Minggu, 11 Januari 2009

PRO KONTRA HUKUM ROKOK (1)

Merokok Itu Sunah
Oleh: Abdul Aziz Sukarnawadi, Lc.


Mendengar fatwa MUI yang mengharamkan rokok atau rencana akan mengharamkan rokok, penulis tidak berkomentar apapun, karena MUI hanyalah ormas biasa di Indonesia yang tidak suci dari kesalahan dan dosa, pengaruhnya pun belum tentu menyaingi pengaruh ormas-ormas lainnya. Yang menarik perhatian penulis adalah MUI NTB minta agar masalah fatwa haram merokok dipertimbangkan kembali dan ditinjau ulang sebab menyangkut sosial ekonomi masyarakat di Lombok yang merupakan penghasil terbesar tembakau Virginia di Indonesia. Tidak hanya petani pemilik lahan tetapi juga 140 ribu buruh tani penanam tembakau sehingga memiliki kontribusi mengurangi pengangguran.

Menurut Ketua Dewan Pimpinan MUI NTB, Saiful Muslim, meminta dipertimbangkannya fatwa haram merokok merupakan himpunan pendapat masyarakat yang telah dilakukan MUI NTB. "Hendaknya dipertimbangkan lebih bijak. Tidak serta merta diharamkan" katanya yang akan membawa penolakan tersebut ke pertemuan nasional MUI di Jakarta seusai lebaran.

Provinsi NTB adalah produsen tembakau terbesar di Indonesia. Tembakau Virginia yang dihasilkan petani Lombok mencapai 45 ribu ton setiap tahunnya. NTB adalah daerah pemasok 80 persen dari kebutuhan pabrik rokok nasional melalui 15 perusahaan pengelola dan pabrik rokok di Jawa. Berita ini dilaporkan pada situs Lombok News 1 September 2008 yang lalu.

Menanggapi fatwa MUI tersebut, berikut ini penulis kutip sejumlah asumsi dan respon dari berbagai pihak yang turut prihatin dengan sikap MUI yang sudah tak lagi sportif, obyektif, bijak dan toleran.

Menurut Gus Dur, fatwa haram merokok akan menciptakan banyak pengangguran. "Dengan adanya fatwa tersebut dapat membuat penggangguran semakin bertambah" kata mantan Ketua Umum PBNU dalam acara "Kongkow bareng Gus Dur" di Utan Kayu Jakarta, Sabtu 23 Agustus 2008.

Gus Dur menjelaskan, larangan haram yang digunakan sebagai dasar MUI untuk mengeluarkan fatwa dianggap tidak sesuai. "Karena MUI tidak melihat secara luas. Merokok itu tidak haram, melainkan sunah !!" ujarnya.

Sebelumnya, pendapat senada diungkapkan Ketua PBNU KH Said Aqil Siroj. Menurutnya, hukum haram merokok justru akan lebih banyak dampak buruknya. Ia menjelaskan, tidak ada satupun ulama di dunia, termasuk ulama Syiah, yang memfatwakan rokok dengan hukum haram. Hanya para ulama Wahabi yang memberikan hukum terhadap hal itu. "Paling-paling mereka (ulama Wahabi) menghukumi makruh. Itu sudah paling keras" tandas Kang Said kepada NU Online di Pondok Pesantren Miftachussunnah Surabaya Jawa Timur, belum lama ini.

Dampak buruk lainnya jika rokok diharamkan adalah dari sisi ekonomi. Fatwa tersebut jelas akan membunuh para buruh pabrik rokok, juga para petani tembakau, yang kebanyakan mereka juga kalangan nahdliyin (warga NU). Kang Said menduga, MUI tampak tak memperhatikan sisi tersebut. "Dampak yang begitu besar itu kayaknya tidak dipikirkan oleh MUI" tandasnya. Ia berkesimpulan, pengharaman MUI terhadap rokok hanyalah bentuk 'kelatahan'. "Saya melihat MUI sekarang sudah latah. Kayak enggak ada masalah yang lebih penting saja" pungkasnya.

Berita lain melaporkan bahwa fatwa haram merokok membuat resah kalangan petani tembakau di Pamekasan Madura Jawa Timur. "Jika MUI mengeluarkan fatwanya bahwa merokok itu haram, dampaknya jelas akan sangat dirasakan para petani tembakau. Masalahnya, dengan fatwa tersebut bisa mengurangi dan bahkan akan membuat harga tembakau turun drastis" kata Mustain, petani tembakau di Desa Gagah Kecamatan Kadur Pamekasan.

Pihak gudang, lanjut Mustain, akan membeli tembakau petani dengan harga relatif murah, dengan alasan harga jual rokok di pasaran kurang laku. "Saya berharap, MUI bisa memikirkan rakyat kecil. Kenapa baru sekarang mengeluarkan fatwa bahwa rokok itu haram. Dari dulu MUI kemana. Padahal, saat ini petani tembakau sudah menjamur, termasuk di Pamekasan" katanya.

Hal yang sama juga disampaikan Suryadi, produsen rokok lokal Pamekasan. Menurut dia, jika MUI mengeluarkan fatwa haram rokok, ratusan perusahaan rokok lokal di Pamekasan akan terancam gulung tikar dan ribuan pekerjanya terancam di-PHK. "Di Pamekasan ini perusahaan rokok lokal yang tergabung dalam Asosiasi Perusahaan Rokok Lintingan (Aprolip) berjumlah 240 dengan jumlah tenaga kerja sekitar 6000 orang. Kalau mereka terpaksa tutup hanya karena fatwa haram, lalu siapa yang akan menampung ribuan orang yang kehilangan pekerjaannya ini" kata Suryadi mempertanyakan.

Komunitas pondok pesantren tidak pula ketinggalan menanggapi fatwa haram merokok. Kalangan ponpes besar di Jawa Timur menolak MUI yang mengeluarkan fatwa mengenai larangan merokok. "Saya yakin akan lebih banyak menimbulkan mudarat (dampak negatif) daripada manfaatnya kalau masalah merokok itu disikapi MUI dengan mengeluarkan fatwa" kata Pengasuh Ponpes Tebuireng, KH. Sholahuddin Wahid (Gus Sholah) saat dihubungi dari Surabaya, Kamis 14 Agustus 2008.

Dampak negatif tersebut, lanjut mantan anggota Komnas HAM itu, di antaranya adalah terganggunya kebutuhan ekonomi masyarakat. "Bisa dibayangkan, berapa ratus ribu orang akan kehilangan pekerjaan. Belum lagi pada lapisan masyarakat lainnya, seperti pedagang rokok dan petani tembakau yang akan kena dampaknya" kata adik kandung mantan Presiden Gus Dur itu.

Oleh sebab itu, dia menyarankan MUI agar dalam menyikapi masalah rokok yang sudah meracuni anak-anak dan remaja itu melalui pesan yang bijak. "Akan sangat bagus, kalau disampaikan dalam bentuk imbauan melalui media massa. MUI bisa bekerja sama dengan praktisi periklanan, bagaimana pesan tersebut bisa efektif diterima masyarakat" kata Gus Sholah yang mengaku bukan perokok itu.

Pendapat serupa juga disampaikan oleh pengasuh Ponpes al-Falah Ploso Kabupaten Kediri, KH. Zainuddin Djazuli (Gus Din). "Saya yakin tidak akan efektif. Buktinya sampai sekarang orang merokok masih banyak, padahal di mana-mana ada peringatan larangan merokok" katanya.

Justru dia mengingatkan MUI agar melihat sisi positifnya rokok dalam memberikan kontribusi pendapatan negara. "Rokok sudah menyumbang cukai Rp. 9 miliar perhari kepada negara, ini kan sisi positifnya rokok" kata Gus Din yang dikenal sebagai perokok berat itu.

Sementara itu, pengasuh Ponpes Lirboyo, KH. Idris Marzuqi (Mbah Idris) kepada wartawan di Kediri meminta MUI tidak tergesa-gesa dulu menanggapi usulan Komnas Perlindungan Anak dengan mengeluarkan fatwa anti rokok. "Agama Islam tidak mengharamkan rokok. Oleh karena itu, tidak perlu MUI melarangnya dalam bentuk fatwa" kata ulama sepuh NU yang juga perokok itu.

Meski tak setuju dengan MUI, selama ini Ponpes Lirboyo dan Ponpes Tebuireng yang memiliki santri di atas 5000 orang itu melarang santrinya merokok. Berbeda dengan Ponpes al-Falah, yang selama ini dikenal sebagai salah satu pesantren yang membebaskan ribuan santri putranya merokok tanpa membedakan usia. "Mana mungkin kami melarang, lha wong kiainya saja pemabuk rokok. Biarkan saja mereka merokok asal jangan keterlaluan karena bisa menimbulkan pemborosan" kata Kiai Din seperti dilansir sumber Antara.

Kendati masih sebatas wacana, kalangan perusahaan rokok, terutama berskala kecil, merasa resah dengan larang merokok. "Kami berharap MUI berbiacara dulu dengan kalangan perusahaan rokok" kata Ketua Pelaksana Harian Gabungan Pengusaha Rokok (Gapero), Kasiati. Ia menyebutkan, perusahaan rokok yang termasuk dalam kategori usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) sudah terpukul dengan kebijakan baru mengenai tarif cukai yang berlaku awal tahun ini.

Menurut Gerakan Pemuda Ansor, fatwa MUI tentang haram merokok dinilai ekstrim. "Jika MUI mengeluarkan fatwa yang mengharamkan rokok bagi umat muslim, terlalu ekstrim karena bisa berimbas pada ketenagakerjaan" kata Sekretaris III Fatayat NU, Muzaenah Zein.

Pada Konferensi Besar Fatayat NU di Banjarmasin Kalimantan Selatan, ia mengatakan fatwa tersebut rasanya terlalu ekstrim, karena ini akan sangat berpengaruh terhadap perekonomian masyarakat karena menyangkut ketenagakerjaan. Menurut dia, merokok memang tergolong perbuatan makruh, karena banyak merugikan kesehatan. "Namun, akan lebih bijak apabila larangan merokok bagi umat Islam disampaikan melalui kegiatan dakwah" katanya.

Artinya, akan lebih tepat jika ditumbuhkan kesadaran dan pemahaman tentang bahaya merokok bagi kesehatan serta dampak yang ditimbulkan jika terus-menerus merokok. Perlu pula dilakukan sosialisasi terus-menerus agar masyarakat muslim menghindari rokok. "Melalui cara seperti ini tidak berbenturan dengan berbagai kepentingan lain terutama yang menyangkut perekonomian masyarakat" katanya.

JUga di kabupaten Bantul, wacana haram merokok dinilai akan mengancam nasib ribuan tenaga kerja di pabrik rokok yang ada di Bantul. "Ya mungkin bisa saja terjadi PHK jika memang MUI mengeluarkan fatwa merokok adalah haram. Hal ini bisa terjadi ketika pasar rokok mulai berkurang konsumennya. Apalagi 90% penduduk di Indonesia adalah muslim" ujar Idham Samawi, Bupati Bantul.

Menurut Idham, keberadaan dua pabrik rokok yang ada di Kabupaten Bantul ini secara nyata telah memberi kontribusi dengan menurunnya jumlah pengangguran yang ada di Kabupaten Bantul yang tentunya berdampak pada peningkatan ekonomi masyarakat Bantul. "Ribuan warga Bantul sebagian menggantungkan hidupnya kepada pabrik rokok, jika nantinya pabrik rokok tutup, bagaimana nasib mereka?" katanya.

Idham justru mempertanyakan kepada MUI yang mengharamkan rokok karena pada tahun-tahun sebelumnya MUI sama sekali tidak membahasnya. "Kalau saat ini MUI memberikan fatwa merokok adalah haram, bagaimana orang yang dahulu merokok?" terangnya.

Lebih lanjut Idham menyatakan, walaupun nantinya MUI memutuskan merokok adalah haram, secara pribadi dirinya tidak akan berhenti merokok. "Secara pribadi saya akan tetap merokok, namun bagi umat muslim yang lain itu adalah hak mereka sendiri-sendiri untuk membuat keputusan" tandasnya.

Pengusaha rokok kecil di Tulungagung Jawa Timur turut resah. Mereka kuatir fatwa itu akan semakin memukul industri rokok karena fatwa tersebut jelas akan berakibat menurunnya daya beli dari konsumen. Apalagi saat ini saja, mereka masih kesulitan memasarkan produk setelah cukai rokok naik beberapa waktu lalu.

Muhammad Nur, ketua Asosiasi Perusahaan Rokok Tulungagung mengatakan, keresahan ini sangat beralasan karena para pengusaha rokok khawatir fatwa itu akan semakin membatasi jumlah konsumen rokok dan berimbas pada penurunan daya beli masyarakat.

Apalagi saat ini produk rokok mereka belum terkenal di pasar seperti perusahan besar lainnya. Sehingga fatwa itu justru berdampak terjadinya gulung tikar dan membuat banyak pekerja menganggur. "Sekarang ini saja kesulitan untuk menjual hasil produksi kami setelah pemerintah menaikan bea cukai. Terus kalau ditambah adanya fatwa MUI, bagaimana nantinya usaha kami? Sudah jelas akan gulung tikar dan membuat karyawan kami terpaksa di-PHK" katanya saat ditemui di kantor perusahan rokoknya, Senin 18 Agustus 2008.

Saat ini, perusahaan rokok kelas kecil di Tulungagung hingga sekarang mencapai 210 perusahaan. Setiap perusahaan rata-rata mempekerjakan 10 hingga 20 orang dan perminggu hanya mampu memproduksi 2000 hingga 3000 batang rokok filter dan 3000 sampai 3500 batang rokok kretek. Kekhawatiran para produsen rokok ini membuat asosiasi perusahaan rokok Tulungagung mengambil sikap akan membuat surat protes ke MUI agar fatwa tidak jadi dikeluarkan.

Keresahan tidak hanya terjadi di kalangan produsen saja. Para buruh pun mulai cemas dengan fatwa MUI tersebut. Mereka khawatir di saat kondisi perekonomian bangsa sedang buruk seperti saat ini, justru mereka di-PHK oleh perusahaan tempatnya bekerja. "Sekarang saja mencari pekerjaan sulit sekali. Terus kalau sampai perusahaan tempat kami bekerja tutup dan bangkrut akibat fatwa MUI, lalu kami mendapatkan uang dari mana untuk makan dan biaya sekolah anak kami? Sedangkan suami saya sendiri hanya buruh musiman" ungkap Yuli, salah satu buruh rokok yang ada di Kecamatan Pakel, Tulungagung.

Akhirnya, penulis berharap agar MUI merenungi kembali ayat 59 surat Yunus, ayat 116 surat al-Nahl dan ayat 57 surat al-An'am agar lebih berhati-hati dalam berfatwa !! Wallahu A'lamu bisshawab...

Tidak ada komentar: