk mewarisi harta peninggalannya.
2. Ahli waris, yaitu mereka yang berhak untuk menguasai atau menerima harta peninggalan pewaris dikarenakan adanya ikatan kekerabatan (nasab) atau ikatan pernikahan, atau lainnya.
3. Harta warisan, yaitu segala jenis benda atau kepemilikan yang ditinggalkan pewaris, baik berupa uang, tanah, dan sebagainya.

Jadi Jelas Saudaraku Octora, segala harta yang ditinggalkan almarhum baik berupa uang, tanah, rumah, mobil, motor dan surat-surat berharga, soal uang duka, lebih baiknya jika uang tersebut dipergunakan dahulu untuk keperluan mengurus almarhum, misalnya biaya sewa tanah kubur-nya, biaya kepengurusannya atau biaya tahlil selama berlangsung.

Bila ada pihak yang tidak setuju dengan ketentuan hukum islam, sebaiknya ditanya apa alasannya. Dalam hal warisan orang lebih mengedepankan nasfsu dan keinginannya, untuk itu sebelum ditentukan pembagiannya, sebaiknya ditentukan dulu dasar hukum yang akan dijadikan acuan secara bersama-sama, apakah hukum negara, pembagian rata, atau cara islam.

Perlunya ditunjuk satu badan hukum untuk menengahi pembagian dianggap penting, mengingat harus ada orang yang dapat dipercaya dalam hal pendapat dan nasihat, kalau bisa yang dipilih adalah badan hukum ahli waris yang berbasiskan Islam, untuk menghindari hal-hal yang tidak diingikan jika kita sudah tidak lagi ada di dunia ini, karena keadailan yang paling baik sudah di atur dalam Al-Qur’an nul karim.

Wallahu bisowaab.

Keutamaan Ayat Kursi

Keutamaan Ayat Kursi



Setelah kita memahami makna, arti dan tafsirnya yang demikian indah dan
agung ini marilah kita selami lebih dalam lagi tentang fadhilah, keutamaan,
keistemewaan dan ke-mujarab-an ayat kursi ini. Sehingga akan semakin menguatkan
keyakinan dan jiwa kita untuk mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.

Apabila ayat ini dibaca pada tempat mana saja dan pada waktu kapan saja, maka
akan memberikan berkah pada rumah, dan menjaganya hinga setan atau kejahatan
tidak dapat mendekatinya. Ayat ini akan memberi berkah pada makanan hingga
menjadi cukup, ayat tersebut jika dibaca dapat menjaga rumah dan penghuninya,
rumah tetangga dan penghuninya serta tetangga dari tetangganya. Juga menjaga
bekal agar tidak mengalami kekurangan, hilangnya barakah, kerusakan, penyakit,
keburukan dari jin atau pencuri dan lainnya dengan apa yang dirampasnya dari
wilayah Tuhan Yang Maha Pengasih.[1]

Karena fadhilahnya yang luar biasa itulah, maka Imam Hasan Al Bana mewasiyatkan
kepada anggota ikhwanul muslimin dan muslim pada umumnya untuk membacanya
minimal di setiap pagi dan sore hari. Beliau menghimpun dzikir harian itu
dalam kitabnya Al Ma’tsurat. Yang berisi ayat-ayat Alqur’an, termasuk di
dalamnya ayat kursi dan do’a-do’a yang berasal dari Rasulullah SAW.

”Jika anda mengetahui ini wahai saudaraku, janganlah merasa aneh jika seorang
muslim menjadi hamba yang selalu berdzikir kepada allah setiap waktu dan
kesempatan. Jangan heran jika ia selalu berusaha mewarisi dari Rasululah – dan
beliau adalah hamba yang paling ma’rifah kepada Rabb-nya-. Lafal yang indah
memiliki kedalaman dalam makna dzikir, do’a, syukur, tasbih dan tahmid dalam
setiap waktu dan kesempatan, baik dzikir yang kecil maupun yang besar. Karena
Rasululah selalu berdzikir dalam setiap kesempatan yang dimilikinya. Jangan
heran jika kami menuntut Ikhwanul Muslimin agar berittiba’ (mengikuti) dan
berqudwah (mencontoh) kepada sunah Nabi dengan cara menghafal lafal-lafal
dzikir dalam rangka bertaqarrub (mendekat) kepada Allah SWT.”[2]



1.3.1. Seperempat Alqur’an

”Dari Anas bahwa Rasulullah bertanya kepada salah seorang sahabatnya, ”Apakah
engkau sudah menikah?” Dia menjawab, ”Belum.” Aku tidak memiliki sesuatu untuk
menikah. Rasulullah berkata, ”Bukankah engkau hafal qul huwallahu ahad (Al
Ikhlash)?” Sahabat menjawab, ”Ya aku hafal.” Rasulullah berkata, ”Itu sama
dengan seperempat Alqur’an.” ”Bukankah engkau hafal qul yaa ayyuhal kaafiruun
(Al Kaafiruun)?” Sahabat menjawab, ”Ya aku hafal.” Rasulullah berkata, ”Itu
sama dengan seperempat Alqur’an.” ”Bukankah engkau hafal idzaa zulzilat (Al
Zalzalah)?” Sahabat menjawab, ”Ya aku hafal.” Rasulullah berkata, ”Itu sama
dengan seperempat Alqur’an.” ”Bukankah engkau hafal idza jaa’a nashrullah (An
Nashr)?” Sahabat menjawab, ”Ya aku hafal.” Rasulullah berkata, ”Itu sama dengan
seperempat Alqur’an.” ”Bukankah engkau hafal ayat kursi?” Sahabat menjawab, ”Ya
aku hafal.” Rasulullah berkata, ”Itu sama dengan sepermpat Alqur’an.” [4]

Bayangkan? Dengan membaca ayat kursi anda telah membaca seperempat Qur’an. Apa
maknanya? Apa hakekatnya? Tiada lain karena ia berisi pokok-pokok keimanan.
Rububiyatullah (ketuhanan Allah), uluhiyatullah (penyembahan kepada Allah) dan
asmaa wa shifat (nama-nama dan sifat Allah yang indah). Akankah anda
mengabaikannya dan membiarkan hari-hari anda tanpa berdzikir atau membaca atau
merenungkan ayat kursi? Sungguh-sungguh kita termasuk orang-orang yang rugi.
Jika hanay satu ayat saja kita tak sanggup menjadikan sebagai dzikir atau
bacaan harian. Camkanlah wahai saudaraku!



1.3.2. Ayat yang agung

Sebagaimana telah dikemukakan pada bagian tafsir ayat kursi bahwa
ayat ini merupakan ayat yang agung (azhim). Untuk itu agar kita menjadi
orang-orang yang besar melebih mbak Mega maupun bang Akbar bahkan melebih
gabungan diantara mereka yaitu Mega Akbar, sudah selayaknya kita sering-sering
membaca dan mendzikirkan ayat kursi.

Ibnu Abbas berkata, ”Allah tidak menciptakan langit dan bumi, dataran
dna gunung yang lebih besar dari surat Al Baqarah yang ayat terbesar di
dalamnya adalah ayat kursi.”[5]

Dari Ibnu Mas’ud, ”Sesungguhnya ayat yang terbesar dalam Alqur’an
adalah Allahu Laa Ilaaha Illaa huwal hayyul qayyum.”[6]

Ibnu Mas’ud berkata, ”Allah tidak menciptakan langit dna bumi dan api
yang lebih besar daripada ayat yang ada dalam surat Al baqarah Allahu Laa
Ilaaha Illaa huwal hayyul qayyum.”[7]



1.3.3. Penghulu Ayat-Ayat Alqur’an

Dari Ali bin Abi Thalib, ”Penghulu ayat-ayat Alqur’an adalah Allahu
Laa Ilaaha Illaa huwal hayyul qayyum.”[8]

Semoga ketika kita rajin mengamalkan membaca ayat kursi kita juga
menjadi penghulu bagi umat. Menjadi pemimpin yang shalih bagi orang-orang yang
bertakwa. Sebagaimana do’a kita.


1.3.4. Ayat Yang Tergantung di Arasy


”Diriwayatkan oleh Ali bin Abi Thalib RA, Rasulullah bersabda, ”Surat Al
Fatihah, ayat Kursi, Syahidallahu annahu laailaaha illaa huwa[10] dan
qulillahumma malikal mulki[11] adalah ayat-ayat yang tergantung di arasy, tidak
ada hijab diantaranya dengan Allah SWT.”

Bukan hanya Rasulullah yang mi’raj ke langit tujuh dan bertemu (liqa’) dengan
Allah. Allah juga memberikan kesempatan kepada kita untuk ”mi’raj.” Yaitu
dengan cara membaca ayat kursi. Betapa indahnya kita bertemu Allah yaa akhii
(saudaraku). Meskipun bukan dalam bentuk wujud. Tapi dalam bentuk hubungan
bathin dengan wasilah (sarana) do’a dan dzikir dan dengan ilmu serta kecintaan
kita kepada ayat kursi yang agung. Mudah-mudahan kita termasuk orang yang
memperoleh kesempatan melihat dzat Allah SWT. Melihat arasy yang agung dan
kursi-Nya yang megah.



1.3.5. Harta Yang terpendam dibawah arasy


Dari Ibnu Abbas, ia berkata, ”Apabila Rasulullah membaca akhir surat Al baqarah
dan ayat kursi, beliau tertawa dan berkata, ”Keduanya adalah harta Allah yang
terpendam dibawah arasy...” (HR Ibnu Mardawiyah).[12]

Dari Anas RA bahwa Nabi SAW bersabda, ”Aku diberikan ayat kursi yang
ada dibawah arasy.”[13]

Dari Ali bin Abi Thalib, ia berkata, ”Aku tidka melihat seorangpun
yang mencapai akil baligh dalam islam yang tidur pada malam hari sebelum
membaca ayat Allahu Laa Ilaaha Illaa huwal hayyul qayyum.....jika kalian
mengetahui apa yang ada padanya, tentu kaian tidak pernah melupakannya dalam
setiap keadaan. Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda, ”Ayat kursi diberikan
kepadaku dari harta yang terpendam yang ada dibawah arasy dan tidak diberikan
kepada nabi sebelumku. Ali berkata, ”Tidak pernah sdikitpun aku tidur tnpa
membaca ayat ini setelah aku mendengarnya dari Rasulullah.” (HR Dailami, Ibnu
Abi Syaibah dan Ad Darimi).[14]



1.3.6. Obat dari gangguan jin atau setan


Sebagaimana diceritakan oleh Ubay bin Ka’ab RA dalam hadits yang diriwayatkan
oleh Abu Ya’la dan Hakim bahwa ayahnya menceritakan kepadanya bahwa ia beliau
pernah kehilangan kurma yang djemurnya. Karena itu beliau melakukan penjagaan.
Hingga pada suatu malam dia memergoki seorang pemuda yang sudah baligh dengan
tangan yang berbulu. Lalu beliau mengucapkan salam dan pemuda tersebut
menjawabnya. Beliau kemudian menanyakan identitasnya dan ternyata ia adalah
bangsa jin. Yang ingin mendapatkan makanan sebagai bagian sedekah, kreana ayah
Ubay memang orang yang sangat rajin bersedekah. Lalu beliau bertanya kepada jin
tersebut cara apa yang dapat dilakukan untuk dapat menyelamatkan dari gangguan
jin. Jin itu memberitahukan bahwa dengan cara membaca ayat kursi. Lalu pagi
harinya beliau menyampsikan hal tersebut kepada Rasulullah SAW dan nabi
membenarkanya.

Mungkin anda sering malas sholat subuh. Malas baca Alqur’an. Malas sholat
berjama’ah. Mungkin anak anda sering menangis. Mungkin barang anda sering
hilang. Mungkin anda kurang bersemangat dalam bekerja.

Untuk itu obatilah dengan sering-sering membaca ayat kursi. Agar jin yang suka
mengganggu anda tersebut segera pergi. Kabur terbirit-birit sehingga kita dapat
berkonsentrasi secara penuh dalam beribadah kepada Allah SWT.

Syaikh Abdus Salam Bali, seorang ulama dan ahli dalam pengobatan gangguan jin
memberikan tips untuk terhindar dari kejahatan jin. ”Berwudhulah sebelum tidur,
bacalah ayat kursi dan lakukanlah dzikrullah hingga kamu ngantuk. Dalam riayat
shahih dikatakan bahwa syetan pernah berkata kepada Abu Hurairah, ”Siapa yang
membaca ayat kursi sebelum tidur, maka dia senantiasa dijaga oleh Allah dan
tidak ada syetan yang mendekatinya hingga pagi.” Kemudian rasulullah SAW
membenarkannya seraya bersabda, ”Syetan itu jujur kepadamu sekalipun ia
pendusta.” (HR Bukhari).[16]


”Dari Anan Bin Malik RA dia berkata, Rasulullah SAW bersabda sesungguhnya
syetan akan keluar dari rumah apabila mendengar surat Al Baqarah dibacakan di
dalamnya.”


”Dari Abdillah yakni Ibnu Mas’ud RA dia berkata sesungguhnya syetan akan lari
dari rumah yang dibacakan di dalamnya surat Al Baqarah.” (HR Nasa’i, Hakim,
kata Imam hakim sandanya shahih).



”Berkata Adullah bin Mas’ud barang siapa membaca 10 ayat dari surat Al Baqarah
pada malam hari maka syetan tidak akan masuk rumahnya , yaitu 4 ayat awal surat
al baqarah, ayat kursi dan dua ayat sesudahnya dan tiga ayat yang terakhir.

Sama-sama kita ketahui bahwa dalam Surat tersebut ada ayat yang agung dan

besar yaitu ayat Kursi.

Dari Abu Hurairah bahwa Nabi SAW bersabda, ”Di dalam surat Al Baqarah
terdapat ayat yang merupakan penghulu ayat-ayat Alqur’an, tidak dibacakan pada
rumah yang ada setannya melainkan setan tersebut akan keluar darinya, ayat
tersebut adalah ayat Kursi.” (HR Hakim, AL Baihaqi, dishahihkan oleh Imam
Hakim).[20]








_____




_____


_____

[1]Ibid hal. 27-28.

[2]Hasan Al bana, Risalah Pergerakan Ikhwanul Muslimin, Era Intermedia
(Solo:2000), hal. 247.

[3]Imam Suyuthi, Ad-Durr Al Mantsur 2/151

[4]HR Imam Ahmad.

[5]Dahsyatnya Ayat Kursi hal. 43.

[6]Ibid

[7]Ibid hal. 44.

[8]Ibid hal. 42.

[9]Tafsir Al Qurthubi 1/111

[10]Surat Ali Imran 3:18

[11]Surat Ali Imran 3:26

[12]Tafsir Ibnu Katsir 1/735

[13]Dahsyatnya Ayat Kursi hal. 39.

[14]Ibid hal. 41.

[15]Tafsir Ibnu Katsir 1/672

[16]Syaikh Abus Salam Bali, Sihir dan cara Pengobatannya Secara Islami, Rabbani
Press (Jakarta:1995), hal. 148.

[17]Tafsir Ibnu Katsir 1/150

[18]Ibid.

[19]Ibid

[20]Dahsyatnya Ayat Kursi hal. 58.

FADHILAH AYAT KURSI

FADHILAH AYAT KURSI


Untuk amalan kita semua, fadhilat ayat Al-Kursi

Untuk amalan kita semua, fadhFilat ayat Al-Kursi mengikut hadis-hadis.
Allahu Akbar.

* Rasullullah s.a.w. bersabda bermaksud :

“Sesiapa pulang ke rumahnya serta membaca ayat Kursi, Allah hilangkan
segala kefakiran didepan matanya.”

* Rasullullah s.a.w. bersabda bermaksud :

“Umatku yang membaca ayat Kursi 12 kali pada pagi Jumaat, kemudian
berwuduk dan sembahyang sunat dua rakaat, Allah memeliharanya daripada
kejahatan syaitan dan kejahatan pembesar.”

* Rasullullah s.a.w. bersabda bermaksud :

“Orang yang selalu membaca ayat Kursi dicintai dan dipelihara Allah
sebagaimana DIA memelihara Nabi Muhammad.”

* Rasullullah s.a.w. bersabda bermaksud :

“Mereka yang beramal dengan bacaan ayat Kursi akan mendapat pertolongan
serta perlindungan Allah daripada gangguan serta hasutan syaitan.”

* Rasullullah s.a.w. bersabda bermaksud :

“Pengamal ayat Kursi juga, dengan izin Allah, akan terhindar daripada
pencerobohan pencuri. Ayat Kursi menjadi benteng yang kuat menyekat
pencuri daripada memasuki rumah.”

* Rasullullah s.a.w. bersabda bermaksud :

“Mengamalkan bacaan ayat Kursi juga akan memberikan keselamatan ketika
dalam perjalanannya.”

* Rasullullah s.a.w. bersabda bermaksud :

“Ayat Kursi yang dibaca dengan penuh khusyuk, insya-Allah, boleh
menyebabkan syaitan dan jin terbakar.”

* Rasullullah s.a.w. bersabda bermaksud :

“Jika anda berpindah ke rumah baru maka pada malam pertama anda
menduduki rumah itu eloklah anda membaca ayat Kursi 100 kali,
insya-Allah mudah-mudahan anda sekeluarga terhindar daripada gangguan
lahir dan batin.”

* Rasullullah s.a.w. bersabda bermaksud :

“Barang siapa membaca ayat Al-Kursi apabila berbaring di tempat
tidurnya, Allah mewakilkan 2 orang Malaikat memeliharanya hingga subuh.”

* Rasullullah s.a.w. bersabda bermaksud :

“Barang siapa membaca ayat Al-Kursi di akhir setiap sembahyang Fardhu,
ia akan berada dalam lindungan Allah hingga sembahyang yang lain.”

* Rasullullah s.a.w. bersabda bermaksud :

“Barang siapa membaca ayat Al-Kursi di akhir tiap sembahyang, tidak
menegah akan dia daripada masuk syurga kecuali maut, dan barang siapa
membacanya ketika hendak tidur, Allah memelihara akan dia ke atas
rumahnya, rumah jirannya & ahli rumah2 di sekitanya.”

* Rasullullah s.a.w. bersabda bermaksud :

“Barang siapa membaca ayat Al-Kursi di akhir tiap-tiap sembahyang
Fardhu, Allah menganugerahkan dia hati-hati orang yang bersyukur
perbuatan2 orang yang benar, pahala nabi2 juga Allah melimpahkan padanya
rahmat.”

* Rasullullah s.a.w. bersabda bermaksud :

“Barang siapa membaca ayat Al-Kursi sebelum keluar rumahnya, maka Allah
mengutuskan 70,000 Malaikat kepadanya, mereka semua memohon keampunan
dan mendoakan baginya.

* Rasullullah s.a.w. bersabda bermaksud :

“Barang siapa membaca ayat Al-Kursi di akhir sembahyang Allah azza wa
jalla akan mengendalikan pengambilan rohnya dan ia adalah seperti orang
yang berperang bersama nabi Allah sehingga mati syahid.”

* Rasullullah s.a.w. bersabda bermaksud :

“Barang siapa yang membaca ayat al-Kursi ketika dalam kesempitan niscaya
Allah berkenan memberi pertolongan kepadanya.”

Dari Abdullah bin ‘Amr r.a. , Rasullullah s.a.w. bersabda :

“SAMPAIKANLAH PESANKU BIARPUN SATU AYAT.”

KUNCI-KUNCI REZEKI

KUNCI-KUNCI REZEKI


Di antara hal yang menyibukkan hati manusia adalah mencari rizki. Tidak sedikit dari kalangan manusia ini yang mencari rizki dengan cara yang diharamkan Allah. Baik dari golongan tingkat atas maupun tingkat paling bawah, baik oleh pejabatnya maupun oleh buruh sekalipun.Mereka tidak lagi peduli terhadap larangan Allah dan Rasul-Nya r, Mereka tidak lagi bisa membedakan mana yang halal dan mana yang haram karena akal sehatnya sudah tak dapat lagi berfungsi lantaran rakusnya terhadap dunia dan lupa terhadap Allah Ar Razzaaq.

Kita dapat menyaksikan dengan mata kepala kita sendiri, banyak dari kaum muslimin mendatangi tempat-tempat yang haram dikunjungi seperti dukun-dukun, paranormal, orang pintar atau apa saja sebutan mereka yang mengaku mengetahui perkara yang ghaib. Mereka meminta melalui perantaraan orang orang yang dianggap bisa mengeluarkan mereka dari musibah dan mereka juga memohon pertolongan untuk mengetahui urusan yang ghaib. Dan ketahuilah, bahwa rizki adalah salah satu dari perkara yang ghaib itu.

Adalah suatu kewajiban bagi kita untuk bertawakkal kepada Allah yang telah menciptakan dan menanggung rizki semua makhluk-Nya. Dan sudah keharusan bagi kita untuk mengembalikan semua perkara yang ghaib itu kepada Allah saja.

Allah dan Rasul-Nya r telah memerintahkan kita untuk mencari rizki yang halal dan baik, yang tentunya dengan cara berusaha yang halal dan baik pula. Namun disamping itu Allah dan Rasul-Nya r memberi jalan kepada kita dengan dibukanya kunci-kunci rizki yang tentu saja tanpa meninggalkan kasab (usaha).

Kita akan bertanya dimanakah letak kunci-kunci rizki tersebut’ Inilah 10 kunci-kunci rizki yang dikhabarkan kepada kita oleh Allah dan Rasul-Nya r :

1. Istighfar dan Taubat

Nabi Nuh u berkata kepada kaumnya : “Maka aku katakan kepada mereka, mohon ampunlah kepada Rabb-mu, sesungguhnya Dia Maha Pengampun, niscaya Dia akan menurunkan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula didalamnya) sungai-sungai”. (QS Nuh : 10-12)

2. Taqwa

Fiman Allah : “Barang siapa yang bertaqwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan jalan keluar baginya dan memberinya rizki dari arah yang tiada disangka-sangkanya”. (QS. Ath-Thalaq : 2-3)

3. Bertawakkal (berserah diri) kepada Allah

Rasulullah r bersabda : “Sungguh, seandainya kalian bertawakkal kepada Allah dengan sebenar-benar tawakkal, niscaya kalian akan diberi rizki sebagaimana rizki burung-burung. Mereka berangkat pagi dengan perut lapar, dan pulang sore hari dalam keadaan kenyang”. (HSR. Ahmad, Tirmidzi, Ibnu Majah, Ibnul Mubarak, Ibnu Hibban, Al Hakim, Al Qudha’i dan Al Baghawi dari ‘Umar bin Khaththab t)

4. Beribadah sepenuhnya kepada Allah semata

Rasulullah r bersabda : “Sesungguhnya Allah berfirman : “Wahai anak Adam, beribadahlah sepenuhnya kepada-Ku, niscaya Aku penuhi dadamu dengan kekayaan dan Aku penuhi kebutuhanmu. (Dan) jika kalian tidak melakukannya, niscaya Aku penuhi tanganmu dengan kesibukan dan tidak Aku penuhi kebutuhanmu”. (HSR. Ahmad, Tirmidzi, Ibnu Majah dan Al Hakim dari Abu Hurairah t)

5. Menjalankan Haji dan Umrah

Rasulullah r bersabda : “Kerjakanlah haji dengan umrah atau sebaliknya. Karena sesungguhnya keduanya dapat menghilangkan kemiskinan dan dosa sebagaimana api dapat menghilangkan kotoran (karat) besi.” (HSR Nasa’i. Hadits ini shahih menurut Imam Al Albani. Lihat Shahih Sunan Nasa’i.)

6. Silaturrahim (menyambung tali kekerabatan yang masih ada hubungan nasab)

Rasulullah r bersabda : “Barangsiapa yang ingin dilapangkan rizkinya dan dipanjangkan umurnya, hendaklah ia menyambung tali silaturrahim” (HSR. Bukhari)

7. Berinfak dijalan Allah

Allah berfirman : “Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan, maka Allah akan menggantinya. Dialah sebaik-baiknya Pemberi rizki”. (QS. Saba : 39)

8. Memberi nafkah kepada orang yang menuntut ilmu

Anas bin Malik t berkata : “Dulu ada dua orang bersaudara pada masa Rasulullah r. Salah seorang mendatangi (menuntut ilmu) pada Rasulullah r, sedangkan yang lainnya bekerja. Lalu saudaranya yang bekerja itu mengadu kepada Rasulullah r (lantaran ia memberi nafkah kepada saudaranya itu), maka Beliau r bersabda : “Mudah-Mudahan engkau diberi rizki dengan sebab dia”. (HSR.Tirmidzi dan Al Hakim, Lihat Shahih Sunan Tirmidzi)

9. Berbuat baik kepada orang-orang lemah

Mush’ab bin Sa’d t berkata, bahwasanya Sa’d merasa dirinya memiliki kelebihan daripada orang lain. Maka Rasulullah r bersabda : “Bukankah kalian ditolong dan diberi rizki lantaran orang-orang lemah diantara kalian’”. (HSR. Bukhari)

10. Hijrah dijalan Allah

Allah berfirman : “Barangsiapa berhijrah dijalan Allah, niscaya mereka akan mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rizki yang banyak”. (QS. An Nisa : 100)

Demikianlah beberapa kunci-kunci rizki dalam Islam yang memang sudah selayaknya seorang muslim untuk yakin terhadap apa yang difirmankan Allah dan apa yang disabdakan Rasul-Nya r supaya kita tidak terjerumus kedalam I’tiqad (keyakinan), perkataan dan perbuatan yang bathil.

Semoga shalawat dan salam dilimpahkan kepada Nabi kita Muhammad, kepada segenap keluarga, shahabat dan orang-orang yang mengikutinya dengan baik sampai akhir zaman nanti. Wallahu A’lam.

* * *

(Abu Ghailan, disarikan dari kutaib “Mafaatihur Rizq fii Dhau’il Kitab was Sunnah”
karya Dr. Fadhi Ilahi. (Judul edisi Indonesia “Kunci-kunci Rizki menurut Al Qur-an dan Sunnah”)

Haji Arisan

Haji Arisan


Bagi banyak orang, ibadah haji bukan sekedar masalah kewajiban. Haji sudah menjadi cita-cita umat Islam pada umumnya. Maka, akhirnya banyak yang ingin menjalankan ibadah haji meski dengan segala risiko dan dengan menempuh cara apapun. Soalnya ibadah yang dilakukan di tanah suci sangat utama dibanding di tempat-tempat lainnya. Kerinduann untuk datang ke sana tidak tergantikan oleh apapun. Ya, karena ibadah haji mempunyai nilai spiritual dan kemanusiaan yang luar biasa.

Salah satu cara yang ditempuh adalah dengan sistem arisan. Sekelompok orang, misalnya, mengumpulkan sejumlah uang tertentu secara rutin setiap bulannya. Lalu, pada setiap tanhunnya, uang yang telah dikumpulkan diberikan kepada salah seorang dari kelompok itu untuk berhaji, kemudian pada tahun berikutnya giliran yang lainnya. Bagaimana kedudukan haji seperti ini? Lalu bagaimana jika Ongkos naik haji (ONH) berubah-ubah dan masing-masing orang diberangkatkan haji dengan biaya yang berbeda pula?

Masalah pertama yang diangkat disini adalah soal persyaratan adanya “istitho’ah” atau kemampuan dalam menjalankan ibadah haji. Bahwa orang Islam yang diwajibkan untuk menjalankan ibadah haji atau “syarat wajib haji” adalah hanya ketika seseorang telah berkemampuan. Lalu bagaimana dengan haji yang dilakukan oleh mereka yang tidak berkemampuan?

Bahtsul masail diniyah waqiiyyah pada Muktamarke-28 Nahdlatul Ulama di Pondok Pesantren Al Munawwir Krapyak Yogyakarta pada 26-29 Rabiul Akhir 1410 H / 25 – 28 November 1989 M lalu menyatakan bahwa haji yang dilakukan oleh orang yang belum memenuhi syarat istithoah tetap sah hukumnya.

فَمَنْ لَمْ يَكُنْ مُسْتَطِيْعاً لَمْ يَجِبْ عَلَيْهِ الْحَجُّ لَكِنْ اِذَا فَعَلَهُ أَجْزَأَهُ

Barangsiapa yang belum memenuhi syarat istitoah maka tidak wajib baginya berhaji, namun jika dia melakukannya maka itu tetap diperbolehkan, sebagaimana dalam kitab Asy Syarqowi I, hal. 460.

Orang yang fakir sekalipun tetap sah melakukan ibadah haji, apabila dia termasuk mukallaf. Hal ini bisa dikiaskan dengan kebolehan orang yang sakit untuk tetap melakukan shalat Jum’at, padahal sebenarnya ia tidak wajib melaksanakannya.

فَيُجْزِئُ حَجُّ الْفَقِيْرِ وَكُلُُّ عَاجِزٍ حَيْثُ اجْتَمَعَ فِيْهِ الْحُرِّيَّةُ وَالتَّكْلِيْفُ كَمَا لَوْ تَكَلَّفَ الْمَرِيْضُ حُضُوْرَ الْجُمْعَةِ

Sah haji orang fakir dan semua orang yang tidak mampu selama ia termauk orang merdeka dan mukallaf (muslim, berakal dan baligh) sebagaimana sah orang yang sakit memaksakan diri untuk melakukan shalat Jumat. Demikian seperti dikutip dari kitab Nihayatul Muhtaj III, hal. 233.

Soal haji arisan, musyawirin dalam muktamar itu sempat menyorot praktik yang sama seperti digambarkan dalam kitab Al Quyubi II hal. 208. Ada kelompok wanita di Irak yang masing-masing mengeluarkan sejumlah uang tertentu dan memberikannya kepada salah seorang dari mereka secara bergantian sampai giliran yang terakhir. Maka, maka yang demikian itu diperbolehkan oleh penguasa Irak waktu itu.

Lalu, bagaimana dengan persoalan ongkos haji yang selalu berubah-ubah dan cenderung naik, bagaimana setorannya?

Musyawirin memperhitungkan ongkos naik haji (ONH) yang dipergunakan oleh anggota arisan sebagai pinjaman barang (al-iqradl). Akda pinjam-meminjam secara syar’i adalah memberikan hak milik sesuatu dengan menggembalikan penggantinya yang persis sama dengan yang dipinjamnya.

Maka jika suatu saat ONH mengalami kenaikan, bisa jadi setoran arisan dinaikkan sesuai kesepakatan anggota. Atau bisa jadi setoran haji tetap seperti semula namun pemberangkatan salah seorang anggota menunggu sampai uang arisan haji yang terkumpul sudah mencukupi.

Dengan begitu uang yang dikeluarkan untuk memberangkatkan masing-masing anggota bisa berbeda satu sama lain. Lalu, jika ONH dihitung sebagai pinjaman dan jika salah seorang dari anggota (yang telah berhaji) meninggal dunia, maka setoran haji menjadi tanggungan ahli warisnya, sampai semua kelompok arisan bisa diberangkatkan haji. (A Khoirul Anam)

FADHILAH SURAT AL-WAQI’AH

FADHILAH SURAT AL-WAQI’AH

Diantara fadhilah-fadhilah membaca surat Al-Waqi’ah adalah:

1. Jika dibaca setiap malam sebagai wirid, maka tidak akan tertimpa kepapaan.

Rasulullah bersabda :

Man qara’a suratal-Waqi’ati kulla lailatil lam tusibhu faqah, wa suratul-Waqi’ati suratul-gina faqra’uha wa ’allimuha aulada-kum.

Artinya:

“Barangsiapa membaca surat Al-Waqi’ah tiap malam, maka tidak akan menimpa kepadanya kepapaan. Dan surat Al-Waqi’ah adalah surat kaya, maka bacalah dan ajarkanlah kepada anak-anak kamu.”

2. Berkata Masruq: “Siapa ingin mengetahui cerita orang-orang terdahulu dan orang-orang terkemudian, serta cerita ahli surga dan ahli neraka, penduduk dunia dan akhirat, maka bacalah surat Al-Waqi’ah”. (Tafsir Jamal, Juz IV halaman 269)

3. Imam Ja’far ra. berkata: “Barangsiapa membaca surat Al-Waqi’ah pada waktu pagi ketika keluar dari rumahnya untuk bekerja, atau untuk mencari kebutuhan. Maka Allah Ta’ala mempermudah rezekinya dan mendatangkan hajatnya. Dan barangsiapa membaca surat Al-Waqi’ah pada waktu pagi dan sore, maka ia tidak akan kelaparan atau kehausan, dan tidak akan takut terhadap orang yang akan memfitnah, sedangkan fitnahannya kembali pada orang itu”. (Khazinatul Asrar Kubra, hal. 360)

4. Disebutkan dalam Khawashul Qur’an, siapa yang membaca surat Al-Waqi’ah sebanyak 41 kali dalam satu majlis, maka didatangkan hajatnya, terutama urusan rezeki. Dan barangsiapa membaca surat Al-Waqi’ah sesudah sholat Asar sebanyak 14 kali dalam satu majlis, maka didatangkan hajatnya, terutama urusan rezeki. Aturan tersebut adalah mujarab. Jika menginginkan datangnya rezeki dari Allah dengan tak terkira-kira datangnya, maka bbacalah surat Al-Waqi’ah selama 40 hari berturut-turut jangan terputus, dan setiap harinya dibaca 40 kali.

5. Dengan mewiridkan surat Al-Waqi’ah sebagai bacaan rutin setiap hari dan malam, maka Allah menjauhkan kefakiran selamanya. Sa’d Al Mufti mengatakan, bahwa hadist ini shahih.

Rasulullah bersabda:

Man qara’a suratal-Waqi’ati lam yaftaqir abada.

Artinya:

“Barangsiapa (membiasakan) membaca surat Al-Waqi’ah, maka ia tidak akan kefakiran selamanya.”

Kurban Berupa Uang

Kurban Berupa Uang

Mendermakan uang itu lebih simpel dibanding mendermakan benda lain. Sehingga terkadang ada di antara kita melaksanakan kurban dengan membagikan uang seharga hewan kurban. Praktek seperti ini tidak sah sebagai kurban karena kurban adalah suatu bentuk ibadah yang dikhususkan dengan penyembelihan binatang ternak sebagaimana ditegaskan di dalam QS. Al-Hajj: 34

وَلِكُلِّ أُمَّةٍ جَعَلْنَا مَنْسَكًا لِيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَى مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ اْلأَنْعَامِ

Dan bagi tiap-tiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (kurban), supaya mereka menyebut nama Allah atas binatang ternak yang telah dirizkikan oleh Allah kepada mereka …… " (Al-Hajj: 34)

Walaupun tidak sah sebagai kurban, tetapi tidaklah sia-sia dan tidaklah termasuk bid'ah meskipun secara implisit Rasulullah SAW tidak pernah melaksanakan, melegitimasi, dan mengakuinya.

Dalam logika atau nalar fikih uang yang dibagikan dengan niat kurban itu menjadi shadaqah atau sedekah. Adapun keutamaan sedekah mengenai beberapa nashnya sudah cukup jelas. Akan tetapi, betapa sayang bila kurban sebagai ibadah tahunan yang kita laksanakan itu tidak diterima sebagai kurban karena kita melaksanakannya dalam bentuk pembagian uang.

Bertolak dari ayat di atas, ulama Hanafiyyah, Malikiyyah, Syafi'iyyah, dan Hanabilah menyatakan, bahwa kurban adalah ibadah yang aspeknya adalah iraqah ad-dam (penyembelihan) yang berarti tidak boleh digantikan dengan benda lain termasuk dalam bentuk uang. Ulama' Hanafiyyah yang membolehkan membayar dalam bentuk uang untuk zakat apa pun, ternyata secara tegas tidak membolehkannya untuk kurban.

Dalam hal ini, Muhammad ibn Abi Sahl As-Sarkhasiy (Wafat 490 H.) di dalam Al-Mabsuth; juz II, h.157 menyatakan, bahwa zakat bagi para mustahiq berdimensi kemaslahatan untuk memenuhi kebutuhan mereka sehingga bolehlah diberikan berupa harganya. Sedangkan kurban adalah suatu ibadah dalam bentuk penyembelihan. Sehingga seandainya setelah dilakukan penyembelihan dan sebelum dibagikan, ternyata hewan qurban itu hilang atau dicuri orang misalnya, tetaplah ibadah kurban itu sah.

Lebih jauh ia menyatakan, bahwa penyembelihan kurban itu tidak dapat diukur dengan harga, dan mengandung makna atau esensi yang tidak dapat digambarkan kemuliaannya. Adapun penggalan kalimatnya sebagai berikut:

فَكَانَ اْلمُعْتَبَرُ فِي حَقِّهِمْ أَنَّهُ مَحَلٌّ صَالِحٌ لِكِفَايَتِهِمْ حَتَّى تُتَأَدَّى بِالْقِيْمَةِ بِخِلَافِ الهِدَايَا وَالضَّحَايَا فَإنَّ الْمُسْتَحِقُ فِيْهَا إرَاقَةَ الدَّمِ حَتَّى وَلَوْ هَلَكَ بَعْدَ الذَّبْحِ قَبْلَ نَظِيْرٍ بِهِ لَمْ يَلْزِمهُ شَيْءٌ وَإرَاقَةُ الدَّمِ لَيْسَ بِمُتَقَوِّمٍ وَلَا مَعْقُوْلٍ الْمَعْنَى

"Adapun apa yang diakui menjadi hak para mustahiq zakat adalah aspek kemaslahatan untuk memenuhi kebutuhan mereka, sehingga boleh diberikan berupa harganya. Hal ini berbeda dengan hadyu dan kurban yang esensinya adalah aliran darah (penyembelihan), sehingga seandainya setelah hewan kurban itu disembelih binasa sebelum dibagikan, maka tidak ada kewajiban sedikit pun yang dibebankan kepada orang yang kurban. Penyembelihan kurban itu tidak dapat diukur dengan harga, dan tidak dapat dirasionalkan makna kemuliaannya ".

Demikian pula hal yang senada dinyatakan oleh Zain ibn Ibrahim ibn Muhammad ibn Muhammad ibn Bakr (926-970 H) di dalam Al-Bahr ar-Raiq, jilid II, h.238. Adapun sedikit kutipan kalimatnya sebagai berikut:

قَيَّدَ الْمُصَنِّفُ بِالزَّكَاةِ لِأَنَّهُ لَا يَجُوْزُ دَفْعُ الْقِيْمَةِ فِيْ الضَّحَايَا وَالْهَدَايَا وَالْعِتْقِ لِأنَّ مَعْنَى الْقُرْبَةِ إرَاقَةِ الدَّمِ وَذَلِكَ لَا يَتَقَوَّمُ

Penyusun Kanz ad-Daqaiq membatasi (pembahasan mengenai boleh memberikan berupa harga) dalam kewajiban zakat. Persoalannya, tidak boleh memberikan dalam bentuk harga atas kurban, hadyu dan memerdekakan budak karena esensi kurban adalah aliran darah (penyembelihan) yang tidak dapat diukur dengan harga

Iuran Kurban Dibagikan Uang

Iuran kurban adalah dana yang dikeluarkan oleh beberapa orang untuk kurban, tetapi dana yang terkumpul tidak untuk membeli hewan kurban melainkan dibagikan dalam bentuk uang. Praktek ini sama dengan kurban berupa uang, dan secara jelas tidak sah sebagai kurban karena kurban harus dilaksanakan dalam bentuk penyembelihan hewan ternak, tetapi sah menjadi shadaqah bila para pembayar iuran ikhlas memberikannya.

Jika sebelum pembayaran itu telah dinyatakan untuk pembelian hewan kurban kemudian dibagikan dalam bentuk uang, maka wajib menanggung dan mengembalikan dana iuran itu kepada para pembayarnya karena menyalahi tujuan semestinya.

Apabila cara ini dimaksudkan untuk menggali sumber dana untuk kepentingan pribadi dengan dalih kurban, maka sungguh tidak mendidik, tidak layak dan tidak terpuji untuk dilakukan. Bahkan hal ini dapat dikategorikan sebagai bentuk tipu daya yang menodai kebenaran dan mencederai kejujuran. Hendaklah praktek seperti ini tidak terjadi di tengah masyarakat kita. Amin.


KH Arwani Faishal
Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masail PBNU

Hukum Transaksi Jual Beli secara Kredit

Hukum Transaksi Jual Beli secara Kredit

Salah satu kegiatan bisnis yang terjadi di zaman modern ini adalah jual beli barang secara kredit dengan harga yang labih tinggi dari pada biasanya. Prakteknya adakalanya si tukang kredit memasang dua harga, jika beli secara kredit harganya sekian dan kalau tunai harganya sekian.

Tetapi adakalanya memang si tukang kredit hanya menjual barang secara kredit saja. Tentu harga jual barang secara kredit lebih mahal dari pada jual kontan. Bagaimana status hukum dari transaksi seperti ini?

Para ulama merumuskan kaidah tentang hukum transaksi (mu’amalah) bahwa pada prinsipnya hukum bertransaksi adalah boleh (mubah) kecuali kalau di dalamnya terdapat unsur penipuan (gharar), sepekulasi (maysir), riba dan barangnya dijual dua kali.

Ada istilah yang umum yakni transaksi “dijual dua” yakni menjual suatu barang kepada dua orang atau lebih, atau mentransaksikan suatu barang dengan harga kredit dan harga tunai tetapi si pembeli langsung membawanya tanpa menjelaskan apakah membeli dengan secara tunai atau dengan secara kredit.

Nah, untuk transaksi model kredit ini, para ulama berbeda pendapat: (1) Jumhur ahli fiqih, seperti mazhab Hanafi, Syafi'i, Zaid bin Ali dan Muayyid Billahi berpendapat, bahwa jual-beli yang pembayarannya ditangguhkan dan ada penambahan harga untuk pihak penjual karena penangguhan tersebut adalah sah. Menurut mereka penangguhan itu adalah harga. Mereka melihat kepada dalil umum yang membolehkan.

(2).Jumhur ulama menetapkan, bahwa seorang pedagang boleh menaikkan harga menurut yang pantas, karena pada asalnya boleh dan nash yang mengharamkannya tidak ada. Sebaliknya kalau sampai kepada batas kezaliman hukumnya berubah menjadi haram.

(3). Pendapat lainnya mengatakan bahwa upaya menaikkan harga di atas yang sebenamya lantaran kredit (penangguhan pembayaran) lebih dekat kepada riba nasiah (tambahan harga karena limit waktu) yang jelas dilarang oleh nash Al-Qur’anul Karim.

Jadi, menurut hemat saya, transaksi jual beli secara kredit hukumnya sah dan halal asalkan akad (transaksinya) antara penjual dan pembeli dilakukan secara jelas (aqd sharih). Artinya, antara penjual dan pembeli sama-sama mengetahui dan terdapat kesepakatan harga barang dan batas waktu pada saat akad.

Transaksi jual beli secara kredit dengan harga yang lebih tinggi dibanding membeli secara kontan hukumnya sah dan halal. Dengan syarat, transaksi antara penjual dan pembeli dilakukan dengan aqd sharih ’adam al jahalah (dilakukan secara jujur dan mensepakati batas waktu dan harga barang).

Jangan sampai akad sudah selesai dan barang sudah di bawa pulang sementara antara penjual dan pembeli belum ada kesepakatan, apakah membeli secara tunai atau kontan. Sehingga si pembeli memutuskan sendiri dalam akadnya setelah beberapa waktu dari waktu transaksi. Ketidakjelasan seperti ini hukumnya haram karena akadnya tidak jelas (sharih).


HM Cholil Nafis, Lc., MA
Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masa’il PBNU

Hukum Islam tentang bisnis MLM

Multi Level Marketing (MLM) adalah model pemasaran yang menggunakan mata rantai down line, dimana pihak produsen dapat mengurangi biaya marketing sehingga sebagian biaya marketing dipakai untuk bonus bagi orang yang memperoleh jaringan yang besar. Memang banyak alasan orang yang bergabung dalam bisnis MLM ini, di antaranya karena iming-iming bonus tetapi ada juga yang memang karena motivasi ingin memiliki produknya.

Bagaimana menurut hukum Islam tentang bisnis MLM ini?

Multi Level Marketing (MLM) adalah menjual/memasarkan langsung suatu produk baik berupa barang atau jasa kepada konsumen. Sehingga biaya distribusi barang sangat minim atau sampai ketitik nol. MLM juga menghilangkan biaya promosi karena distribusi dan promosi ditangani langsung oleh distributor dengan sistem berjenjang (pelevelan).

Dalam MLM ada unsur jasa, artinya seorang distributor menjualkan barang yang bukan miliknya dan ia mendapatkan upah dari prosentasi harga barang dan jika dapat menjual sesuai target dia mendapat bonus yang ditetapkan perusahaan.

MLM banyak sekali macamnya dan setiap perusahaan memiliki spesifikasi tersendiri. Sampai sekarang sudah ada sekitar 200 perusahaan yang mengatasnamakan dirinya menggunakan sistem MLM.

Kami akan memberi jawaban yang bersifat batasan-batasan umum sebagai panduan bagi umat Islam yang akan terlibat dalam bidang MLM.

Memang pada dasarnya segala bentuk mu’amalah atau transaksi hukumnya boleh (mubah) sehingga ada argumentasi yang mengharamkannya.

Allah SWT berfirman

وَأَحَلَّ اللّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا

Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. (QS Al Baqarah: 275)

وَتَعَاوَنُواْ عَلَى الْبرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَ تَعَاوَنُواْ عَلَى الإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ

Tolong menolonglah atas kebaikan dan taqwa dan jangan tolong menolong atas dosa dan permusuhan. (QS Al Maidah: 2)

Rasulullah SAW bersabda:

إنَّمَا الْبَيْعُ عَنْ تَرَاضٍ

Perdagangan itu atas dasar sama-sama ridha. (HR al-Baihaqi dan Ibnu Majah)

المُسْلِمُوْنَ عَلي شُرُوْطِهِمْ

Umat Islam terikat dengan persyaratan mereka. (HR Ahmad, Abu Dawud dan al-Hakim)

Berdasarkan penjelasan tersebut bisa disimpulkan sebagai berikut:

1.Pada dasarnya sistem MLM adalah muamalah atau buyu' yang prinsip dasarnya boleh (mubah) selagi tidak ada unsur: - Riba' - Ghoror (penipuan) - Dhoror (merugikan atau mendhalimi fihak lain) - Jahalah (tidak transparan).

2.Ciri khas sistem MLM terdapat pada jaringannya, sehingga perlu diperhatikan segala sesuatu menyangkut jaringan tersebut: - Transparansi penentuan biaya untuk menjadi anggota dan alokasinya dapat dipertanggungjawabkan. Penetapan biaya pendaftaran anggota yang tinggi tanpa memperoleh kompensasi yang diperoleh anggota baru sesuai atau yang mendekati biaya tersebut adalah celah dimana perusahaan MLM mengambil sesuatu tanpa hak dam hukumnya haram.

- Transparansi peningkatan anggota pada setiap jenjang (level) dan kesempatan untuk berhasil pada setiap orang. Peningkatan posisi bagi setiap orang dalam profesi memang terdapat disetiap usaha. Sehingga peningkatan level dalam sistem MLM adalah suatu hal yang dibolehkan selagi dilakukan secara transparan, tidak menzhalimi fihak yang ada di bawah, setingkat maupun di atas.

- Hak dan kesempatan yang diperoleh sesuai dengan prestasi kerja anggota. Seorang anggota atau distributor biasanya mendapatkan untung dari penjualan yang dilakukan dirinya dan dilakukan down line-nya. Perolehan untung dari penjualan langsung yang dilakukan dirinya adalah sesuatu yang biasa dalam jual beli, adapun perolehan prosentase keuntungan diperolehnya disebabkan usaha down line-nya adalah sesuatu yang dibolehkan sesuai perjanjian yang disepakati bersama dan tidak terjadi kedholiman.


3. MLM adalah sarana untuk menjual produk (barang atau jasa), bukan sarana untuk mendapatkan uang tanpa ada produk atau produk hanya kamuflase. Sehingga yang terjadi adalah money game atau arisan berantai yang sama dengan judi dan hukumnya haram.

4. Produk yang ditawarkan jelas kehalalannya, karena anggota bukan hanya konsumen barang tersebut tetapi juga memasarkan kepada yang lainnya. Sehingga dia harus tahu status barang tersebut dan bertanggung-jawab kepada konsumen lainnya.

Demikan batasan-batasan ini barangkali dapat bermanfaat, khususnya dan bagi kaum muslimin Indonesia agar dapat menjadi salah satu jalan keluar dari krisis ekonomi. Wallahua’lam bishshawab.


HM Cholil Nafis Lc MA
Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masa’il PBNU

PRO KONTRA HUKUM ROKOK (6)

Sejak awal abad XI Hijriyah atau sekitar empat ratus tahun yang lalu, rokok dikenal dan membudaya di berbagai belahan dunia Islam. Sejak itulah sampai sekarang hukum rokok gencar dibahas oleh para ulama di berbagai negeri, baik secara kolektif maupun pribadi. Perbedaan pendapat di antara mereka mengenai hukum rokok tidak dapat dihindari dan berakhir kontroversi. Itulah keragaman pendapat yang merupakan fatwa-fatwa yang selama ini telah banyak terbukukan. Sebagian di antara mereka menfatwakan mubah alias boleh, sebagian berfatwa makruh, sedangkan sebagian lainnya lebih cenderung menfatwakan haram.

Kali ini dan di negeri ini yang masih dilanda krisis ekonomi, pembicaraan hukum rokok mencuat dan menghangat kembali. Pendapat yang bermunculan selama ini tidak jauh berbeda dengan apa yang telah terjadi, yakni tetap menjadi kontroversi.

Kontroversi Hukum Merokok

Seandainya muncul fatwa, bahwa korupsi itu hukumnya haram berat karena termasuk tindak sariqah (pencurian), maka semua orang akan sependapat termasuk koruptor itu sendiri. Akan tetapi persoalannya akan lain ketika merokok itu dihukumi haram. Akan muncul pro dari pihak tertentu dan muncul pula kontra serta penolakan dari pihak-pihak yang tidak sepaham. Dalam tinjauan fiqh terdapat beberapa kemungkinan pendapat dengan berbagai argumen yang bertolak belakang.

Pada dasarnya terdapat nash bersifat umum yang menjadi patokan hukum, yakni larangan melakukan segala sesuatu yang dapat membawa kerusakan, kemudaratan atau kemafsadatan sebagaimana termaktub di dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah sebagai berikut:

Al-Qur'an :

وَلاَ تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ وَأَحْسِنُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ. البقرة: 195

Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik. (Al-Baqarah: 195)

As-Sunnah :

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ. رواه ابن ماجه, الرقم: 2331

Dari Ibnu 'Abbas ra, ia berkata ; Rasulullah SAW. bersabda: Tidak boleh berbuat kemudaratan (pada diri sendiri), dan tidak boleh berbuat kemudaratan (pada diri orang lain). (HR. Ibnu Majah, No.2331)

Bertolak dari dua nash di atas, ulama' sepakat mengenai segala sesuatu yang membawa mudarat adalah haram. Akan tetapi yang menjadi persoalan adalah apakah merokok itu membawa mudarat ataukah tidak, dan terdapat pula manfaat ataukah tidak. Dalam hal ini tercetus persepsi yang berbeda dalam meneliti dan mencermati substansi rokok dari aspek kemaslahatan dan kemafsadatan. Perbedaan persepsi ini merupakan babak baru munculnya beberapa pendapat mengenai hukum merokok dengan berbagai argumennya.

Seandainya semua sepakat, bahwa merokok tidak membawa mudarat atau membawa mudarat tetapi relatif kecil, maka semua akan sepakat dengan hukum mubah atau makruh. Demikian pula seandainya semuanya sepakat, bahwa merokok membawa mudarat besar, maka akan sepakat pula dengan hukum haram.

Beberapa pendapat itu serta argumennya dapat diklasifikasikan menjadi tiga macam hukum.

Pertama ; hukum merokok adalah mubah atau boleh karena rokok dipandang tidak membawa mudarat. Secara tegas dapat dinyatakan, bahwa hakikat rokok bukanlah benda yang memabukkan.

Kedua ; hukum merokok adalah makruh karena rokok membawa mudarat relatif kecil yang tidak signifikan untuk dijadikan dasar hukum haram.

Ketiga; hukum merokok adalah haram karena rokok secara mutlak dipandang membawa banyak mudarat. Berdasarkan informasi mengenai hasil penelitian medis, bahwa rokok dapat menyebabkan berbagai macam penyakit dalam, seperti kanker, paru-paru, jantung dan lainnya setelah sekian lama membiasakannya.

Tiga pendapat di atas dapat berlaku secara general, dalam arti mubah, makruh dan haram itu bagi siapa pun orangnya. Namun bisa jadi tiga macam hukum tersebut berlaku secara personal, dengan pengertian setiap person akan terkena hukum yang berbeda sesuai dengan apa yang diakibatkannya, baik terkait kondisi personnya atau kwantitas yang dikonsumsinya. Tiga tingkatan hukum merokok tersebut, baik bersifat general maupun personal terangkum dalam paparan panjang 'Abdur Rahman ibn Muhammad ibn Husain ibn 'Umar Ba'alawiy di dalam Bughyatul Mustarsyidin (hal.260) yang sepotong teksnya sebagai berikut:

لم يرد في التنباك حديث عنه ولا أثر عن أحد من السلف، ....... والذي يظهر أنه إن عرض له ما يحرمه بالنسبة لمن يضره في عقله أو بدنه فحرام، كما يحرم العسل على المحرور والطين لمن يضره، وقد يعرض له ما يبيحه بل يصيره مسنوناً، كما إذا استعمل للتداوي بقول ثقة أو تجربة نفسه بأنه دواء للعلة التي شرب لها، كالتداوي بالنجاسة غير صرف الخمر، وحيث خلا عن تلك العوارض فهو مكروه، إذ الخلاف القوي في الحرمة يفيد الكراهة

Tidak ada hadits mengenai tembakau dan tidak ada atsar (ucapan dan tindakan) dari seorang pun di antara para shahabat Nabi SAW. … Jelasnya, jika terdapat unsur-unsur yang membawa mudarat bagi seseorang pada akal atau badannya, maka hukumnya adalah haram sebagaimana madu itu haram bagi orang yang sedang sakit demam, dan lumpur itu haram bila membawa mudarat bagi seseorang. Namun kadangkala terdapat unsur-unsur yang mubah tetapi berubah menjadi sunnah sebagaimana bila sesuatu yang mubah itu dimaksudkan untuk pengobatan berdasarkan keterangan terpercaya atau pengalaman dirinya bahwa sesuatu itu dapat menjadi obat untuk penyakit yang diderita sebagaimana berobat dengan benda najis selain khamr. Sekiranya terbebas dari unsur-unsur haram dan mubah, maka hukumnya makruh karena bila terdapat unsur-unsur yang bertolak belakang dengan unsur-unsur haram itu dapat difahami makruh hukumnya.

Senada dengan sepotong paparan di atas, apa yang telah diuraikan oleh Mahmud Syaltut di dalam Al-Fatawa (hal.383-384) dengan sepenggal teks sebagai berikut:

إن التبغ ..... فحكم بعضهم بحله نظرا إلى أنه ليس مسكرا ولا من شأنه أن يسكر ونظرا إلى أنه ليس ضارا لكل من يتناوله, والأصل في مثله أن يكون حلالا ولكن تطرأ فيه الحرمة بالنسبة فقط لمن يضره ويتأثر به. .... وحكم بعض أخر بحرمته أوكراهته نظرا إلى ما عرف عنه من أنه يحدث ضعفا فى صحة شاربه يفقده شهوة الطعام ويعرض أجهزته الحيوية أو أكثرها للخلل والإضطراب.

Tentang tembakau … sebagian ulama menghukumi halal karena memandang bahwasanya tembakau tidaklah memabukkan, dan hakikatnya bukanlah benda yang memabukkan, disamping itu juga tidak membawa mudarat bagi setiap orang yang mengkonsumsi. ...Pada dasarnya semisal tembakau adalah halal, tetapi bisa jadi haram bagi orang yang memungkinkan terkena mudarat dan dampak negatifnya. Sedangkan sebagian ulama' lainnya menghukumi haram atau makruh karena memandang tembakau dapat mengurangi kesehatan, nafsu makan, dan menyebabkan organ-organ penting terjadi infeksi serta kurang stabil.

Demikian pula apa yang telah dijelaskan oleh Prof Dr Wahbah Az-Zuhailiy di dalam Al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuh (Cet. III, Jilid 6, hal. 166-167) dengan sepotong teks, sebagai berikut:

القهوة والدخان: سئل صاحب العباب الشافعي عن القهوة، فأجاب: للوسائل حكم المقاصد فإن قصدت للإعانة على قربة كانت قربة أو مباح فمباحة أو مكروه فمكروهة أو حرام فمحرمة وأيده بعض الحنابلة على هذا التفضيل. وقال الشيخ مرعي بن يوسف الحنبلي صاحب غاية المنتهى: ويتجه حل شرب الدخان والقهوة والأولى لكل ذي مروءة تركهما

Masalah kopi dan rokok; penyusun kitab Al-'Ubab dari madzhab Asy-Syafi'i ditanya mengenai kopi, lalu ia menjawab: (Kopi itu sarana) hukum, setiap sarana itu sesuai dengan tujuannnya. Jika sarana itu dimaksudkan untuk ibadah maka menjadi ibadah, untuk yang mubah maka menjadi mubah, untuk yang makruh maka menjadi makruh, atau haram maka menjadi haram. Hal ini dikuatkan oleh sebagian ulama' dari madzhab Hanbaliy terkait penetapan tingkatan hukum ini. Syaikh Mar'i ibn Yusuf dari madzhab Hanbaliy, penyusun kitab Ghayah al-Muntaha mengatakan : Jawaban tersebut mengarah pada rokok dan kopi itu hukumnya mubah, tetapi bagi orang yang santun lebih utama meninggalkan keduanya.

Ulasan 'Illah (reason of law)

Sangat menarik bila tiga tingkatan hukum merokok sebagaimana di atas ditelusuri lebih cermat. Kiranya ada benang ruwet dan rumit yang dapat diurai dalam perbedaan pendapat yang terasa semakin sengit mengenai hukum merokok. Benang ruwet dan rumit itu adalah beberapa pandangan kontradiktif dalam menetapkan 'illah atau alasan hukum yang di antaranya akan diulas dalam beberapa bagian.

Pertama; sebagian besar ulama' terdahulu berpandangan, bahwa merokok itu mubah atau makruh. Mereka pada masa itu lebih bertendensi pada bukti, bahwa merokok tidak membawa mudarat, atau membawa mudarat tetapi relatif kecil. Barangkali dalam gambaran kita sekarang, bahwa kemudaratan merokok dapat pula dinyaakan tidak lebih besar dari kemudaratan durian yang jelas berkadar kolesterol tinggi. Betapa tidak, sepuluh tahun lebih seseorang merokok dalam setiap hari merokok belum tentu menderita penyakit akibat merokok. Sedangkan selama tiga bulan saja seseorang dalam setiap hari makan durian, kemungkinan besar dia akan terjangkit penyakit berat.

Kedua; berbeda dengan pandangan sebagian besar ulama' terdahulu, pandangan sebagian ulama sekarang yang cenderung mengharamkan merokok karena lebih bertendensi pada informasi (bukan bukti) mengenai hasil penelitian medis yang sangat detail dalam menemukan sekecil apa pun kemudaratan yang kemudian terkesan menjadi lebih besar. Apabila karakter penelitian medis semacam ini kurang dicermati, kemudaratan merokok akan cenderung dipahami jauh lebih besar dari apa yang sebenarnya. Selanjutnya, kemudaratan yang sebenarnya kecil dan terkesan jauh lebih besar itu (hanya dalam bayangan) dijadikan dasar untuk menetapkan hukum haram. Padahal, kemudaratan yang relatif kecil itu seharusnya dijadikan dasar untuk menetapkan hukum makruh.

Hal seperti ini kemungkinan dapat terjadi khususnya dalam membahas dan menetapkan hukum merokok. Tidakkah banyak pula makanan dan minuman yang dinyatakan halal, ternyata secara medis dipandang tidak steril untuk dikonsumsi. Mungkinkah setiap makanan dan minuman yang dinyatakan tidak steril itu kemudian dihukumi haram, ataukah harus dicermati seberapa besar kemudaratannya, kemudian ditentukan mubah, makruh ataukah haram hukumnya.

Ketiga; hukum merokok itu bisa jadi bersifat relatif dan seimbang dengan apa yang diakibatkannya mengingat hukum itu berporos pada 'illah yang mendasarinya. Dengan demikian, pada satu sisi dapat dipahami bahwa merokok itu haram bagi orang tertentu yang dimungkinkan dapat terkena mudaratnya. Akan tetapi merokok itu mubah atau makruh bagi orang tertentu yang tidak terkena mudaratnya atau terkena mudaratnya tetapi kadarnya kecil.

Keempat; kalaulah merokok itu membawa mudarat relatif kecil dengan hukum makruh, kemudian di balik kemudaratan itu terdapat kemaslahatan yang lebih besar, maka hukum makruh itu dapat berubah menjadi mubah. Adapun bentuk kemaslahatan itu seperti membangkitkan semangat berpikir dan bekerja sebagaimana biasa dirasakan oleh para perokok. Hal ini selama tidak berlebihan yang dapat membawa mudarat cukup besar. Apa pun yang dikonsumsi secara berlebihan dan jika membawa mudarat cukup besar, maka haram hukumnya. Berbeda dengan benda yang secara jelas memabukkan, hukumnya tetap haram meskipun terdapat manfaat apa pun bentuknya karena kemudaratannya tentu lebih besar dari manfaatnya.


KH Arwani Faishal
Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masa’il PBNU

MUI Haramkan Senam Yoga

MUI Haramkan Senam Yoga

Majelis Ulama Indonesia (MUI) memfatwakan senam yoga haram apabila di dalamnya ada melakukan ritual agama lain. Menurut Ketua Panitia Yaswirman, senam yoga yang melakukan ritual dan meditas dinyatakan haram, karena sudah menzalimi agama lain.

"Sebenarnya senam Yoga itu tidak terlalu diperdebatkan, karena dari awal sidang, Wakil Ketua Komisi Fatwa MUI Ali Mustafa Yaqub sudah memberikan sinyal itu. Senam Yoga bisa halal jika hanya senam kebugaran tubuh saja," jelasnya dalam sidang Pleno Ijtima' MUI di Aula Perguruan Diniyah Putri Kota Padang Panjang, Sumatra Barat, Senin (26/1).

Sementara yoga, menurut Yaswirman,memiliki unsur-unsur doa yang melibatkan kegiatan mirip ritual keagamaan tertentu. Hal inilah yang menajdikan alasan MUI mengeluarkan fatwa haram atas Yoga.

Sidang yang berlangsung hingga pukul 03.00 WIB dini hari ini menyatakan, sidang bisa halal, jika tujuan dari senam itu hanya untuk sekadar olah kebugaran tubuh saja. Perdebatan tentang fatwa rokok, golput, dan yoga kini sudah clear semuanya. (min)

Kamis, 22 Januari 2009

Pejuang Irak Manfaatkan Google untuk Serang Pasukan Inggris

Pejuang Irak Manfaatkan Google untuk Serang Pasukan Inggris Cetak halaman ini Kirim halaman ini ke teman via E-mail
Anam
Monday, 15 January 2007
ImageIrak, (Alislamu.com) – Pejuang Irak memanfaatkan mesin pencari google untuk menyerang kamp militer Inggris di Irak.

Harian Daily Telegraph melaporkan, informasi ini didasarkan pada penemuan gambar saat pasukan Inggris menyerang rumah tempat persembunyian pejuang Irak.

Gambar itu berupa kota Basharah Selatan yang didalamnya terdapat kamp militer dan sarana pendukungnya seperti tenda, tempat cuci, dan kamar mandi.

"Kami yakin mereka menggunakan google earth untuk melakukan penyerangan," kata pejabat inteligen Inggris.

Tapi, hingga kini belum ditemukan bukti yang kuat yang menegaskan bahwa pejuang Irak melakukan penyerangan terhadap pasukan Inggris dengan bantuan google earth. (ist/ha)

Google Trends: Jakarta Terbanyak Memasukkan Kata "Islam” Dalam Mesin Pencari

Mungkin ada sebagian dari Anda yang belum mengetahui, ada fasilitas baru di google yang menyediakan informasi trend kata apa yang paling banyak dimasukkan dalam mesin pencari milik mereka. Hasil penghitungannya, bahkan telah tersedia dalam kategori negara, kota dan bahasa.

Dari data inilah, sedikit banyak, kita bisa memperoleh informasi kira-kira pengguna internet di negara tertentu banyak mencari informasi kategori apa. Jika kita ketik kata “microsoft” misalnya, fasilitas google trends akan menampilkan negara pengguna internet terbanyak yang mencari kata itu adalah India. Di bawah India ada sekitar sembilang negara lain yang termasuk negara terbanyak yang memasukan asal kata microsoft, di mana hasil pencarian itu bisa dalam bentuk artikel, analisa, program, software dan semacamnya.

Yang unik, ketika kita memasukkan kata “sex”, ternyata jumlah netters terbanyak yang mencari kata itu dalam search engine google, adalah negara-negara Arab, dan menggunakan bahasa Arab. Setidaknya ada tujuh negara Arab yang termasuk dalam list 10 negara terbanyak mencari informasi yang berasal dari akar kata “sex”. Tentu saja, hal ini tidak otomatis menggambarkan bahwa para netters itu pasti mencari sesuatu yang negatif dari kata tersebut, karena ada banyak informasi yang bisa disajikan tentangnya.

Jika kita memasukkan kata “Islam”, ini juga unik tapi menyejukkan. Ternyata, jumlah pengguna media maya di seluruh dunia yang paling banyak mencari kata tersebut, adalah Indonesia. Di bawahnya, ada Malaysia, Pakistan, Maroko, Uni Emirat Arab, Mesir dan Turki. Lebih spesifik kota yang paling banyak mencari kata “Islam” dari seluruh kota di dunia, adalah Jakarta. Namun dalam lingkup Indonesia, propinsi yang paling banyak mencari kata tersebut adalah Yogyakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat, Jakarta, dan Sumatera.

Anda bisa mencoba melihat sendiri trend kata apa yang ingin Anda lihat perbandingan penggunaannya di media maya dengan mengunjungi http://www.google.Com/trends

Rabu, 21 Januari 2009

Hukum Berdzikir Memakai Tasbih

Berdzikir Memakai Tasbih

Ada beberapa amalam berupa dzikir atau shalawat yang ditentukan bilangannya. Seperti sehabis shalat wajib disunnahkan membaca "Subhanallah" sebanyak 33 kali. "Alhamdulillah" 33 kali, "Allahu akbar" 33 kali dan "La Ilaha illallah" 100 kali. Demikian pula membaca shalawat nariyah 4444 kali.

Untuk mencapai bilangan itu, biasanya orang-orang memakai tasbih. Ada yang mengklaim bahwa penggunaan tasbih itu adalah bid’ah, sebab tidak ada pada zaman Rasulullah SAW. Lalu bagaimana sebetulnya?

Tasbih dalam bahasa Arab disebut dengan as-subhah atau al-misbahah. Yaitu untaian mutiara atau manik-manik dengan benang yang biasa digunakan untuk menghitung jumlah tasbih (bacaan Subhanallah), doa dan shalawat. Dan ternyata pada masa Rasulullah pemakaian tasbih ini sudah dilaksanakan. Dalam sebuah hadits dijelaskan:

“Diriwayatkan dari Aisyah binti Sa’d bin Abi Waqash dari ayahnya bahwa dia bersama Rasulullah SAW pernah masuk ke rumah seorang perempuan. Perempuan itu memegang biji-bijian atau krikil yang digunakan untuk menghitung bacaan tasbih. Lalu Rasulullah SAW bersabda:

أُخْبِرُكِ بِمَا هُوَ أَيْسَرُعَلَيْكِ مِنْ هَذَا أوْ أفْضَلُ فَقَالَ قُوْلِيْ سُبْحَانَ اللهِ عَدَدَ مَاخُلَقَ فِي السَّمَاءِ، سُبْحَانَ اللهِ عَدَدَ مَاخُلِقَ فِي الأرْضِ، سُبْحَانَ اللهِ عَدَدَ مَابَيْنَ ذَلِكَ، سُبْحَانَ الله عَدَدَ مَاهُوَ خَالِقٌ، وَاللهُ أكْبَرُمِثْلَ ذَلِكَ‘وَالْحَمْد ُلِلّهِ مِثْلُ ذَلِكَ، وَلَاإلهَ إلَّااللهُ مِثْلَ ذَلِكَ‘وَلَاحَوْلَ وَلَاقُوَّةَ إلاَّباِللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ مَثْلُ ذَلِكَ

Aku akan memberitahu dirimu hal-hal yang lebih mudah kamu kerjakan atau lebih utama dari menggunakan kerikil ini. Bacalah “Maha Suci Allah” sebanyak bilangan makhluk langit, “Maha Suci Allah” sebanyak hitungan makhluk bumi, “Maha Suci Allah” sebilangan makhluk antara langit dan bumi, “Maha Suci Allah” sebagai Sang Khaliq. “Segala Puji Bagi Allah” seperti itu pula (bilangannya), “Tiada Tuhan Selain Allah” seperti itu pula, ”Allah Maha Besar” seperti itu pula, dan ”Tidak Ada Upaya dan Kekuatan Seian dari Allah” seperti itu pula." (HR Tirmidzi)

Menomentari hadits ini Abi al-Hasanat Abdul Hayyi bin Muhammad Abdul Halim al-Luknawi dalam Nuzhah al-Fikri fi Sabhah ad-Dzikr mengatakan, Rasulullah SAW tidak mengingkari apa yang dilakukan wanita itu. Hanya saja beliau bermaksud untuk memudahkan dan meringankan wanita itu serta memberi tuntutan bacaan yang umum dalam tasbih yang memiliki keutamaan yang besar.

Bertolak dari pendapat ini, kami bisa memahami bahwa para sahabat sudah biasa menggunakan biji-bijian atau kerikil untuk mempermudah di dalam menghitung dzikir-dzikir yang dibaca sehari-hari. Dan hal itu ternyata tidak pernah dipungkiri oleh Rasulullah SAW.

Ini membuktikan bahwa Nabi mengamini (setuju) terhadap apa yang dilakukan oleh para Sahabat itu. Oleh sebab itu, memakai tasbih dalam berdzikir bukannya bid’ah dhalalah (hal baru yang menyesatkan) sebagaimana yang diklaim oleh beberapa orang selama ini. Sebab jika memang menggunakan tasbih itu termasuk hal-hal yang menyesatkan niscaya sejak awal Rasul sudah melarang para sahabat untuk memakainya.


KH Muhyiddin Abdushomad
Pengasuh Pondok Pesantren Nurul Islam, Ketua PCNU Jember

Senin, 19 Januari 2009

Sejarah HITAM Wahhabi Berdasarkan Fakta Sejarah Tulen(1)

Sejarah HITAM Wahhabi Berdasarkan Fakta Sejarah Tulen(1)

MEMBONGKAR FAKTA SEJARAH HITAM WAHHABI BERTINDAK MEMBUNUH UMAT ISLAM

( Edisi Sejarah Hitam Wahhabi Di Kota Thoif )

1- WAHHABI MENYERANG KOTA THOIF SETELAH MENAWAN PEMERINTAHAN ASY-SYARIF GHOLIB HAKIM MEKAH PADA ZUL QAEDAH TAHUN 1217H BERSAMAAN 1802M KEMUDIAN WAHHABI MEMBUNUH PENDUDUK THOIF TERMASUK WANITA DAN KANAK-KANAK DAN WAHHABI TURUT MENYEMBELIH BAYI YANG MASIH DIPANGKUAN IBUNYA.
( Rujuk fakta sejarah tersebut dalam kitab berjudul Kasyfu Al-Irtiyab seperti yang telah discan di atas pada mukasurat 18 karangan Muhammad Muhsin Al-Amin dan beliau turut menukilkan kenyataan yang sama dari Mufti Mekah Ahmad Bin Zaini Dahlan )

2- WAHHABI MEMBUNUH UMAT ISLAM DI DALAM MASJID-MASJID & RUMAH-RUMAH DAN WAHHABI BERTINDAK MENGEJAR SESIAPA YANG LARI DARI SERANGAN MEREKA LALU MEMBUNUH KEBANYAKAN MEREKA YANG LARI ITU, WAHHABI JUGA MENGUMPUL SEBAHAGIAN MEREKA TADI DALAM SATU KAWASAN MALANGNYA KEMUDIAN DIPUKUL LEHER MEREKA (BUNUH) DAN SEBAHAGIAN MEREKA DIBAWA OLEH WAHHABI KE SATU LEMBAH BERNAMA WADI ALUJ LANTAS WAHHABI MENINGGALKAN MEREKA DI WADI YANG KOSONG ITU YANG JAUH DARI PERKAMPUNGAN DALAM KEADAAN MEREKA DIBOGELKAN TANPA PAKAIAN ANTARA LELAKI DAN PEREMPUAN.
( Rujuk fakta sejarah tersebut dalam kitab sejarah berjudul Sofahaat Min Tarikh Al-Jazirah Al-Arabiyah Al-Hadithah pada mukasurat 178 dikumpulkan oleh Dr. Muhammad 'Audh Al-Khatib )

Sabtu, 17 Januari 2009

KEMULIAAN KETURUNAN (AHLUL-BAIT)RASULALLAH SAW (XVIII)

Kemuliaan dan kedudukan keturunan Rasulallah saw.:
Mari kita teruskan lagi hadits-hadits Rasulallah saw. mengenai keutamaan dan kedudukan keturunan beliau saw.. Sabda Rasulallah saw.:
(Man sarrahu an yahyaa hayaatii wa yamuuta mamaatii wa yaskuna jannata ‘adnin ghorosahaa robbii falyuwaali ‘Aliyyan min ba’dii walyuwaali waliyyahu walyagtadi biahli baitii min ba’dii fainnahum ‘itrotii khuliguu min thiinatii waruziguu fahmii wa ‘ilmii fawailun lilmukaddzibiin bifadhlihim min ummatiil goothi’iina fiihim shilatii laa anzalahumullahu syafaa’atii.)
Artinya: “Barangsiapa senang hidup seperti hidupku dan mati seperti matiku, lalu ia ingin menjadi penghuni surga ‘Adn yang ditanam oleh Tuhanku, hendaknya ia mengangkat ‘Ali sebagai pemimpin sepeninggalku, dan orang itu pun hendaknya mengikuti pimpinan yang diangkat olehnya (‘Ali kw ) sebagai pemimpin, dan supaya berteladan kepada ahlubaitku sepeninggalku. Sebab mereka itu adalah keturunanku dan diciptakan dari darah daging- ku serta dikarunia pengertian dan ilmuku. Celakalah orang dari ummatku yang mendustakan keutamaan mereka, dan memutuskan hubungan dengan- ku melalui (pemutusan hubungan dengan) mereka. Allah tidak akan menurunkan syafa’atku kepada orang-orang seperti itu“ (hadits ini dikeluarkan oleh Thabrani dalam kitabnya ‘Al-Kabir’ dan di keluarkan juga oleh Ar-Rafi’i dalam ‘Musnad-nya’ berdasarkan isnad Ibnu ‘Abbas. Kanzul ‘Ummal jilid 6 hal. 217 hadits no. 3819).
 Juga sabda Rasulallah saw :
(Man ahabba an yahyaa hayaati wa yamuuta maitatii wa yadkhulal jannata allatii wa ‘adanii robii wa hiya jannatul khuldi falyatawalla ‘Aliyyan wa dzurriyatahu min ba’dihi fainnahum lan yukhrijukum baaba hudan wa lan yudkhiluukum baaba dholaalatin.)
Artinya:” Siapa yang ingin hidup seperti hidupku wafat seperti wafatku serta masuk ke surga yang telah dijanjikan kepadaku oleh Tuhanku yaitu Jannatul Khuld, maka hendaklah ia berwilayah (berpemimpin) kepada ‘Ali dan keturunan sesudahnya, karena sesungguhnya mereka tidak akan mengeluar kan kamu dari pintu petunjuk dan tidak akan memasukkan kamu kepintu kesesatan “. Hadits semacam ini terdapat didalam: Shahih Bukhari, jilid 5, hal. 65, cet. Darul Fikr; jilid 5 halaman 159, cet.Mathabi’ Asy-Sya’b.; Shahih Muslim, jilid 2, halaman 51, cet. Al-Halabi, jilid 5, halaman 119, cet.Syirkah Al-I’lanat. ; Mizanul I’tidal, oleh Adz-Dzahabi, jilid 4, halaman 415 cet. Dar Ihya’ Al-Kutub Al-‘Arabiyah.; Al-Manaqib, oleh Al-Khawarizmi, halaman 34. ; Yanabi’ul Mawaddah, oleh Al-Qundusi Al-Hanafi, halaman 149 dan 150, cet. Al-Haidariyah, halaman 126 cet. Istanbul. ; Al-Ishabah, oleh Ibnu Hajar Al-‘Asqalani Asy-Syafi’i, jilid 1, halaman 541, cet. Mushthafa Muhammad; jilid 1, halaman 559, cet. As-Sa’adah.
Hadits Safinah (perahu):
Disamping hadits-hadits yang telah dikemukakan tadi, marilah kita ikuti lagi Hadits Safinah (Perahu) berikut ini: Rasulallah saw. ber- sabda:
(Inna matsala ahla baitii fiikum kamatsali safiinati Nuuha man rokibahaa najan, wa man takhollafa ‘anhaa ghorogo)
Artinya: “Ingatlah, sesungguhnya perumpamaan Ahlu Baitku bagi kalian seperti bahtera Nuh, siapa yang menaikinya selamat dan siapa yang ter- tinggal akan tenggelam”. Hadits ini bisa kita baca didalam:
Al-Mustaddrak Al-Hakim jilid 3, hal.151. ; Nizham Durar As-Samthin, oleh Az-Zarnadi Al-Hanafi hal. 235. ; Ash-Shawa’iqul Muhriqah, oleh Ibnu Hajar hal. 184 dan 234, cet. Al-Muhammadiyah, Mesir, hal. 111 dan 140 cet.Al-Maimaniyah, Mesir. ; Yanabi’ul Mawaddah, oleh Al-Qundusi Al-Hanafi, hal. 30 dan 370 cet.Al-Haidariyah, hal. 27 dan 308 cet.Istanbul. ; Tarikh al-Khulafa’ oleh As-Suyuthi Asy-Syafi’i. ; Is’afur Raghibin oleh Ash-Shabban Asy Syafi’i hal.109 cet.As-Sa’idiyah, hal.103 cet.Al-‘Utsmaniyah. ; Faraid As-Samthin jilid 2 hal. 246 hadits ke 519.
 Juga sabda beliau saw.:
(Inna matsala ahla baitii fiikum kamatsali safiinati Nuuha man rokibahaa najaa, wa man takhollafa ‘anhaa ghorogo, wa innamaa matsalu ahli baitii fiikum matsalu Baabi Hiththotin fii banii Israaiila man dakholahuu ghufira lahuu.)
Artinya: “Sungguh perumpamaan Ahlu Baitku bagi kalian seperti bahtera Nuh, siapa yang menaikinya selamat dan siapa yang tertinggal akan tenggelam. Dan perumpamaan Ahlu-Baitku bagi kalian seperti pintu Hith- thah Bani Israil, siapa yang memasukinya ia akan diampuni”.
Hadits ini bisa kita baca didalam: Al-Mu’jam Ash-Shaqir oleh Ath Thabrani jilid 2, hal.22. ; Kifayah Ath-Thalib, oleh Al-Kanji Asy-Syafi’i hal.378, cet.Al-Haidariyah, hal..234, cet.Al-Ghira.; Majma’uz Zawaid,oleh Al-Haitsami Asy-Syafi’i jilid 9, hal.168. ; Ihyaul Mayyit oleh As-Suyuthi (catatan pinggir) Al-Ittihaf oleh Syibrawi hal.113. ; Ash-Shawa’iqul Muhriqah oleh Ibnu Hajar, hal. 91 cet.Al-Maimaniyah, hal.150 cet. Al-Muhammadiyah Mesir. ; Yanabi’ul Mawaddah oleh Al-Qundusi Al-Hanafi, hal.28 dan 298, cet. Istanbul, hal.30 dan 358, cet.Al-Haidariyah dan masih banyak lainnya lagi
Makna perumpamaan ahlul Bait sebagai pintu pengampunan ialah bahwa Allah swt. telah menjadikan pintu itu sebagai perwujudan sikap merendahkan diri terhadap keagungan-Nya. Sikap seperti ini akan menyebabkan datang- nya maghfirah atau ampunan-Nya. Demikian pula bila ummat ini dengan segala keikhlasan mau mengikuti petunjuk penerus Nabi saw. yaitu para Imam dan Ulama dari kalangan keturunan Rasulallah saw. akan merupakan perwujudan sikap patuh serta tunduk pada kehendak Allah swt. Sikap seperti ini lah yang akan mendatangkan maghfirah/ampunan Allah swt. bagi mereka! Demikian juga Ibnu Hajar dalam kitab As-Sawaiq bab 11 halaman 91 telah mencoba membuat persamaan dalam hal ini. Setelah beliau menukil hadits-hadits yang serupa dan semakna diatas dan lain-lainnya.
 Juga sabdanya lagi:
(Annujuumu amaanun liahlil ardhi minal ghorogi wa ahlu baitii amaanun liummatii minal ikhtilaaf [fid diini faidzaa khoolafathaa gobiilatun minal ‘arabi [ya’nii fii ahkaamil llaahi ta’aala] ikhtalafuu fashooruu hizba ibliisa.)
Artinya: “Bintang-bintang adalah keselamatan bagi penghuni bumi dari (bahaya) tenggelam (didasar laut) dan ahlubaitku adalah keselamatan bagi ummatku dari perselisihan. Apabila ada kabilah Arab yang membelakangi ahlubaitku mereka akan berselisih kemudian akan menjadi kelompok iblis“. (Hadits ini dikemukakan oleh Al-Hakim dan dibenarkan oleh Bukhori dan Muslim, juga hadits ini bisa kita rujuk didalam Ash-Shawa’iqul Muhriqah oleh Ibnu Hajar hal. 91 dan 140 cet. Al-Maimaniyah, hal. 150 dan 234 cet.Al-Muhammadiyah; Muntakhab Kanzul ‘Ummal (catatan pinggir) Musnad Ahmad jilid 5 hal.93 ; Jawahirul Bihar oleh An-Nabhani jilid 1, hal. 361 cet.Al-Halabi Mesir dan lain-lainnya).
Demikianlah antara lain kalimat hadits Tsaqalain, hadits Safinah dan lainnya serta hadits mengenai Sayyidina Ali kw.serta keturunan- nya yang dimuat juga dalam Muntakhab al-Kanz (baca catatan pinggir Musnad Imam Ahmad jilid 5 halaman 32) yang semuanya jarang sekali, hampir tidak pernah, di kumandangkan oleh ulama kita Ahlusunnah wal Jama’ah dimasjid-masjid, padahal ini termasuk wasiat Rasulallah saw. yang penting untuk kaum muslimin.
Lafadh hadits tqalain, hadits Al-Kisa’, hadits Safinah dan lafadz hadits lain- nya mengenai kemuliaan, kedudukan keturunan Rasulallah saw. banyak di riwayatkan oleh para sahabat dan perawi dari ulama pakar dengan bermacam-macam ragam tapi makna atau intinya sama yaitu kita diperingatkan oleh beliau saw.harus berpegang teguh pada dua bekal berat Kitabullah dan Ahlul Bait (keturunan) Rasulallah dan celakalah orang yang mengingkari dan mendustakan keutamaan keturunan beliau saw..
Hadits-hadits Rasulallah saw. diatas semuanya dikutip oleh para ulama Ahlus Sunnah terkemuka dan dikeluarkan juga oleh para ulama Islam dari berbagai madzhab, seperti madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hanbali, madzhab Imamiyah, madzhab Zaidiyyah dan lain sebagainya.

Pendapat Imam Turmudzi makna hadits Tsaqalain, Safinah:
Persoalan hadits diatas yang mana Rasulallah saw. menegaskan bahwa ‘ahlubaitku adalah keselamatan bagi ummatku’ mengundang perhatian beberapa ulama untuk mempermasalahkan makna ini hadits. Masing-masing mengajukan hujah dan dalil-dalil sendiri untuk memperkuat pendapatnya dan dalam tiap diskusi perbedaan pendapat itu selalu ada. Mari kita ikuti pendapat Imam Turmudzi masalah hadits-hadits Rasulallah saw. mengenai ahlu-baitnya. Kami akan kutip pendapat Turmudzi dan langsung sanggahan dari ulama lainnya atas pendapat Imam Turmudzi ini.
“Imam Turmudzi dalam kitabnya Nawadirul-Ushul menerangkan, bahwa ahlul-bait Rasulallah saw. yang dimaksud dalam hadits tersebut ialah; ‘Orang-orang yang meneruskan jalan hidup Rasulallah saw. setelah beliau wafat. Mereka adalah orang-orang shiddiq, orang-orang abdal (keramat) sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam ‘Ali bin Abi Thalib kwa. dengan ucapannya:
“Akan muncul orang-orang abdal (keramat) di Syam. Mereka berjumlah empat puluh orang. Tiap ada seorang dari mereka wafat, Allah mengganti kedudukannya dengan orang lain. Karena abdal (kekeramatan) mereka Allah menurunkan hujan, karena kekeramatan mereka Allah memenangkan mereka atas musuh-musuhnya dan karena kekeramatan mereka Allah menyelematkan penghuni bumi dari malapetaka…”.
Mereka itulah kata Imam Turmudzi ahlul-bait Rasulallah saw.yang menjadi sebab keselamatan ummat ini. Bila mereka itu lenyap, rusaklah bumi ini dan hancurlah dunia…. Selanjutnya Turmudzi mengatakan:
1). Pengertian mengenai ahlul-bait tidak bisa didasarkan pada makna hadits yang berbunyi: “Manakala ahlulbaiku lenyap maka datanglah kepada ummatku apa (bencana) yang dijanjikan”.
Bagaimana dapat dibayangkan kalau ahlulbait sudah tidak ada lagi, tidak akan ada seorang pun dari ummat Muhammad saw. yang masih tinggal? Jumlah ummat Muhammad jauh lebih banyak daripada –ahlulbait– yang dapat dihitung dan Allah swt. senantiasa melindungi mereka (ummat Muhammad) dengan berkah dan rahmat-Nya. Pengertian mengenai ahlulbait juga tidak dapat didasarkan pada hadits yang berbunyi: ‘Semua sebab dan nasab akan terputus kecuali sebabku dan nasabku’.
2). Menurut hadits tersebut, ahlulbait Rasulallah saw. ialah nasab beliau, yakni Bani Hasyim dan Bani ‘Abdul Mutthalib. Akan tetapi mereka bukan merupakan sebab bagi keselamatan ummat Islam, sehingga orang boleh berkata: “Kalau mereka lenyap akan lenyap pula dunia ini” !
3). Dikalangan mereka pun terdapat keburukan (fasad) seperti yang terdapat didalam golongan lain. Diantara mereka ada yang baik (muhsin) dan ada pula yang buruk (musi’). Lalu bagaimana dapat dikatakan bahwa mereka itu merupakan sebab bagi keselamatan penghuni bumi? Jadi jelaslah, bahwa yang dimaksud (ucapan) Rasulallah saw. ialah; orang-orang yang karena mereka itu dunia ini tetap lestari. Mereka itulah lambang kehidupan dan para pembimbing manusia kejalan hidayat pada setiap zaman. Tanpa mereka tak ada kehormatan apa pun dimuka bumi dan bencana akan merajalela…
Imam Turmudzi melanjutkan: Kalau ada yang mengatakan bahwa kemuliaan ahlulbait dan dekatnya hubungan mereka dengan Rasulallah saw. itu yang membuat mereka menjadi sebab keselamatan bagi penghuni bumi, orang lain tentu dapat menjawab: ‘Ke hormatan dan kemuliaan Rasulallah saw. jauh lebih agung’! Dibumi ini ada sesuatu yang lebih mulia dan lebih agung dibandingkan dengan keturunan Rasulallah saw. yaitu Kitabullah Al-Qur’an, walau tidak disebut dalam hadits diatas tadi. Selain itu kehormatan dan kemuliaan ada juga pada para ahli takwa.
Dalam penjelasannya mengenai sebab-sebab yang membuat Muhammad Rasulallah saw. menjadi manusia besar, mulia dan agung, Turmudzi mengatakan: ‘Kehormatan, kebesaran dan keagungan Rasulallah saw. adalah berkat kenabian dan kemuliaan yang dilimpah- kan Allah swt.kepada beliau’. Sebagai dalil mengenai hal itu dapat dikemukakan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah sebagai berikut:
“Pada suatu hari Rasulallah saw. mendatangi (Siti) Fathimah. Ditempat kediaman (Siti) Fathimah terdapat Shafiyyah (bibi Rasulallah saw.). Beliau kemudian bersabda: ‘Hai Bani ‘Abdu Manaf, Hai Bani ‘Abdul Mutthalib, Hai Fathimah binti Muhammad, Hai Shafiyyah bibi Rasulallah Allah. Dihadirat Allah aku tidak bermanfaat bagi kalian. Mintalah berapa saja dari hartaku yang kalian inginkan. Ketahuilah, bahwa orang yang terbaik bagiku pada hari kiamat ialah mereka yang bertakwa. Jika kalian hanya mengandalkan kekerabatan kalian denganku, disaat orang lain datang kepadaku membawa amal kebajikan lalu kalian datang kepadaku hanya membawa keduniaan di leher kalian. Kemudian memanggil-manggil ‘Hai Muhammad’, aku men- jawab dengan memalingkan wajahku dari kalian. Kalian lalu memanggil lagi ‘Hai Muhammad’. Akupun menjawab begitu lagi. Kemudian kalian berkata: ‘Hai Muhammad, Aku ini si Fulan bin Fulan’. Aku menjawab: ‘Tentang nasab kalian aku memang kenal, tetapi tentang amal kebajikan kalian aku tidak tahu. Kalian telah meninggalkan kitabullah, karena itu kalian kembali kepada kekerabatan (yang kalian andalkan) antara aku dan kalian’ ”.
 Diriwayatkan pula bahwa saat itu Rasulallah saw. menegaskan: “Diantara kalian, orang-orang yang memperoleh perlindunganku bukanlah mereka yang berkata: ‘ayahku si Fulan’, tetapi diantara kalian yang memperoleh perlindunganku ialah mereka yang bertakwa, siapa pun mereka itu dan bagaimana pun keadaan mereka”.
Jawaban atas pendapat Imam Turmudzi :
Penafsiran dan pendapat Imam Turmudzi mengenai hadits diatas tentang ahlul-bait, ternyata memperoleh tanggapan dari para ulama yang lain di antaranya yaitu Yusuf bin Ismail An-Nabhani dalam kitabnya Ashsyaraful Muabbad li Aal Muhammad menuturkan:
“Sementara jama’ah ahli hadits meriwayatkan sebuah hadits (hadits Safinah) yang diriwayatkan oleh banyak sahabat Nabi saw. bahwasanya Rasulallah saw. bersabda: ‘Ahlubaitku ditengah-tengah kalian ibarat bahtera Nuh. Barangsiapa menaikinya ia selamat, dan yang ketinggalan ia celaka (sumber riwayat lain mengatakan … ia tenggelam, dan sumber yang lainnya mengatakan..ia di giring ke neraka)’.
Abu Dzar Al-Ghifari mengatakan: Aku mendengar Rasulallah saw. bersabda: “Jadikanlah ahlubaitku bagi kalian seperti kedudukan kepala bagi tubuh dan seperti kedudukan dua mata bagi kepala’”.
Imam Al-Hakim meriwayatkan sebuah hadits yang dibenarkan oleh Bukhori dan Muslim: “‘Bintang-bintang adalah keselamatan bagi penghuni bumi dari (bahaya) tenggelam (didasar laut) dan ahlubaitku adalah keselamatan bagi ummatku dari perselisihan. Apabila ada kabilah Arab yang membelakangi ahlubaitku mereka akan berselisih kemudian mereka akan menjadi kelompok iblis’.
Hadits yang lain dikemukakan juga oleh jama’ah ahli hadits, yaitu bahwasa nya Rasulallah saw. bersabda: “Bintang-bintang adalah keselamatan bagi penghuni langit dan ahlubaitku adalah keselamatan bagi ummatku. (Menurut sumber riwayat lain keselamatan bagi penghuni bumi). Manakala ahlubaitku lenyap (binasa) maka yang dijanjikan dalam ayat-ayat Al-Qur’an akan tiba (yaitu bencana)”.
Hadits seperti itu juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal: “Apabila bintang-bintang lenyap, lenyaplah penghuni langit dan apa- bila ahlulbaitku lenyap, lenyaplah penghuni bumi’.
Setelah mengemukakan hadits-hadits tersebut diatas An-Nabhani kemudian mengatakan: ‘Bagaimana pun juga ahlulbait Rasulallah dan keturunan beliau saw. dipermukaan bumi ini merupakan sebab atau syarat bagi keselamatan ummat manusia, dan pada khusus- nya merupakan syarat keselamatan ummat Muhammad saw. dari adzab/siksa neraka. Yang dimaksud oleh hadits itu bukan hanya khusus anggota keluarga yang sholeh saja. Sebab cirri kemuliaan yang ada pada unsur keturunan beliau saw. sama sekali tidak tergantung pada sifat-sifat mereka’.
Sebagai dalil mengenai itu An-Nabhani menunjuk kepada pernyataan Ash-Shabban didalam kitabnya Is’afur Raghibin yang mengatakan bahwa pengertian tersebut diatas diperoleh dari isyarat yang terkandung dalam surat Al-Anfal: 33 : ‘Dan Allah sekali-kali tidak akan menyiksa mereka (orang-orang durhaka) sedang engkau berada ditengah-tengah mereka’. Sekali pun ayat itu ditujukan kepada Rasulallah saw., namun ahlulbait dan keturunan beliau dapat didudukkan pada tempat beliau, karena mereka itu berasal dari beliau dan beliau pun berasal atau senasab dengan mereka, sebagaimana yang diriwayatkan oleh beberapa hadits.
Kemudian An-Nabhani mengetengahkan sebuah hadits bahwa Rasulallah saw. menegaskan: ‘Orang-orang pertama yang mengalami bencana adalah Quraisy, dan orang-orang Quraisy yang pertama mengalami bencana adalah ahlulbaitku..(riwayat lain mengatakan bukan bencana [halak] melainkan kepunahan [fana] dan bukan pula ahlulbaitku melainkan Bani Hasyim )’.
Para ahli syarah ilmu hadits, termasuk Al-manawi dan lain-lain menjelaskan makna hadits tersebut sebagai berikut: ‘Bencana yang menimpa mereka merupakan pertanda akan datangnya hari kiamat, sebab hari kiamat akan tejadi akibat perbuatan manusia-manusia jahat, sedangkan para keluarga keturunan Rasulallah saw. adalah (keturunan) orang-orang baik’.
Menanggapi penjelasan Al-Manawi tersebut An-Nabhani mengatakan: ‘Rasanya penjelasan Al-manawi itu dapat dijadikan tafsir bagi hadits tersebut diatas, bahkan lebih baik daripada penafsiran kami. Dengan demikian maka teranglah bahwa penafsiran Turmudzi tidak dapat diterima, yaitu penafsiran yang mengartikan dzurriyatu (keturunan) Rasulallah saw. dengan abdal (orang-orang keramat) sebagai mana yang terdapat didalam hadits diatas dari Imam ‘Ali bin Abi Thalib ra.’.
An-Nabhani menyanggah pernyataan Imam Turmudzi yang mengatakan: ‘Bagaimana bisa dibayangkan bahwa dengan lenyapnya ahlulbait dari muka bumi ini maka tidak akan ada lagi seorangpun dari ummat Muhammad yang tinggal? Padahal jumlah ummat Muhammad jauh lebih banyak dan Allah selalu melindungi mereka dengan berkah dan rahmat-Nya !
An-Nabhani menjawab: ‘Tidak ada halangan dan tidak ada salahnya jika orang membayangkan hal sedemikian itu. Lebih-lebih karena Rasulallah saw. sendiri telah menegaskan: ‘Orang-orang pertama yang mengalami bencana adalah Quraisy dan orang-orang Quraisy yang pertama mengalami bencana adalah ahlulbaitku’. Hadits ini merupakan salah satu petunjuk tentang rahmat yang dilimpahkan Allah swt. kepada keluarga dan keturunan Rasulallah saw.’.
An-Nabhani menyanggah penafsiran Imam Turmudzi tentang hadits yang mengatakan: ‘Semua sebab dan nasab akan terputus kecuali sebab dan nasabku’. An-Nabhani berkata: ‘Kata putus (dalam hadits ini) tidak berarti kepunahan atau kebinasaan keturunan Rasulallah saw.. Itu hanya dikhususkan pada saat terjadinya hari kiamat, sebagaimana yang dijelaskan oleh hadits-hadits shohih. Kata putus juga berarti nasab (silsilah) tidak bermanfaat, sebagaimana ditegaskan Allah swt. dalam surat Al-Mu’minun : 101: ‘Maka tiada lagi hubungan nasab diantara mereka pada hari itu’. Hanya Rasulallah saw. sajalah yang memperoleh pengecualian (kekhususan) dalam hal sebab (melalui pernikahan) dan dalam hal nasab (melalui ke- turunan). Bagi beliau saw. kemanfaatan sebab dan nasab tetap berkesinambungan baik di dunia mau pun diakhirat. Hal itu diperkuat (dalam hadits lainnya) oleh Rasulallah saw. yang diucapkan dari atas mimbar: ‘Mengapa sampai ada orang-orang yang mengatakan, bahwa kekerabatan Rasulallah saw. tidak bermanfaat pada hari kiamat ? Ya (pasti)..kekerabatanku berkesinambungan didunia dan akhirat’.
Terhadap uraian Imam Turmudzi yang mengatakan: ‘Bahwa Bani Hasyim dan Bani ‘Abdul Mutthalib bukan merupakan syarat bagi keselamatan ummat Muhammad saw. dan bukan pula merupakan orang-orang yang akan mengakibatkan lenyapnya dunia bila mereka lenyap’.
An-Nabhani menjawab: ‘Yang diartikan mereka itu syarat bagi keselamatan ummat ini, bahkan penghuni bumi ini, ialah bahwa dengan masih adanya mereka didunia berarti saat kepunahan dunia ini belum tiba. Bila mereka telah punah, maka penghuni bumi ini akan menyaksikan apa yang telah dijanjikan Allah dalam Al-Qur’an tentang tibanya hari kiamat dan kepunahan dunia ini’.
Terhadap uraian Imam Turmudzi yang mengatakan: ‘Diantara mereka (keturunan Rasulallah saw.) juga terdapat kerusakan (fasad) seperti yang terdapat didalam golongan-golongan dan ada pula yang berlaku buruk. Jadi, bagaimana dapat dikatakan bahwa mereka itu syarat bagi keselamatan ummat ini dan penghuni bumi ?’.
An-Nabhani menjawab: ‘Mereka (keturunan Rasulallah saw.) menjadi syarat bagi keselamatan ummat ini dan penghuni bumi ini bukan karena amal kebajikan mereka, melainkan karena mereka itu adalah unsur suci kenabian yaitu suatu anugerah yang dikhususkan Allah bagi mereka sejak asal. Mereka dianugerahi keistemewaan itu ialah Rahmat Allah yang dilimpahkan kepada mereka sebagai anggota-anggota ahlulbait Rasulallah saw.. Di tengah-tengah mereka Allah menurunkan wahyu-Nya. Dalam hal-hal seperti itu mereka tidak mungkin dapat disamakan dengan orang lain (selain anggota ahlulbait)’.
Terhadap uraian Imam Turmudzi yang mengatakan: ‘Dibumi ini ada yang lebih mulia daripada keturunan Rasulallah saw. yaitu Al-Qur’an, sekali pun hal itu tidak disebut dalam hadits yang bersangkutan’.
An-Nabhani menjawab: ‘Tidak ada keharusan bagi Rasulallah saw. untuk menyebut didalam sebuah hadits (tentang) kemuliaan anak cucu keturunan beliau bersama-sama dengan kemuliaan Al-Qur’an, walau pun jelas bahwa kemuliaan Kitabullah Al-Qur’an jauh lebih besar daripada kemuliaan keturunan Rasulallah saw. Walaupun hal itu bukan merupakan keharusan, namun beliau menyebut kedua-duanya itu dalam hadits Tsaqalain (mengenai hadits-hadits ini baca halaman sebelumnya). Lagi pula diantara ahlulbait Rasulallah saw. tidak ada seorang pun yang mengaku dirinya lebih mulia atau sejajar dengan Kitabullah, dan mereka pun tidak beranggapan bahwa kemuliaan Kitabullah itu disebabkan adanya keistemewaan yang ada pada diri mereka (ahlulbait)’.
Kitabullah menjelang hari kiamat pun akan diangkat. Ibnu Mas’ud ra. mengatakan: “Bacalah Al-Qur’an sebelum diangkat ! Hari kiamat akan terjadi dekat sebelum Al-Qur’an diangkat’! Seorang sahabat bertanya: ‘Hai Abu ‘Abdurrahman (panggilan Ibnu Mas’ud), bagai- manakah arti Kitabullah akan diangkat, padahal itu telah menetap didalam dada dan dilembaran-lembaran mushaf kita’? Ibnu Mas’ud menjawab: ‘Kitabullah memang tetap didalam dada, tetapi tidak diingat dan dibaca orang’ “.
Tidak diragukan lagi bahwa Ibnu Mas’ud tidak berkata menurut pendapatnya sendiri, karena persoalan itu berada diluar pikiran orang. Dari keterangannya itu jelaslah bahwa Kitabullah menjadi syarat bagi keselamatan ummat manusia. Selama Kitabullah masih berada ditengah-tengah ummat manusia, dunia ini tidak akan dimusnahkan Allah. Mengenai keturunan suci Rasulallah saw. tidak boleh diberi penilaian lebih dari apa yang telah kami terangkan”.
Mengenai penegasan Imam Turmudzi bahwa ‘kemuliaan hanya ada pada para ahli taqwa’ berdasarkan dalil sebuah hadits yang meriwayatkan kedatangan Rasulallah saw. di kediaman (Siti) Fathimah ra. disaat Shafiyyah (bibi beliau) berada ditempat itu, kemudian Rasulallah saw. bersabda: “Hai Bani ‘Abdu Manaf, hai Bani ‘Abdul Mutthalib, hai Fathimah binti Muhammad, hai Shofiyyah…….dan seterusnya(silahkan baca hadits terdahulu)”.
An-Nabhani memberi tanggapan atas penegasan Imam Turmudzi ini sebagai berikut: Mengenai soal itu Al-Muhib Ath-Thabrani telah memberikan jawaban meyakinkan, yang kemudian dikutip oleh Al-Manawi dalam kitab Al-Kabir dan oleh Ash-Shabban dalam kitab Is’afur-Raghibin. Jawaban tersebut mengatakan: “Benarlah bahwa Rasulallah saw. tidak mempunyai apa-apa yang (bisa) mendatang- kan manfaat dan madharat (yang telah ditimpakan oleh Allah swt.) bagi orang lain, hanya Allah sajalah yang memiliki hal itu. Namun, dengan kekuasaan-Nya Allah membuat Rasul-Nya bermanfaat bagi kaum kerabatnya, bahkan bagi semua ummatnya, berupa syafa’at khusus dan umum. Beliau saw. tidak mempunyai suatu apa pun selain yang dikaruniakan Allah kepadanya, yaitu seperti yang di tunjukkan oleh sebuah hadits Al-Bukhori mengenai sabda beliau: ‘Kalian yang pria maupun yang wanita mempunyai hubungan silaturrohmi (denganku), yang akan kusambung hubungannya…’. Demikian pula makna ucapan Rasulallah saw.: ‘Dihadirat Allah aku tidak berguna apa pun bagi kalian’ .
Maknanya (hadits itu) ialah: ‘Kalau hanya diriku sendiri tanpa anugerah syafa’at dan ampunan yang dilimpahkan Allah kepadaku, aku tidak dapat memberikan manfaat apa pun kepada kalian ‘. Rasulallah saw menyatakan demikian itu untuk memperingatkan mereka agar banyak-banyak berbuat kebajikan, dan agar mereka memperoleh rahmat Allah karena kebesaran takwanya masing-masing”.
Ash-Shabban mengatakan: “Konon hadits tersebut diatas diucapkan oleh Rasulallah saw. sebelum beliau diberitahu Allah mengenai manfaatnya bernasab kepada beliau. Akan tetapi tampaknya bahasa Arab kurang membantu At-Turmudzi dalam menafsirkan hadits-hadits tentang ahlulbait. Adakah orang yang mengartikan ahlulbait dengan orang-orang keramat (abdal)? Demi Allah tidak ada! Tidak ada seorang pun yang mendengar kata ahlulbait ku dari Rasulallah saw. lalu ia memahaminya dengan makna selain ahlulbait yang bernasab kepada beliau saw. Memang hanya itu sajalah makna ahlulbaitku dalam bahasa Arab, bahasa beliau saw.sendiri ! !
Mengenai orang-orang keramat, kemanfaatan mereka bagi kita, atau mengenai ketinggian derajat mereka dan dekatnya mereka itu dengan Allah dan Rasul-Nya, tak ada seorang Muslim pun yang meragukannya. Namun orang-orang keramat itu sendiri tentu merasa tidak senang jika diberi perhiasan yang diambilkan dari keluarga atau dari keturunan orang yang paling mereka cintai, yaitu Rasulallah saw.. Saya yakin demikian kata Ash-Shabban lebih jauh bahwa Imam Al-Hakim At-Turmudzi sendiri termasuk salah seorang keramat terkemuka. Karena itu saya berani memastikan bahwa uraiannya (mengenai ahlulbait) yang ditulis dalam kitabnya itu mengandung salah satu dari dua kemungkinan:
Pertama; dan ini yang paling besar kemungkinannya tulisan tersebut di- palsukan oleh orang yang dengki kepadanya (Turmudzi) dan kepada ahlulbait Rasulallah saw. Hal seperti itu sering dialami oleh para ulama dan orang-orang keramat lainnya, seperti Syeikh Al-Akbar Sidi Muhyiddin bin Al ‘Arabi, Syeikh ‘Abdul Wahhab Asy-Sya’rani dan lain lain….
Kedua; Imam Turmudzi pernah bergaul dekat dengan orang-orang ekstrim Syiah yang berlebih-lebihan dalam mengagung-agungkan (sampai-sampai mengkultuskan) ahlulbait Rasul- Allah saw., sehingga mereka sesat karena tidak mau mempercayai kejujuran para sahabat Nabi saw. terutama Abu Bakar Ash-Shiddiq ra. dan ‘Umar Ibnul Khattab ra.. Dengan uraiannya itu mungkin Turmudzi hendak mengecam mereka, dan itu tampak jelas pada rumus-rumus kalimat yang dipergunakan olehnya. Kecaman itu dituangkan olehnya dalam uraian mengenai ahlulbait, tetapi bersamaan dengan itu ia tetap mencintai Ahlulbait dan memberikan penilaian yang baik serta tetap mengakui kemuliaan dan keistemewaan mereka (ahlul-bait)”. Demikianlah jawaban An-Nabhani tentang penafsiran At-Turmudzi mengenai Ahlulbait/ keturunan Rasulallah saw..
 Ibnu Taimiyyah dalam kitabnya Al-‘Aqidatul-Washiyyah memberi tanggapan atas penafsiran Imam Turmudzi tentang makna hadits tsaqalain sebagai berikut: “Dua kalimat hadits tsaqalain yang menyatakan; ‘Dua-dua-nya tidak akan berpisah hingga kembali kepadaku di Haudh, dan sesuatu yang jika kalian berpegang teguh kepadanya kalian tidak akan sesat’, tidak hanya berlaku bagi para Imam atau orang-orang terkemuka dari keluarga keturunan Rasulallah saw. saja, melainkan berlaku juga bagi semua orang yang berasal dari keluarga keturunan beliau saw., baik yang awam mau pun yang khawash, yang menjadi imam maupun yang tidak.
Pernyataan Rasulallah saw. yang menegaskan; ‘Dua-dua-nya tidak akan berpisah hingga kembali kepadaku di Haudh’, tidak mengandung makna, bahwa mereka (keluarga Nabi saw.) itu harus sanggup melaksanakan semua ketentuan yang telah ditetapkan dalam Kitabullah, sehingga Turmudzi mengatakan, bahwa diantara mereka itu ada orang-orang berbuat buruk atau orang yang amalan baiknya bercampur aduk dengan amalan buruknya..’ dan seterusnya. Pernyataan Rasulallah saw. itu adalah dorongan supaya orang menghormati mereka, dan merupakan berita menggembirakan bahwa mereka itu tidak akan meninggalkan agama Islam (wafat dalam kekafiran) hingga saat mereka memasuki surga (haudh) dengan selamat. Itulah makna pernyataan Rasulallah saw. bahwa mereka itu tidak akan berpisah dari Kitabullah hingga saat mereka kembali kepada beliau di surga kelak….
Sebagaimana telah saya katakan, makna ‘noda’ atau ‘kotoran’ (arrijsa) dalam ayat (Al-Ahzab:33) tersebut diatas, mencakup segala macam dosa dan kesalahan lainnya, dan yang paling buruk ialah ‘kufur’ (mati dalam kekafiran). Orang-orang dari keluarga keturunan Rasulallah saw.adalah orang-orang yang telah disucikan langsung oleh Allah swt., dalam hal keteguhan berpegang pada agama Islam mereka itu tidak akan goyah atau tergelincir.. (tidak sampai wafat dalam kekafiran).
Mungkin orang ingin berkata kepada kami: ‘Dalil itu tidak dapat diterima oleh Turmudzi, karena ia berpendapat bahwa surat Al-Ahzab:33 ditujukan khusus kepada para isteri Rasulallah saw…. Kami menjawab: Benar, sekali pun ia berpendapat seperti itu, namun telah nyata terdapat pembuktian kuat, bahwasanya Rasulallah saw. pernah memanggil ‘Ali bin Abi Thalib, Siti Fathimah, Al-Hasan dan Al-Husain –radhiyallahu ‘anhum–, kemudian beliau saw. membacakan surat Al-Ahzab:33…
Turmudzi sendiri dalam penjelasannya mengatakan, bahwa ‘keturunan mereka (ahlul-bait) memang termasuk dalam lingkungan ahlul-bait, karena itu mereka adalah orang-orang shafwah (suci)’. Dikatakan juga olehnya: ‘ Hal itu dilakukan oleh Rasulallah saw. setelah ayat 33 S. Al-Ahzab turun, karena beliau saw. ingin memasukkan mereka kedalam makna ayat tersebut’.
Dengan keterangan seperti ini berarti Turmudzi sendiri yakin bahwa Rasulallah saw. pernah memanggil Ali bin Abi Thalib, (Siti) Fathimah, Al-Hasan dan Al-Husain –radhiyallahu ‘anhum– dan mereka telah memenuhi panggilan beliau itu dan mendengarkan beliau saw. membacakan ayat tersebut didepan mereka. Dengan demikian jelaslah, bahwa mereka termasuk dalam makna ayat tersebut. Jadi, pada hakikatnya keterangan Turmudzi itu sama dengan pendapat para ulama yang lain (yaitui orang lima ini termasuk yang di maksud dalam surat Al-Ahzab:33).
Mengenai tidak akan terpisahnya mereka (keluarga keturunan Rasulallah saw.) dari Kitabullah, bermakna bahwa mereka itu tidak akan menyeleweng (keluar) dari agama Islam hingga saat mereka kembali kepada Rasulallah saw. di surga. Makna tersebut diperkuat dalil- nya oleh Firman Allah dalam surat Adh-Dhuha:5: ‘Dan kelak Tuhanmu pasti memberikan karunia-Nya kepadamu sehingga engkau (Muhammad) menjadi puas”.
Al-Qurthubi dalam tafsirnya yang dikutip dari Ibnu ‘Abbas ra., mengatakan: ‘Kepuasan Muhammad Rasulallah saw. ialah karena tidak ada seorang pun dari ahlubaitnya yang akan masuk neraka’. Dalil-dalil hadits mengenai hal itu banyak sekali, antara lain sabda Rasulallah saw.:
“Fathimah telah sungguh-sungguh menjaga kesucian dirinya. Karena itu ia dan keturunannya dihindarkan Allah dari siksa neraka”. (Al-Hakim menegaskan bahwa hadits ini shohih)
Dalil hadits lainnya berasal dari ‘Imran bin Hashin ra.. Ia mengatakan bahwa Rasulallah saw. pernah bersabda: “Aku telah mohon kepada Tuhanku supaya tidak memasukkan seorang pun dari keluargaku (ahlubaitku) ke dalam neraka, dan Dia mengabulkan per- mohonanku “.
Penafsiran Imam Turmudzi bahwa ‘hadits tsaqalain hanya berlaku bagi para Imam dan orang-orang terkemuka dari golongan Ahlulbait’, Ibnu Taimiyyah mengetengahkan riwayat hadits yang berasal dari Zaid bin Arqam, yaitu: “….Kutinggalkan kepada kalian dua bekal. Yang pertama ialah Kitabullah, didalamnya terdapat petunjuk dan cahaya terang….. dan ahlu-baitku… dan seterusnya (baca nash hadits tsaqalain pada halaman sebelumnya)”. Dari hadits ini kita dapat mengetahui bahwa Rasulallah saw. pertama-pertama mengkhususkan pesan beliau supaya kaum muslimin berpegang teguh pada petunjuk dan hidayat Kitabullah Al-Qur’anul-Karim. Hikmah mengenai hal itu beliau menyebutnya dengan kata-kata ‘didalamnya terdapat petunjuk dan cahaya terang’. Setelah itu barulah beliau menyebut ahlul-bait (keluarga keturunan) dengan ucapan “kalian kuingatkan kepada Allah mengenai ahlu- baitku”.
Pesan beliau itu diucapkan dua kali untuk lebih menekankan perlunya memelihara hak-hak mereka sebagai keluarga keturunan beliau saw. Dalam pesan beliau itu samasekali tidak terdapat pengistemewaan yang seseorang daripada yang lain diantara semua keluarga ahlul-bait. Jelaslah kiranya, bahwa yang dimaksud dengan keluarga keturunan Rasulallah saw. atau ahlul-bait ialah mereka semua yang diharamkan menerima shodaqah atau zakat, sebagaimana yang dikatakan oleh Zaid bin Arqam dalam hadits Tsaqalain. Oleh Rasulallah saw. mereka itu disebut secara ber-iringan dengan penyebutan Kitabullah. Sudah pasti itu bermaksud menghormati ke dudukan mereka, dan untuk menekankan wasiat beliau agar hak-hak mereka dipelihara sebaik-baiknya oleh kaum muslimin.
Ibnu Taimiyyah merasa aneh dan heran mengenai uraian imam Turmudzi yaitu kalimat yang berbunyi: ‘Apabila orang-orang yang tidak seunsur atau se asal keturunan dengan mereka (keluarga keturunan ahlulbait) benar-benar menguasai ilmu-ilmu agama secara mendalam, maka kita pun wajib berteladan kepada mereka, sama seperti kita berteladan kepada orang-orang (imam-imam) ter- kemuka yang berasal keturunan Rasulallah saw.’.
Perumusan Turmudzi kalimat seperti itu oleh Ibnu Taimiyyah dianggap menarik garis persamaan antara keluarga keturunan Rasulallah saw. dan orang-orang dari unsur lain yang bukan keluarga keturunan Rasulallah saw. Jadi, tidak ada keistemewaan apa pun pada orang-orang keturunan Rasulallah saw. Yang dipandang oleh Turmudzi sebagai ciri istemewa ialah ‘kedalaman ilmu’ yang ada pada orang-orang keluarga keturunan Rasulallah saw. Dengan demikian maka yang diartikan ‘itrah’ dan ‘ahlul-bait’ (dalam hadits Nabi saw.) menurut Turmudzi bukan lain hanyalah para ulama, para Imam dan para ahli Fiqih dikalangan ummah Islam! Benarkah itu yang di maksud oleh Rasulallah? Tentu Tidak !
Yang dimaksud oleh Rasulallah saw. ialah keluarga keturunan dan kaum kerabat, tidak pandang apakah mereka itu Imam, ulama atau bukan. Mengenai para ahli Fiqih, para ulama dan para Imam, mereka itu memang teladan bagi ummat Islam dan merupakan pelita yang menerangi kegelapan. Akan tetapi itu tidak berarti bahwa mereka itu keluarga keturunan Rasulallah saw. Para ulama, para ahli fiqih dan para Imam itu justru orang-orang yang paling pertama berkewajiban mengindahkan wasiat Nabi saw. yakni secara umum mereka itu wajib menghormati kedudukan dan memelihara hak-hak keluarga keturunan Rasulallah saw. dengan sebaik-baiknya”. Demikianlah sanggahan Ibnu Taimiyyah atas pendapat Imam Turmudzi.
Para ulama antara lain Yusuf bin Ismail An-Nabhani dalam kitabnya Ashsyaraful Muabbad li Aal Muhammad dan Ibnu Taimiyyah dalam kitabnya Al-‘Aqidatul-Washiy menyanggah pendapat Imam Turmudzi tersebut diatas yang membatasi makna keluarga keturun- an Rasulallah saw. dalam hadits-hadits beliau saw. antara lain dalam Hadits Tsaqalain dan hadits Safinah.
Apa yang dikatakan Imam Turmudzi dalam Nawadirul-Ushul itu perlu di hargai, tetapi sayangnya beliau ini tidak mengemukakan hujjah atau dalil bahwa yang dimaksud oleh Rasulallah saw. dalam hadits Tsaqalain, hadits Safinah itu ialah sebagaimana yang beliau kemukakan tadi! Imam Turmudzi ini membatasi makna itrah (keluarga keturunan) yang terdapat dalam kalimat hadits tsaqalain, hanya kepada para pemuka atau Imam-imam yang terdiri dari keturunan Rasulallah saw. saja. Penafsiran Imam Turmudzi mengenai makna hadits tsaqalain dan hadits lainnya hanya berdasarkan pemikiran beliau sendiri dari segi dan istilah bahasa atau dari bidang ilmu atau ketaqwaan. Padahal kalau kita teliti dan baca banyak wasiat Rasulallah saw. dalam hadits-hadits shohih mengenai ahlulbait dan keturunannya umpama dalam hadits-hadits yang telah dikemukakan tadi, disitu beliau saw. menegaskan agar ummatnya meng- hormati, memuliakan dan mendahulukan semua ahlul-bait dan keturunannya, tidak memandang apakah diantara mereka ini seorang imam atau awam, ada yang baik atau ada yang buruk, karena di dalam hadits-hadits itu tidak adanya pembatasan yang hanya berlaku untuk para imam, para ahli taqwa dari ahlul-baitnya.
Para imam yang menyanggah pendapat Imam Turmudzi merasa heran dan belum percaya kalau hal itu diucapkan oleh Imam Turmudzi sendiri karena tidak sejalan dengan makna ayat Ilahi dan hadits Rasulallah saw. mengenai ‘Itrah ahlul-bait beliau saw. Maka dari itu Ash-Shabban sendiri berani mengatakan uraian Imam Al-Hakim At-Turmudzi yang ditulis dalam kitabnya itu mengandung salah satu dari dua kemungkinan:
Pertama; dan ini yang paling besar kemungkinannya tulisan tersebut di- palsukan oleh orang yang dengki kepadanya (Turmudzi) dan kepada ahlul- bait Rasulallah saw. Hal seperti itu sering dialami oleh para ulama dan orang-orang keramat lainnya, seperti Syeikh Al-Akbar Sidi Muhyiddin bin Al- ‘Arabi, Syeikh ‘Abdul Wahhab Asy-Sya’rani dan lain lain….
Kedua; Imam Turmudzi pernah bergaul dekat dengan orang-orang ekstrim Syiah yang berlebih-lebihan dalam mengagung-agungkan sampai-sampai mengkultuskan ahlulbait Rasulallah saw.. Dengan uraiannya itu mungkin Turmudzi hendak mengecam mereka, dan itu tampak jelas pada rumus kalimat yang dipergunakan olehnya!!
Lepas dari penafsiran diatas, jelas Allah swt. dalam firman-firmanNya untuk ahlulbait Rasulallah saw. (Al-Ahzab: 33 dan lain-lain) dan untuk para sahabat beliau saw. (Al-Fath:18, At-Taubah:100 dan lain-lain) tentang kemuliaan dan penilaian tinggi yang diberikan oleh Allah swt. kepada mereka ini. Namun sebagai sesama manusia, para ahlulbait dan keturunan Rasulallah saw. ada- lah sama dengan para sahabat Nabi saw. dan keturunannya (bisa berbuat kesalahan). Mereka ini bisa saja berbuat suatu kekeliruan atau terkena dosa karena bukan orang-orang ma’shum yakni yang terpelihara dari kemungkin- an berbuat kekeliruan. Orang-orang yang ma’shum menurut ahlus sunnah wal jama’ah hanyalah para Nabi dan Rasul, sebagai pembawa syari’at Ilahi dan hukum-hukum-Nya untuk di sampaikan kepada ummat manusia.
Betapa pun tingginya martabat, keutamaan (fadha’il) dan ketakwaan mereka (keluarga keturunan Nabi saw. dan para sahabat), sebagai manusia mereka tetap menghadapi kemungkinan berbuat kekeliruan. Namun secara khusus bagi ahlulbait dan keturunan Rasulallah saw., atas berkah dan kepemurahan Allah swt. mereka itu memperoleh ampunan atas kekeliruan dan kesalahan yang mungkin mereka perbuat. Allah swt. memelihara mereka ini dari cacad cela yang dapat merendahkan kedudukan atau kemuliaan mereka. Bisa saja terjadi suatu perbuatan yang dilakukan seseorang atau beberapa orang sahabat yang tidak menyenangkan ahlulbait Rasulallah saw. dan sebaliknya. Hal itu bukan merupakan kejadian aneh, karena setiap manusia dapat saja berbuat kekeliruan dan kesalahan, apalagi mereka itu bukan orang-orang yang ma’shum (dihindarkan dari dosa).
Kita kaum muslimin wajib mencintai dua golongan tersebut ahlulbait, ke turunan Nabi saw. khususnya dan para sahabat Nabi saw. agar kita Insya Allah dapat memperoleh kebajikan didunia dan akhirat. Kita wajib memandang mereka semua dengan sikap yang adil, mengingat jasa-jasa yang telah mereka berikan kepada agama Islam dan kepada ummat Islam. Pandangan kita terhadap mereka semua harus bertitik tolak pada keinginan memperoleh keridhoan Allah dan Rasul-Nya. Kita harus menjauhkan dari hati dan pikiran kecenderungan nafsu berpihak kepada yang satu dan mengecam yang lain. Orang yang berpikiran sehat tidak akan membiarkan diri- nya tercekam oleh pikiran dan perasaan yang tidak selaras dengan ajaran Al-Qur’an dan Sunnah Rasulallah saw..
Dalil-dalil atau hujjah-hujjah baik yang berupa ayat-ayat Al-Qur’an, hadits-hadits mau pun contoh-contoh yang telah diberikan oleh para sahabat Nabi saw. dan para Imam sebagian telah tercantum dibab ini kiranya cukup meyakinkan bagi setiap muslim yang men- dambakan keridhoan Allah dan Rasul-Nya. Setiap muslim, apa pun madzhab dan aliran yang dianutnya, tentu menyadari bahwa hakikat ajaran agama Islam ialah iman kepada Allah dan Rasul-Nya, taat kepada kedua-duanya dan patuh melaksanakan semua perintahnya.
Berbicara tentang keridhoan Allah dan Rasul-Nya, yang pokok pertama ada- lah keridhoan Allah, sedang keridhoan Rasulallah saw. adalah kesinambungan dari keridhoan Allah swt. Tiap perbuatan yang diridhoi Allah pasti diridhoi oleh Rasul-Nya, tiap perbuatan yang dimurkai Allah pasti di murkai pula oleh Rasul-Nya. Demikian juga sebaliknya, Allah ridho terhadap apa yang diridhoi oleh Rasul-Nya, dan murka terhadap apa yang dimurkai oleh Rasul-Nya. Jadi kedua-duanya tidak dapat dipisahkan ! Tidak mungkin seorang beiman taat melaksanakan perintah Allah tanpa melaksanakan perintah Rasul-Nya, dan tidak mungkin pula orang taat melaksanakan perintah Rasulallah saw. tanpa mentaati perintah Allah swt. Hal ini ditegaskan dalam Al-Qur’anul Karim antara lain:
“Barangsiapa taat kepada Rasul berarti taat kepada Allah” (An-Nisa :80). Dan firman-Nya: “..Dan Allah beserta Rasul-Nya itulah yang lebih berhak di dambakan keridhoan-Nya”.(An-Nisa:136). Masih banyak lagi ayat Al-Qur’an yang semakna dengan ayat-ayat diatas ini.
Jadi, sekali pun yang terpokok adalah iman kepada Allah swt, namun iman kepada Rasul-Nya sama sekali tidak boleh dipisahkan dari iman kepada Allah. Atas dasar ayat-ayat Allah dan hadits-hadits Rasulallah saw. itu menurut pengertian yang benar harus menjaga kehormatan dan memelihara hak-hak semua ahlulbait dan keturunan Rasulallah saw. sebagai mana yang beliau saw. wasiatkan dalam hadits Tsaqalain dan lain-lainnya. Itu merupakan kewajiban ummat Islam dalam rangka melaksanakan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya !!
Insya Allah buat pembaca sudah jelas dengan adanya firman Allah swt., hadits-hadits dan wejangan para ulama-ulama pakar tadi yang membuktikan dan mengakui bahwa keturunan Nabi saw. itu masih tetap ada sampai akhir zaman. Riwayat-riwayat tersebut diatas diperkuat oleh perawi-perawi yang bisa dipercaya. Dengan demikian cukuplah jelas bagi kita bahwa Itratur-Rasul (keturunan Rasulallah saw.) akan senantiasa berada ditengah ummat manusia sepanjang masa selama Allah swt. menghendakinya hingga hari kiamat kelak. Juga dengan berdasarkan hadits-hadits tesebut diatas dan hadits berikut ini  “Kutinggalkan kepada kalian dua peninggalan: Kitabullah sebagai tali yang terbentang antara langit dan bumi, dan keturunanku ahlulbaitku. Sesungguhnya kedua-duanya itu tidak akan berpisah hingga kembali kepadaku di Haudh” menunjukkan dan menerangkan dengan jelas adanya kaitan antara Kitabullah Al-Qur’anul-Karim dengan keturunan dan ahlu-bait beliau saw.. Pertama, adalah kaitan kelestarian bersama antara yang satu dengan yang lain yakni antara Kitabullah dan ‘ithrah (keturunan, ahlu-bait) Rasulallah saw. Kedua, kaitan antara Kitabullah dan keturunan beliau saw. yang kedua-duanya akan kembali (pertanggungjawabannya) kepada Rasulallah saw. di akhirat kelak. Kaitan ini begitu erat sehingga beliau saw. menyatakan ‘ tidak akan berpisah’ hingga saat kedua-duanya kembali kepada beliau di surga yakni hingga hari kiamat kelak.
Dengan perkataan lain adalah: “Selama Al-Qur’an masih terdapat di muka bumi (tertulis maupun terhafal) selama itu pula ‘ithrah (keturunan) Rasulallah saw. akan tetap ada di dunia, dan sebaliknya: Selama masih terdapat keturunan Rasulallah saw. dimuka bumi ini, Kitabullah Al-Qur’an akan tetap ada di dunia” ! (Silahkan baca kembali hadits-hadits Tsaqalain, Safinah dan lainnya serta uraian ulama pakar pada halaman sebelumnya)
Akan sia-sialah golongan pengingkar atau penuduh yang mengatakan bahwa keturunan Nabi saw. sudah punah/putus dan belum konkrit, omongan mereka ini sama sekali tidak didasari oleh dalilwalaupun hanya satu dalil tidak lain hanya berdasarkan kedengkian dan kehasutan terhadap keturunan yang mulia tersebut yang dikaruniakan oleh Allah swt. Saya berlindung pada Allah swt. atas kebohongan golongan pengingkar ini. Wallahu a’lam.
Sebagian besar isinya bab ini, kami kutip dan kumpulkan dari kitab-kitab: Pembahasan Tuntas Perihal Khilafiyah oleh Almarhum H.M.H Al-Hamid Al-Husaini dan Keutamaan Keluarga Rasulallah saw. oleh K.H.Abdullah bin Nuh) dan kitab lainnya.
Semoga kita semua diberi hidayah oleh Allah swt. dan bisa menjalani perintah-Nya dan Sunnah Rasul-Nya. Amin