Sabtu, 17 Januari 2009

KEMULIAAN KETURUNAN (AHLUL-BAIT)RASULALLAH SAW (XVIII)

Kemuliaan dan kedudukan keturunan Rasulallah saw.:
Mari kita teruskan lagi hadits-hadits Rasulallah saw. mengenai keutamaan dan kedudukan keturunan beliau saw.. Sabda Rasulallah saw.:
(Man sarrahu an yahyaa hayaatii wa yamuuta mamaatii wa yaskuna jannata ‘adnin ghorosahaa robbii falyuwaali ‘Aliyyan min ba’dii walyuwaali waliyyahu walyagtadi biahli baitii min ba’dii fainnahum ‘itrotii khuliguu min thiinatii waruziguu fahmii wa ‘ilmii fawailun lilmukaddzibiin bifadhlihim min ummatiil goothi’iina fiihim shilatii laa anzalahumullahu syafaa’atii.)
Artinya: “Barangsiapa senang hidup seperti hidupku dan mati seperti matiku, lalu ia ingin menjadi penghuni surga ‘Adn yang ditanam oleh Tuhanku, hendaknya ia mengangkat ‘Ali sebagai pemimpin sepeninggalku, dan orang itu pun hendaknya mengikuti pimpinan yang diangkat olehnya (‘Ali kw ) sebagai pemimpin, dan supaya berteladan kepada ahlubaitku sepeninggalku. Sebab mereka itu adalah keturunanku dan diciptakan dari darah daging- ku serta dikarunia pengertian dan ilmuku. Celakalah orang dari ummatku yang mendustakan keutamaan mereka, dan memutuskan hubungan dengan- ku melalui (pemutusan hubungan dengan) mereka. Allah tidak akan menurunkan syafa’atku kepada orang-orang seperti itu“ (hadits ini dikeluarkan oleh Thabrani dalam kitabnya ‘Al-Kabir’ dan di keluarkan juga oleh Ar-Rafi’i dalam ‘Musnad-nya’ berdasarkan isnad Ibnu ‘Abbas. Kanzul ‘Ummal jilid 6 hal. 217 hadits no. 3819).
 Juga sabda Rasulallah saw :
(Man ahabba an yahyaa hayaati wa yamuuta maitatii wa yadkhulal jannata allatii wa ‘adanii robii wa hiya jannatul khuldi falyatawalla ‘Aliyyan wa dzurriyatahu min ba’dihi fainnahum lan yukhrijukum baaba hudan wa lan yudkhiluukum baaba dholaalatin.)
Artinya:” Siapa yang ingin hidup seperti hidupku wafat seperti wafatku serta masuk ke surga yang telah dijanjikan kepadaku oleh Tuhanku yaitu Jannatul Khuld, maka hendaklah ia berwilayah (berpemimpin) kepada ‘Ali dan keturunan sesudahnya, karena sesungguhnya mereka tidak akan mengeluar kan kamu dari pintu petunjuk dan tidak akan memasukkan kamu kepintu kesesatan “. Hadits semacam ini terdapat didalam: Shahih Bukhari, jilid 5, hal. 65, cet. Darul Fikr; jilid 5 halaman 159, cet.Mathabi’ Asy-Sya’b.; Shahih Muslim, jilid 2, halaman 51, cet. Al-Halabi, jilid 5, halaman 119, cet.Syirkah Al-I’lanat. ; Mizanul I’tidal, oleh Adz-Dzahabi, jilid 4, halaman 415 cet. Dar Ihya’ Al-Kutub Al-‘Arabiyah.; Al-Manaqib, oleh Al-Khawarizmi, halaman 34. ; Yanabi’ul Mawaddah, oleh Al-Qundusi Al-Hanafi, halaman 149 dan 150, cet. Al-Haidariyah, halaman 126 cet. Istanbul. ; Al-Ishabah, oleh Ibnu Hajar Al-‘Asqalani Asy-Syafi’i, jilid 1, halaman 541, cet. Mushthafa Muhammad; jilid 1, halaman 559, cet. As-Sa’adah.
Hadits Safinah (perahu):
Disamping hadits-hadits yang telah dikemukakan tadi, marilah kita ikuti lagi Hadits Safinah (Perahu) berikut ini: Rasulallah saw. ber- sabda:
(Inna matsala ahla baitii fiikum kamatsali safiinati Nuuha man rokibahaa najan, wa man takhollafa ‘anhaa ghorogo)
Artinya: “Ingatlah, sesungguhnya perumpamaan Ahlu Baitku bagi kalian seperti bahtera Nuh, siapa yang menaikinya selamat dan siapa yang ter- tinggal akan tenggelam”. Hadits ini bisa kita baca didalam:
Al-Mustaddrak Al-Hakim jilid 3, hal.151. ; Nizham Durar As-Samthin, oleh Az-Zarnadi Al-Hanafi hal. 235. ; Ash-Shawa’iqul Muhriqah, oleh Ibnu Hajar hal. 184 dan 234, cet. Al-Muhammadiyah, Mesir, hal. 111 dan 140 cet.Al-Maimaniyah, Mesir. ; Yanabi’ul Mawaddah, oleh Al-Qundusi Al-Hanafi, hal. 30 dan 370 cet.Al-Haidariyah, hal. 27 dan 308 cet.Istanbul. ; Tarikh al-Khulafa’ oleh As-Suyuthi Asy-Syafi’i. ; Is’afur Raghibin oleh Ash-Shabban Asy Syafi’i hal.109 cet.As-Sa’idiyah, hal.103 cet.Al-‘Utsmaniyah. ; Faraid As-Samthin jilid 2 hal. 246 hadits ke 519.
 Juga sabda beliau saw.:
(Inna matsala ahla baitii fiikum kamatsali safiinati Nuuha man rokibahaa najaa, wa man takhollafa ‘anhaa ghorogo, wa innamaa matsalu ahli baitii fiikum matsalu Baabi Hiththotin fii banii Israaiila man dakholahuu ghufira lahuu.)
Artinya: “Sungguh perumpamaan Ahlu Baitku bagi kalian seperti bahtera Nuh, siapa yang menaikinya selamat dan siapa yang tertinggal akan tenggelam. Dan perumpamaan Ahlu-Baitku bagi kalian seperti pintu Hith- thah Bani Israil, siapa yang memasukinya ia akan diampuni”.
Hadits ini bisa kita baca didalam: Al-Mu’jam Ash-Shaqir oleh Ath Thabrani jilid 2, hal.22. ; Kifayah Ath-Thalib, oleh Al-Kanji Asy-Syafi’i hal.378, cet.Al-Haidariyah, hal..234, cet.Al-Ghira.; Majma’uz Zawaid,oleh Al-Haitsami Asy-Syafi’i jilid 9, hal.168. ; Ihyaul Mayyit oleh As-Suyuthi (catatan pinggir) Al-Ittihaf oleh Syibrawi hal.113. ; Ash-Shawa’iqul Muhriqah oleh Ibnu Hajar, hal. 91 cet.Al-Maimaniyah, hal.150 cet. Al-Muhammadiyah Mesir. ; Yanabi’ul Mawaddah oleh Al-Qundusi Al-Hanafi, hal.28 dan 298, cet. Istanbul, hal.30 dan 358, cet.Al-Haidariyah dan masih banyak lainnya lagi
Makna perumpamaan ahlul Bait sebagai pintu pengampunan ialah bahwa Allah swt. telah menjadikan pintu itu sebagai perwujudan sikap merendahkan diri terhadap keagungan-Nya. Sikap seperti ini akan menyebabkan datang- nya maghfirah atau ampunan-Nya. Demikian pula bila ummat ini dengan segala keikhlasan mau mengikuti petunjuk penerus Nabi saw. yaitu para Imam dan Ulama dari kalangan keturunan Rasulallah saw. akan merupakan perwujudan sikap patuh serta tunduk pada kehendak Allah swt. Sikap seperti ini lah yang akan mendatangkan maghfirah/ampunan Allah swt. bagi mereka! Demikian juga Ibnu Hajar dalam kitab As-Sawaiq bab 11 halaman 91 telah mencoba membuat persamaan dalam hal ini. Setelah beliau menukil hadits-hadits yang serupa dan semakna diatas dan lain-lainnya.
 Juga sabdanya lagi:
(Annujuumu amaanun liahlil ardhi minal ghorogi wa ahlu baitii amaanun liummatii minal ikhtilaaf [fid diini faidzaa khoolafathaa gobiilatun minal ‘arabi [ya’nii fii ahkaamil llaahi ta’aala] ikhtalafuu fashooruu hizba ibliisa.)
Artinya: “Bintang-bintang adalah keselamatan bagi penghuni bumi dari (bahaya) tenggelam (didasar laut) dan ahlubaitku adalah keselamatan bagi ummatku dari perselisihan. Apabila ada kabilah Arab yang membelakangi ahlubaitku mereka akan berselisih kemudian akan menjadi kelompok iblis“. (Hadits ini dikemukakan oleh Al-Hakim dan dibenarkan oleh Bukhori dan Muslim, juga hadits ini bisa kita rujuk didalam Ash-Shawa’iqul Muhriqah oleh Ibnu Hajar hal. 91 dan 140 cet. Al-Maimaniyah, hal. 150 dan 234 cet.Al-Muhammadiyah; Muntakhab Kanzul ‘Ummal (catatan pinggir) Musnad Ahmad jilid 5 hal.93 ; Jawahirul Bihar oleh An-Nabhani jilid 1, hal. 361 cet.Al-Halabi Mesir dan lain-lainnya).
Demikianlah antara lain kalimat hadits Tsaqalain, hadits Safinah dan lainnya serta hadits mengenai Sayyidina Ali kw.serta keturunan- nya yang dimuat juga dalam Muntakhab al-Kanz (baca catatan pinggir Musnad Imam Ahmad jilid 5 halaman 32) yang semuanya jarang sekali, hampir tidak pernah, di kumandangkan oleh ulama kita Ahlusunnah wal Jama’ah dimasjid-masjid, padahal ini termasuk wasiat Rasulallah saw. yang penting untuk kaum muslimin.
Lafadh hadits tqalain, hadits Al-Kisa’, hadits Safinah dan lafadz hadits lain- nya mengenai kemuliaan, kedudukan keturunan Rasulallah saw. banyak di riwayatkan oleh para sahabat dan perawi dari ulama pakar dengan bermacam-macam ragam tapi makna atau intinya sama yaitu kita diperingatkan oleh beliau saw.harus berpegang teguh pada dua bekal berat Kitabullah dan Ahlul Bait (keturunan) Rasulallah dan celakalah orang yang mengingkari dan mendustakan keutamaan keturunan beliau saw..
Hadits-hadits Rasulallah saw. diatas semuanya dikutip oleh para ulama Ahlus Sunnah terkemuka dan dikeluarkan juga oleh para ulama Islam dari berbagai madzhab, seperti madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hanbali, madzhab Imamiyah, madzhab Zaidiyyah dan lain sebagainya.

Pendapat Imam Turmudzi makna hadits Tsaqalain, Safinah:
Persoalan hadits diatas yang mana Rasulallah saw. menegaskan bahwa ‘ahlubaitku adalah keselamatan bagi ummatku’ mengundang perhatian beberapa ulama untuk mempermasalahkan makna ini hadits. Masing-masing mengajukan hujah dan dalil-dalil sendiri untuk memperkuat pendapatnya dan dalam tiap diskusi perbedaan pendapat itu selalu ada. Mari kita ikuti pendapat Imam Turmudzi masalah hadits-hadits Rasulallah saw. mengenai ahlu-baitnya. Kami akan kutip pendapat Turmudzi dan langsung sanggahan dari ulama lainnya atas pendapat Imam Turmudzi ini.
“Imam Turmudzi dalam kitabnya Nawadirul-Ushul menerangkan, bahwa ahlul-bait Rasulallah saw. yang dimaksud dalam hadits tersebut ialah; ‘Orang-orang yang meneruskan jalan hidup Rasulallah saw. setelah beliau wafat. Mereka adalah orang-orang shiddiq, orang-orang abdal (keramat) sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam ‘Ali bin Abi Thalib kwa. dengan ucapannya:
“Akan muncul orang-orang abdal (keramat) di Syam. Mereka berjumlah empat puluh orang. Tiap ada seorang dari mereka wafat, Allah mengganti kedudukannya dengan orang lain. Karena abdal (kekeramatan) mereka Allah menurunkan hujan, karena kekeramatan mereka Allah memenangkan mereka atas musuh-musuhnya dan karena kekeramatan mereka Allah menyelematkan penghuni bumi dari malapetaka…”.
Mereka itulah kata Imam Turmudzi ahlul-bait Rasulallah saw.yang menjadi sebab keselamatan ummat ini. Bila mereka itu lenyap, rusaklah bumi ini dan hancurlah dunia…. Selanjutnya Turmudzi mengatakan:
1). Pengertian mengenai ahlul-bait tidak bisa didasarkan pada makna hadits yang berbunyi: “Manakala ahlulbaiku lenyap maka datanglah kepada ummatku apa (bencana) yang dijanjikan”.
Bagaimana dapat dibayangkan kalau ahlulbait sudah tidak ada lagi, tidak akan ada seorang pun dari ummat Muhammad saw. yang masih tinggal? Jumlah ummat Muhammad jauh lebih banyak daripada –ahlulbait– yang dapat dihitung dan Allah swt. senantiasa melindungi mereka (ummat Muhammad) dengan berkah dan rahmat-Nya. Pengertian mengenai ahlulbait juga tidak dapat didasarkan pada hadits yang berbunyi: ‘Semua sebab dan nasab akan terputus kecuali sebabku dan nasabku’.
2). Menurut hadits tersebut, ahlulbait Rasulallah saw. ialah nasab beliau, yakni Bani Hasyim dan Bani ‘Abdul Mutthalib. Akan tetapi mereka bukan merupakan sebab bagi keselamatan ummat Islam, sehingga orang boleh berkata: “Kalau mereka lenyap akan lenyap pula dunia ini” !
3). Dikalangan mereka pun terdapat keburukan (fasad) seperti yang terdapat didalam golongan lain. Diantara mereka ada yang baik (muhsin) dan ada pula yang buruk (musi’). Lalu bagaimana dapat dikatakan bahwa mereka itu merupakan sebab bagi keselamatan penghuni bumi? Jadi jelaslah, bahwa yang dimaksud (ucapan) Rasulallah saw. ialah; orang-orang yang karena mereka itu dunia ini tetap lestari. Mereka itulah lambang kehidupan dan para pembimbing manusia kejalan hidayat pada setiap zaman. Tanpa mereka tak ada kehormatan apa pun dimuka bumi dan bencana akan merajalela…
Imam Turmudzi melanjutkan: Kalau ada yang mengatakan bahwa kemuliaan ahlulbait dan dekatnya hubungan mereka dengan Rasulallah saw. itu yang membuat mereka menjadi sebab keselamatan bagi penghuni bumi, orang lain tentu dapat menjawab: ‘Ke hormatan dan kemuliaan Rasulallah saw. jauh lebih agung’! Dibumi ini ada sesuatu yang lebih mulia dan lebih agung dibandingkan dengan keturunan Rasulallah saw. yaitu Kitabullah Al-Qur’an, walau tidak disebut dalam hadits diatas tadi. Selain itu kehormatan dan kemuliaan ada juga pada para ahli takwa.
Dalam penjelasannya mengenai sebab-sebab yang membuat Muhammad Rasulallah saw. menjadi manusia besar, mulia dan agung, Turmudzi mengatakan: ‘Kehormatan, kebesaran dan keagungan Rasulallah saw. adalah berkat kenabian dan kemuliaan yang dilimpah- kan Allah swt.kepada beliau’. Sebagai dalil mengenai hal itu dapat dikemukakan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah sebagai berikut:
“Pada suatu hari Rasulallah saw. mendatangi (Siti) Fathimah. Ditempat kediaman (Siti) Fathimah terdapat Shafiyyah (bibi Rasulallah saw.). Beliau kemudian bersabda: ‘Hai Bani ‘Abdu Manaf, Hai Bani ‘Abdul Mutthalib, Hai Fathimah binti Muhammad, Hai Shafiyyah bibi Rasulallah Allah. Dihadirat Allah aku tidak bermanfaat bagi kalian. Mintalah berapa saja dari hartaku yang kalian inginkan. Ketahuilah, bahwa orang yang terbaik bagiku pada hari kiamat ialah mereka yang bertakwa. Jika kalian hanya mengandalkan kekerabatan kalian denganku, disaat orang lain datang kepadaku membawa amal kebajikan lalu kalian datang kepadaku hanya membawa keduniaan di leher kalian. Kemudian memanggil-manggil ‘Hai Muhammad’, aku men- jawab dengan memalingkan wajahku dari kalian. Kalian lalu memanggil lagi ‘Hai Muhammad’. Akupun menjawab begitu lagi. Kemudian kalian berkata: ‘Hai Muhammad, Aku ini si Fulan bin Fulan’. Aku menjawab: ‘Tentang nasab kalian aku memang kenal, tetapi tentang amal kebajikan kalian aku tidak tahu. Kalian telah meninggalkan kitabullah, karena itu kalian kembali kepada kekerabatan (yang kalian andalkan) antara aku dan kalian’ ”.
 Diriwayatkan pula bahwa saat itu Rasulallah saw. menegaskan: “Diantara kalian, orang-orang yang memperoleh perlindunganku bukanlah mereka yang berkata: ‘ayahku si Fulan’, tetapi diantara kalian yang memperoleh perlindunganku ialah mereka yang bertakwa, siapa pun mereka itu dan bagaimana pun keadaan mereka”.
Jawaban atas pendapat Imam Turmudzi :
Penafsiran dan pendapat Imam Turmudzi mengenai hadits diatas tentang ahlul-bait, ternyata memperoleh tanggapan dari para ulama yang lain di antaranya yaitu Yusuf bin Ismail An-Nabhani dalam kitabnya Ashsyaraful Muabbad li Aal Muhammad menuturkan:
“Sementara jama’ah ahli hadits meriwayatkan sebuah hadits (hadits Safinah) yang diriwayatkan oleh banyak sahabat Nabi saw. bahwasanya Rasulallah saw. bersabda: ‘Ahlubaitku ditengah-tengah kalian ibarat bahtera Nuh. Barangsiapa menaikinya ia selamat, dan yang ketinggalan ia celaka (sumber riwayat lain mengatakan … ia tenggelam, dan sumber yang lainnya mengatakan..ia di giring ke neraka)’.
Abu Dzar Al-Ghifari mengatakan: Aku mendengar Rasulallah saw. bersabda: “Jadikanlah ahlubaitku bagi kalian seperti kedudukan kepala bagi tubuh dan seperti kedudukan dua mata bagi kepala’”.
Imam Al-Hakim meriwayatkan sebuah hadits yang dibenarkan oleh Bukhori dan Muslim: “‘Bintang-bintang adalah keselamatan bagi penghuni bumi dari (bahaya) tenggelam (didasar laut) dan ahlubaitku adalah keselamatan bagi ummatku dari perselisihan. Apabila ada kabilah Arab yang membelakangi ahlubaitku mereka akan berselisih kemudian mereka akan menjadi kelompok iblis’.
Hadits yang lain dikemukakan juga oleh jama’ah ahli hadits, yaitu bahwasa nya Rasulallah saw. bersabda: “Bintang-bintang adalah keselamatan bagi penghuni langit dan ahlubaitku adalah keselamatan bagi ummatku. (Menurut sumber riwayat lain keselamatan bagi penghuni bumi). Manakala ahlubaitku lenyap (binasa) maka yang dijanjikan dalam ayat-ayat Al-Qur’an akan tiba (yaitu bencana)”.
Hadits seperti itu juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal: “Apabila bintang-bintang lenyap, lenyaplah penghuni langit dan apa- bila ahlulbaitku lenyap, lenyaplah penghuni bumi’.
Setelah mengemukakan hadits-hadits tersebut diatas An-Nabhani kemudian mengatakan: ‘Bagaimana pun juga ahlulbait Rasulallah dan keturunan beliau saw. dipermukaan bumi ini merupakan sebab atau syarat bagi keselamatan ummat manusia, dan pada khusus- nya merupakan syarat keselamatan ummat Muhammad saw. dari adzab/siksa neraka. Yang dimaksud oleh hadits itu bukan hanya khusus anggota keluarga yang sholeh saja. Sebab cirri kemuliaan yang ada pada unsur keturunan beliau saw. sama sekali tidak tergantung pada sifat-sifat mereka’.
Sebagai dalil mengenai itu An-Nabhani menunjuk kepada pernyataan Ash-Shabban didalam kitabnya Is’afur Raghibin yang mengatakan bahwa pengertian tersebut diatas diperoleh dari isyarat yang terkandung dalam surat Al-Anfal: 33 : ‘Dan Allah sekali-kali tidak akan menyiksa mereka (orang-orang durhaka) sedang engkau berada ditengah-tengah mereka’. Sekali pun ayat itu ditujukan kepada Rasulallah saw., namun ahlulbait dan keturunan beliau dapat didudukkan pada tempat beliau, karena mereka itu berasal dari beliau dan beliau pun berasal atau senasab dengan mereka, sebagaimana yang diriwayatkan oleh beberapa hadits.
Kemudian An-Nabhani mengetengahkan sebuah hadits bahwa Rasulallah saw. menegaskan: ‘Orang-orang pertama yang mengalami bencana adalah Quraisy, dan orang-orang Quraisy yang pertama mengalami bencana adalah ahlulbaitku..(riwayat lain mengatakan bukan bencana [halak] melainkan kepunahan [fana] dan bukan pula ahlulbaitku melainkan Bani Hasyim )’.
Para ahli syarah ilmu hadits, termasuk Al-manawi dan lain-lain menjelaskan makna hadits tersebut sebagai berikut: ‘Bencana yang menimpa mereka merupakan pertanda akan datangnya hari kiamat, sebab hari kiamat akan tejadi akibat perbuatan manusia-manusia jahat, sedangkan para keluarga keturunan Rasulallah saw. adalah (keturunan) orang-orang baik’.
Menanggapi penjelasan Al-Manawi tersebut An-Nabhani mengatakan: ‘Rasanya penjelasan Al-manawi itu dapat dijadikan tafsir bagi hadits tersebut diatas, bahkan lebih baik daripada penafsiran kami. Dengan demikian maka teranglah bahwa penafsiran Turmudzi tidak dapat diterima, yaitu penafsiran yang mengartikan dzurriyatu (keturunan) Rasulallah saw. dengan abdal (orang-orang keramat) sebagai mana yang terdapat didalam hadits diatas dari Imam ‘Ali bin Abi Thalib ra.’.
An-Nabhani menyanggah pernyataan Imam Turmudzi yang mengatakan: ‘Bagaimana bisa dibayangkan bahwa dengan lenyapnya ahlulbait dari muka bumi ini maka tidak akan ada lagi seorangpun dari ummat Muhammad yang tinggal? Padahal jumlah ummat Muhammad jauh lebih banyak dan Allah selalu melindungi mereka dengan berkah dan rahmat-Nya !
An-Nabhani menjawab: ‘Tidak ada halangan dan tidak ada salahnya jika orang membayangkan hal sedemikian itu. Lebih-lebih karena Rasulallah saw. sendiri telah menegaskan: ‘Orang-orang pertama yang mengalami bencana adalah Quraisy dan orang-orang Quraisy yang pertama mengalami bencana adalah ahlulbaitku’. Hadits ini merupakan salah satu petunjuk tentang rahmat yang dilimpahkan Allah swt. kepada keluarga dan keturunan Rasulallah saw.’.
An-Nabhani menyanggah penafsiran Imam Turmudzi tentang hadits yang mengatakan: ‘Semua sebab dan nasab akan terputus kecuali sebab dan nasabku’. An-Nabhani berkata: ‘Kata putus (dalam hadits ini) tidak berarti kepunahan atau kebinasaan keturunan Rasulallah saw.. Itu hanya dikhususkan pada saat terjadinya hari kiamat, sebagaimana yang dijelaskan oleh hadits-hadits shohih. Kata putus juga berarti nasab (silsilah) tidak bermanfaat, sebagaimana ditegaskan Allah swt. dalam surat Al-Mu’minun : 101: ‘Maka tiada lagi hubungan nasab diantara mereka pada hari itu’. Hanya Rasulallah saw. sajalah yang memperoleh pengecualian (kekhususan) dalam hal sebab (melalui pernikahan) dan dalam hal nasab (melalui ke- turunan). Bagi beliau saw. kemanfaatan sebab dan nasab tetap berkesinambungan baik di dunia mau pun diakhirat. Hal itu diperkuat (dalam hadits lainnya) oleh Rasulallah saw. yang diucapkan dari atas mimbar: ‘Mengapa sampai ada orang-orang yang mengatakan, bahwa kekerabatan Rasulallah saw. tidak bermanfaat pada hari kiamat ? Ya (pasti)..kekerabatanku berkesinambungan didunia dan akhirat’.
Terhadap uraian Imam Turmudzi yang mengatakan: ‘Bahwa Bani Hasyim dan Bani ‘Abdul Mutthalib bukan merupakan syarat bagi keselamatan ummat Muhammad saw. dan bukan pula merupakan orang-orang yang akan mengakibatkan lenyapnya dunia bila mereka lenyap’.
An-Nabhani menjawab: ‘Yang diartikan mereka itu syarat bagi keselamatan ummat ini, bahkan penghuni bumi ini, ialah bahwa dengan masih adanya mereka didunia berarti saat kepunahan dunia ini belum tiba. Bila mereka telah punah, maka penghuni bumi ini akan menyaksikan apa yang telah dijanjikan Allah dalam Al-Qur’an tentang tibanya hari kiamat dan kepunahan dunia ini’.
Terhadap uraian Imam Turmudzi yang mengatakan: ‘Diantara mereka (keturunan Rasulallah saw.) juga terdapat kerusakan (fasad) seperti yang terdapat didalam golongan-golongan dan ada pula yang berlaku buruk. Jadi, bagaimana dapat dikatakan bahwa mereka itu syarat bagi keselamatan ummat ini dan penghuni bumi ?’.
An-Nabhani menjawab: ‘Mereka (keturunan Rasulallah saw.) menjadi syarat bagi keselamatan ummat ini dan penghuni bumi ini bukan karena amal kebajikan mereka, melainkan karena mereka itu adalah unsur suci kenabian yaitu suatu anugerah yang dikhususkan Allah bagi mereka sejak asal. Mereka dianugerahi keistemewaan itu ialah Rahmat Allah yang dilimpahkan kepada mereka sebagai anggota-anggota ahlulbait Rasulallah saw.. Di tengah-tengah mereka Allah menurunkan wahyu-Nya. Dalam hal-hal seperti itu mereka tidak mungkin dapat disamakan dengan orang lain (selain anggota ahlulbait)’.
Terhadap uraian Imam Turmudzi yang mengatakan: ‘Dibumi ini ada yang lebih mulia daripada keturunan Rasulallah saw. yaitu Al-Qur’an, sekali pun hal itu tidak disebut dalam hadits yang bersangkutan’.
An-Nabhani menjawab: ‘Tidak ada keharusan bagi Rasulallah saw. untuk menyebut didalam sebuah hadits (tentang) kemuliaan anak cucu keturunan beliau bersama-sama dengan kemuliaan Al-Qur’an, walau pun jelas bahwa kemuliaan Kitabullah Al-Qur’an jauh lebih besar daripada kemuliaan keturunan Rasulallah saw. Walaupun hal itu bukan merupakan keharusan, namun beliau menyebut kedua-duanya itu dalam hadits Tsaqalain (mengenai hadits-hadits ini baca halaman sebelumnya). Lagi pula diantara ahlulbait Rasulallah saw. tidak ada seorang pun yang mengaku dirinya lebih mulia atau sejajar dengan Kitabullah, dan mereka pun tidak beranggapan bahwa kemuliaan Kitabullah itu disebabkan adanya keistemewaan yang ada pada diri mereka (ahlulbait)’.
Kitabullah menjelang hari kiamat pun akan diangkat. Ibnu Mas’ud ra. mengatakan: “Bacalah Al-Qur’an sebelum diangkat ! Hari kiamat akan terjadi dekat sebelum Al-Qur’an diangkat’! Seorang sahabat bertanya: ‘Hai Abu ‘Abdurrahman (panggilan Ibnu Mas’ud), bagai- manakah arti Kitabullah akan diangkat, padahal itu telah menetap didalam dada dan dilembaran-lembaran mushaf kita’? Ibnu Mas’ud menjawab: ‘Kitabullah memang tetap didalam dada, tetapi tidak diingat dan dibaca orang’ “.
Tidak diragukan lagi bahwa Ibnu Mas’ud tidak berkata menurut pendapatnya sendiri, karena persoalan itu berada diluar pikiran orang. Dari keterangannya itu jelaslah bahwa Kitabullah menjadi syarat bagi keselamatan ummat manusia. Selama Kitabullah masih berada ditengah-tengah ummat manusia, dunia ini tidak akan dimusnahkan Allah. Mengenai keturunan suci Rasulallah saw. tidak boleh diberi penilaian lebih dari apa yang telah kami terangkan”.
Mengenai penegasan Imam Turmudzi bahwa ‘kemuliaan hanya ada pada para ahli taqwa’ berdasarkan dalil sebuah hadits yang meriwayatkan kedatangan Rasulallah saw. di kediaman (Siti) Fathimah ra. disaat Shafiyyah (bibi beliau) berada ditempat itu, kemudian Rasulallah saw. bersabda: “Hai Bani ‘Abdu Manaf, hai Bani ‘Abdul Mutthalib, hai Fathimah binti Muhammad, hai Shofiyyah…….dan seterusnya(silahkan baca hadits terdahulu)”.
An-Nabhani memberi tanggapan atas penegasan Imam Turmudzi ini sebagai berikut: Mengenai soal itu Al-Muhib Ath-Thabrani telah memberikan jawaban meyakinkan, yang kemudian dikutip oleh Al-Manawi dalam kitab Al-Kabir dan oleh Ash-Shabban dalam kitab Is’afur-Raghibin. Jawaban tersebut mengatakan: “Benarlah bahwa Rasulallah saw. tidak mempunyai apa-apa yang (bisa) mendatang- kan manfaat dan madharat (yang telah ditimpakan oleh Allah swt.) bagi orang lain, hanya Allah sajalah yang memiliki hal itu. Namun, dengan kekuasaan-Nya Allah membuat Rasul-Nya bermanfaat bagi kaum kerabatnya, bahkan bagi semua ummatnya, berupa syafa’at khusus dan umum. Beliau saw. tidak mempunyai suatu apa pun selain yang dikaruniakan Allah kepadanya, yaitu seperti yang di tunjukkan oleh sebuah hadits Al-Bukhori mengenai sabda beliau: ‘Kalian yang pria maupun yang wanita mempunyai hubungan silaturrohmi (denganku), yang akan kusambung hubungannya…’. Demikian pula makna ucapan Rasulallah saw.: ‘Dihadirat Allah aku tidak berguna apa pun bagi kalian’ .
Maknanya (hadits itu) ialah: ‘Kalau hanya diriku sendiri tanpa anugerah syafa’at dan ampunan yang dilimpahkan Allah kepadaku, aku tidak dapat memberikan manfaat apa pun kepada kalian ‘. Rasulallah saw menyatakan demikian itu untuk memperingatkan mereka agar banyak-banyak berbuat kebajikan, dan agar mereka memperoleh rahmat Allah karena kebesaran takwanya masing-masing”.
Ash-Shabban mengatakan: “Konon hadits tersebut diatas diucapkan oleh Rasulallah saw. sebelum beliau diberitahu Allah mengenai manfaatnya bernasab kepada beliau. Akan tetapi tampaknya bahasa Arab kurang membantu At-Turmudzi dalam menafsirkan hadits-hadits tentang ahlulbait. Adakah orang yang mengartikan ahlulbait dengan orang-orang keramat (abdal)? Demi Allah tidak ada! Tidak ada seorang pun yang mendengar kata ahlulbait ku dari Rasulallah saw. lalu ia memahaminya dengan makna selain ahlulbait yang bernasab kepada beliau saw. Memang hanya itu sajalah makna ahlulbaitku dalam bahasa Arab, bahasa beliau saw.sendiri ! !
Mengenai orang-orang keramat, kemanfaatan mereka bagi kita, atau mengenai ketinggian derajat mereka dan dekatnya mereka itu dengan Allah dan Rasul-Nya, tak ada seorang Muslim pun yang meragukannya. Namun orang-orang keramat itu sendiri tentu merasa tidak senang jika diberi perhiasan yang diambilkan dari keluarga atau dari keturunan orang yang paling mereka cintai, yaitu Rasulallah saw.. Saya yakin demikian kata Ash-Shabban lebih jauh bahwa Imam Al-Hakim At-Turmudzi sendiri termasuk salah seorang keramat terkemuka. Karena itu saya berani memastikan bahwa uraiannya (mengenai ahlulbait) yang ditulis dalam kitabnya itu mengandung salah satu dari dua kemungkinan:
Pertama; dan ini yang paling besar kemungkinannya tulisan tersebut di- palsukan oleh orang yang dengki kepadanya (Turmudzi) dan kepada ahlulbait Rasulallah saw. Hal seperti itu sering dialami oleh para ulama dan orang-orang keramat lainnya, seperti Syeikh Al-Akbar Sidi Muhyiddin bin Al ‘Arabi, Syeikh ‘Abdul Wahhab Asy-Sya’rani dan lain lain….
Kedua; Imam Turmudzi pernah bergaul dekat dengan orang-orang ekstrim Syiah yang berlebih-lebihan dalam mengagung-agungkan (sampai-sampai mengkultuskan) ahlulbait Rasul- Allah saw., sehingga mereka sesat karena tidak mau mempercayai kejujuran para sahabat Nabi saw. terutama Abu Bakar Ash-Shiddiq ra. dan ‘Umar Ibnul Khattab ra.. Dengan uraiannya itu mungkin Turmudzi hendak mengecam mereka, dan itu tampak jelas pada rumus-rumus kalimat yang dipergunakan olehnya. Kecaman itu dituangkan olehnya dalam uraian mengenai ahlulbait, tetapi bersamaan dengan itu ia tetap mencintai Ahlulbait dan memberikan penilaian yang baik serta tetap mengakui kemuliaan dan keistemewaan mereka (ahlul-bait)”. Demikianlah jawaban An-Nabhani tentang penafsiran At-Turmudzi mengenai Ahlulbait/ keturunan Rasulallah saw..
 Ibnu Taimiyyah dalam kitabnya Al-‘Aqidatul-Washiyyah memberi tanggapan atas penafsiran Imam Turmudzi tentang makna hadits tsaqalain sebagai berikut: “Dua kalimat hadits tsaqalain yang menyatakan; ‘Dua-dua-nya tidak akan berpisah hingga kembali kepadaku di Haudh, dan sesuatu yang jika kalian berpegang teguh kepadanya kalian tidak akan sesat’, tidak hanya berlaku bagi para Imam atau orang-orang terkemuka dari keluarga keturunan Rasulallah saw. saja, melainkan berlaku juga bagi semua orang yang berasal dari keluarga keturunan beliau saw., baik yang awam mau pun yang khawash, yang menjadi imam maupun yang tidak.
Pernyataan Rasulallah saw. yang menegaskan; ‘Dua-dua-nya tidak akan berpisah hingga kembali kepadaku di Haudh’, tidak mengandung makna, bahwa mereka (keluarga Nabi saw.) itu harus sanggup melaksanakan semua ketentuan yang telah ditetapkan dalam Kitabullah, sehingga Turmudzi mengatakan, bahwa diantara mereka itu ada orang-orang berbuat buruk atau orang yang amalan baiknya bercampur aduk dengan amalan buruknya..’ dan seterusnya. Pernyataan Rasulallah saw. itu adalah dorongan supaya orang menghormati mereka, dan merupakan berita menggembirakan bahwa mereka itu tidak akan meninggalkan agama Islam (wafat dalam kekafiran) hingga saat mereka memasuki surga (haudh) dengan selamat. Itulah makna pernyataan Rasulallah saw. bahwa mereka itu tidak akan berpisah dari Kitabullah hingga saat mereka kembali kepada beliau di surga kelak….
Sebagaimana telah saya katakan, makna ‘noda’ atau ‘kotoran’ (arrijsa) dalam ayat (Al-Ahzab:33) tersebut diatas, mencakup segala macam dosa dan kesalahan lainnya, dan yang paling buruk ialah ‘kufur’ (mati dalam kekafiran). Orang-orang dari keluarga keturunan Rasulallah saw.adalah orang-orang yang telah disucikan langsung oleh Allah swt., dalam hal keteguhan berpegang pada agama Islam mereka itu tidak akan goyah atau tergelincir.. (tidak sampai wafat dalam kekafiran).
Mungkin orang ingin berkata kepada kami: ‘Dalil itu tidak dapat diterima oleh Turmudzi, karena ia berpendapat bahwa surat Al-Ahzab:33 ditujukan khusus kepada para isteri Rasulallah saw…. Kami menjawab: Benar, sekali pun ia berpendapat seperti itu, namun telah nyata terdapat pembuktian kuat, bahwasanya Rasulallah saw. pernah memanggil ‘Ali bin Abi Thalib, Siti Fathimah, Al-Hasan dan Al-Husain –radhiyallahu ‘anhum–, kemudian beliau saw. membacakan surat Al-Ahzab:33…
Turmudzi sendiri dalam penjelasannya mengatakan, bahwa ‘keturunan mereka (ahlul-bait) memang termasuk dalam lingkungan ahlul-bait, karena itu mereka adalah orang-orang shafwah (suci)’. Dikatakan juga olehnya: ‘ Hal itu dilakukan oleh Rasulallah saw. setelah ayat 33 S. Al-Ahzab turun, karena beliau saw. ingin memasukkan mereka kedalam makna ayat tersebut’.
Dengan keterangan seperti ini berarti Turmudzi sendiri yakin bahwa Rasulallah saw. pernah memanggil Ali bin Abi Thalib, (Siti) Fathimah, Al-Hasan dan Al-Husain –radhiyallahu ‘anhum– dan mereka telah memenuhi panggilan beliau itu dan mendengarkan beliau saw. membacakan ayat tersebut didepan mereka. Dengan demikian jelaslah, bahwa mereka termasuk dalam makna ayat tersebut. Jadi, pada hakikatnya keterangan Turmudzi itu sama dengan pendapat para ulama yang lain (yaitui orang lima ini termasuk yang di maksud dalam surat Al-Ahzab:33).
Mengenai tidak akan terpisahnya mereka (keluarga keturunan Rasulallah saw.) dari Kitabullah, bermakna bahwa mereka itu tidak akan menyeleweng (keluar) dari agama Islam hingga saat mereka kembali kepada Rasulallah saw. di surga. Makna tersebut diperkuat dalil- nya oleh Firman Allah dalam surat Adh-Dhuha:5: ‘Dan kelak Tuhanmu pasti memberikan karunia-Nya kepadamu sehingga engkau (Muhammad) menjadi puas”.
Al-Qurthubi dalam tafsirnya yang dikutip dari Ibnu ‘Abbas ra., mengatakan: ‘Kepuasan Muhammad Rasulallah saw. ialah karena tidak ada seorang pun dari ahlubaitnya yang akan masuk neraka’. Dalil-dalil hadits mengenai hal itu banyak sekali, antara lain sabda Rasulallah saw.:
“Fathimah telah sungguh-sungguh menjaga kesucian dirinya. Karena itu ia dan keturunannya dihindarkan Allah dari siksa neraka”. (Al-Hakim menegaskan bahwa hadits ini shohih)
Dalil hadits lainnya berasal dari ‘Imran bin Hashin ra.. Ia mengatakan bahwa Rasulallah saw. pernah bersabda: “Aku telah mohon kepada Tuhanku supaya tidak memasukkan seorang pun dari keluargaku (ahlubaitku) ke dalam neraka, dan Dia mengabulkan per- mohonanku “.
Penafsiran Imam Turmudzi bahwa ‘hadits tsaqalain hanya berlaku bagi para Imam dan orang-orang terkemuka dari golongan Ahlulbait’, Ibnu Taimiyyah mengetengahkan riwayat hadits yang berasal dari Zaid bin Arqam, yaitu: “….Kutinggalkan kepada kalian dua bekal. Yang pertama ialah Kitabullah, didalamnya terdapat petunjuk dan cahaya terang….. dan ahlu-baitku… dan seterusnya (baca nash hadits tsaqalain pada halaman sebelumnya)”. Dari hadits ini kita dapat mengetahui bahwa Rasulallah saw. pertama-pertama mengkhususkan pesan beliau supaya kaum muslimin berpegang teguh pada petunjuk dan hidayat Kitabullah Al-Qur’anul-Karim. Hikmah mengenai hal itu beliau menyebutnya dengan kata-kata ‘didalamnya terdapat petunjuk dan cahaya terang’. Setelah itu barulah beliau menyebut ahlul-bait (keluarga keturunan) dengan ucapan “kalian kuingatkan kepada Allah mengenai ahlu- baitku”.
Pesan beliau itu diucapkan dua kali untuk lebih menekankan perlunya memelihara hak-hak mereka sebagai keluarga keturunan beliau saw. Dalam pesan beliau itu samasekali tidak terdapat pengistemewaan yang seseorang daripada yang lain diantara semua keluarga ahlul-bait. Jelaslah kiranya, bahwa yang dimaksud dengan keluarga keturunan Rasulallah saw. atau ahlul-bait ialah mereka semua yang diharamkan menerima shodaqah atau zakat, sebagaimana yang dikatakan oleh Zaid bin Arqam dalam hadits Tsaqalain. Oleh Rasulallah saw. mereka itu disebut secara ber-iringan dengan penyebutan Kitabullah. Sudah pasti itu bermaksud menghormati ke dudukan mereka, dan untuk menekankan wasiat beliau agar hak-hak mereka dipelihara sebaik-baiknya oleh kaum muslimin.
Ibnu Taimiyyah merasa aneh dan heran mengenai uraian imam Turmudzi yaitu kalimat yang berbunyi: ‘Apabila orang-orang yang tidak seunsur atau se asal keturunan dengan mereka (keluarga keturunan ahlulbait) benar-benar menguasai ilmu-ilmu agama secara mendalam, maka kita pun wajib berteladan kepada mereka, sama seperti kita berteladan kepada orang-orang (imam-imam) ter- kemuka yang berasal keturunan Rasulallah saw.’.
Perumusan Turmudzi kalimat seperti itu oleh Ibnu Taimiyyah dianggap menarik garis persamaan antara keluarga keturunan Rasulallah saw. dan orang-orang dari unsur lain yang bukan keluarga keturunan Rasulallah saw. Jadi, tidak ada keistemewaan apa pun pada orang-orang keturunan Rasulallah saw. Yang dipandang oleh Turmudzi sebagai ciri istemewa ialah ‘kedalaman ilmu’ yang ada pada orang-orang keluarga keturunan Rasulallah saw. Dengan demikian maka yang diartikan ‘itrah’ dan ‘ahlul-bait’ (dalam hadits Nabi saw.) menurut Turmudzi bukan lain hanyalah para ulama, para Imam dan para ahli Fiqih dikalangan ummah Islam! Benarkah itu yang di maksud oleh Rasulallah? Tentu Tidak !
Yang dimaksud oleh Rasulallah saw. ialah keluarga keturunan dan kaum kerabat, tidak pandang apakah mereka itu Imam, ulama atau bukan. Mengenai para ahli Fiqih, para ulama dan para Imam, mereka itu memang teladan bagi ummat Islam dan merupakan pelita yang menerangi kegelapan. Akan tetapi itu tidak berarti bahwa mereka itu keluarga keturunan Rasulallah saw. Para ulama, para ahli fiqih dan para Imam itu justru orang-orang yang paling pertama berkewajiban mengindahkan wasiat Nabi saw. yakni secara umum mereka itu wajib menghormati kedudukan dan memelihara hak-hak keluarga keturunan Rasulallah saw. dengan sebaik-baiknya”. Demikianlah sanggahan Ibnu Taimiyyah atas pendapat Imam Turmudzi.
Para ulama antara lain Yusuf bin Ismail An-Nabhani dalam kitabnya Ashsyaraful Muabbad li Aal Muhammad dan Ibnu Taimiyyah dalam kitabnya Al-‘Aqidatul-Washiy menyanggah pendapat Imam Turmudzi tersebut diatas yang membatasi makna keluarga keturun- an Rasulallah saw. dalam hadits-hadits beliau saw. antara lain dalam Hadits Tsaqalain dan hadits Safinah.
Apa yang dikatakan Imam Turmudzi dalam Nawadirul-Ushul itu perlu di hargai, tetapi sayangnya beliau ini tidak mengemukakan hujjah atau dalil bahwa yang dimaksud oleh Rasulallah saw. dalam hadits Tsaqalain, hadits Safinah itu ialah sebagaimana yang beliau kemukakan tadi! Imam Turmudzi ini membatasi makna itrah (keluarga keturunan) yang terdapat dalam kalimat hadits tsaqalain, hanya kepada para pemuka atau Imam-imam yang terdiri dari keturunan Rasulallah saw. saja. Penafsiran Imam Turmudzi mengenai makna hadits tsaqalain dan hadits lainnya hanya berdasarkan pemikiran beliau sendiri dari segi dan istilah bahasa atau dari bidang ilmu atau ketaqwaan. Padahal kalau kita teliti dan baca banyak wasiat Rasulallah saw. dalam hadits-hadits shohih mengenai ahlulbait dan keturunannya umpama dalam hadits-hadits yang telah dikemukakan tadi, disitu beliau saw. menegaskan agar ummatnya meng- hormati, memuliakan dan mendahulukan semua ahlul-bait dan keturunannya, tidak memandang apakah diantara mereka ini seorang imam atau awam, ada yang baik atau ada yang buruk, karena di dalam hadits-hadits itu tidak adanya pembatasan yang hanya berlaku untuk para imam, para ahli taqwa dari ahlul-baitnya.
Para imam yang menyanggah pendapat Imam Turmudzi merasa heran dan belum percaya kalau hal itu diucapkan oleh Imam Turmudzi sendiri karena tidak sejalan dengan makna ayat Ilahi dan hadits Rasulallah saw. mengenai ‘Itrah ahlul-bait beliau saw. Maka dari itu Ash-Shabban sendiri berani mengatakan uraian Imam Al-Hakim At-Turmudzi yang ditulis dalam kitabnya itu mengandung salah satu dari dua kemungkinan:
Pertama; dan ini yang paling besar kemungkinannya tulisan tersebut di- palsukan oleh orang yang dengki kepadanya (Turmudzi) dan kepada ahlul- bait Rasulallah saw. Hal seperti itu sering dialami oleh para ulama dan orang-orang keramat lainnya, seperti Syeikh Al-Akbar Sidi Muhyiddin bin Al- ‘Arabi, Syeikh ‘Abdul Wahhab Asy-Sya’rani dan lain lain….
Kedua; Imam Turmudzi pernah bergaul dekat dengan orang-orang ekstrim Syiah yang berlebih-lebihan dalam mengagung-agungkan sampai-sampai mengkultuskan ahlulbait Rasulallah saw.. Dengan uraiannya itu mungkin Turmudzi hendak mengecam mereka, dan itu tampak jelas pada rumus kalimat yang dipergunakan olehnya!!
Lepas dari penafsiran diatas, jelas Allah swt. dalam firman-firmanNya untuk ahlulbait Rasulallah saw. (Al-Ahzab: 33 dan lain-lain) dan untuk para sahabat beliau saw. (Al-Fath:18, At-Taubah:100 dan lain-lain) tentang kemuliaan dan penilaian tinggi yang diberikan oleh Allah swt. kepada mereka ini. Namun sebagai sesama manusia, para ahlulbait dan keturunan Rasulallah saw. ada- lah sama dengan para sahabat Nabi saw. dan keturunannya (bisa berbuat kesalahan). Mereka ini bisa saja berbuat suatu kekeliruan atau terkena dosa karena bukan orang-orang ma’shum yakni yang terpelihara dari kemungkin- an berbuat kekeliruan. Orang-orang yang ma’shum menurut ahlus sunnah wal jama’ah hanyalah para Nabi dan Rasul, sebagai pembawa syari’at Ilahi dan hukum-hukum-Nya untuk di sampaikan kepada ummat manusia.
Betapa pun tingginya martabat, keutamaan (fadha’il) dan ketakwaan mereka (keluarga keturunan Nabi saw. dan para sahabat), sebagai manusia mereka tetap menghadapi kemungkinan berbuat kekeliruan. Namun secara khusus bagi ahlulbait dan keturunan Rasulallah saw., atas berkah dan kepemurahan Allah swt. mereka itu memperoleh ampunan atas kekeliruan dan kesalahan yang mungkin mereka perbuat. Allah swt. memelihara mereka ini dari cacad cela yang dapat merendahkan kedudukan atau kemuliaan mereka. Bisa saja terjadi suatu perbuatan yang dilakukan seseorang atau beberapa orang sahabat yang tidak menyenangkan ahlulbait Rasulallah saw. dan sebaliknya. Hal itu bukan merupakan kejadian aneh, karena setiap manusia dapat saja berbuat kekeliruan dan kesalahan, apalagi mereka itu bukan orang-orang yang ma’shum (dihindarkan dari dosa).
Kita kaum muslimin wajib mencintai dua golongan tersebut ahlulbait, ke turunan Nabi saw. khususnya dan para sahabat Nabi saw. agar kita Insya Allah dapat memperoleh kebajikan didunia dan akhirat. Kita wajib memandang mereka semua dengan sikap yang adil, mengingat jasa-jasa yang telah mereka berikan kepada agama Islam dan kepada ummat Islam. Pandangan kita terhadap mereka semua harus bertitik tolak pada keinginan memperoleh keridhoan Allah dan Rasul-Nya. Kita harus menjauhkan dari hati dan pikiran kecenderungan nafsu berpihak kepada yang satu dan mengecam yang lain. Orang yang berpikiran sehat tidak akan membiarkan diri- nya tercekam oleh pikiran dan perasaan yang tidak selaras dengan ajaran Al-Qur’an dan Sunnah Rasulallah saw..
Dalil-dalil atau hujjah-hujjah baik yang berupa ayat-ayat Al-Qur’an, hadits-hadits mau pun contoh-contoh yang telah diberikan oleh para sahabat Nabi saw. dan para Imam sebagian telah tercantum dibab ini kiranya cukup meyakinkan bagi setiap muslim yang men- dambakan keridhoan Allah dan Rasul-Nya. Setiap muslim, apa pun madzhab dan aliran yang dianutnya, tentu menyadari bahwa hakikat ajaran agama Islam ialah iman kepada Allah dan Rasul-Nya, taat kepada kedua-duanya dan patuh melaksanakan semua perintahnya.
Berbicara tentang keridhoan Allah dan Rasul-Nya, yang pokok pertama ada- lah keridhoan Allah, sedang keridhoan Rasulallah saw. adalah kesinambungan dari keridhoan Allah swt. Tiap perbuatan yang diridhoi Allah pasti diridhoi oleh Rasul-Nya, tiap perbuatan yang dimurkai Allah pasti di murkai pula oleh Rasul-Nya. Demikian juga sebaliknya, Allah ridho terhadap apa yang diridhoi oleh Rasul-Nya, dan murka terhadap apa yang dimurkai oleh Rasul-Nya. Jadi kedua-duanya tidak dapat dipisahkan ! Tidak mungkin seorang beiman taat melaksanakan perintah Allah tanpa melaksanakan perintah Rasul-Nya, dan tidak mungkin pula orang taat melaksanakan perintah Rasulallah saw. tanpa mentaati perintah Allah swt. Hal ini ditegaskan dalam Al-Qur’anul Karim antara lain:
“Barangsiapa taat kepada Rasul berarti taat kepada Allah” (An-Nisa :80). Dan firman-Nya: “..Dan Allah beserta Rasul-Nya itulah yang lebih berhak di dambakan keridhoan-Nya”.(An-Nisa:136). Masih banyak lagi ayat Al-Qur’an yang semakna dengan ayat-ayat diatas ini.
Jadi, sekali pun yang terpokok adalah iman kepada Allah swt, namun iman kepada Rasul-Nya sama sekali tidak boleh dipisahkan dari iman kepada Allah. Atas dasar ayat-ayat Allah dan hadits-hadits Rasulallah saw. itu menurut pengertian yang benar harus menjaga kehormatan dan memelihara hak-hak semua ahlulbait dan keturunan Rasulallah saw. sebagai mana yang beliau saw. wasiatkan dalam hadits Tsaqalain dan lain-lainnya. Itu merupakan kewajiban ummat Islam dalam rangka melaksanakan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya !!
Insya Allah buat pembaca sudah jelas dengan adanya firman Allah swt., hadits-hadits dan wejangan para ulama-ulama pakar tadi yang membuktikan dan mengakui bahwa keturunan Nabi saw. itu masih tetap ada sampai akhir zaman. Riwayat-riwayat tersebut diatas diperkuat oleh perawi-perawi yang bisa dipercaya. Dengan demikian cukuplah jelas bagi kita bahwa Itratur-Rasul (keturunan Rasulallah saw.) akan senantiasa berada ditengah ummat manusia sepanjang masa selama Allah swt. menghendakinya hingga hari kiamat kelak. Juga dengan berdasarkan hadits-hadits tesebut diatas dan hadits berikut ini  “Kutinggalkan kepada kalian dua peninggalan: Kitabullah sebagai tali yang terbentang antara langit dan bumi, dan keturunanku ahlulbaitku. Sesungguhnya kedua-duanya itu tidak akan berpisah hingga kembali kepadaku di Haudh” menunjukkan dan menerangkan dengan jelas adanya kaitan antara Kitabullah Al-Qur’anul-Karim dengan keturunan dan ahlu-bait beliau saw.. Pertama, adalah kaitan kelestarian bersama antara yang satu dengan yang lain yakni antara Kitabullah dan ‘ithrah (keturunan, ahlu-bait) Rasulallah saw. Kedua, kaitan antara Kitabullah dan keturunan beliau saw. yang kedua-duanya akan kembali (pertanggungjawabannya) kepada Rasulallah saw. di akhirat kelak. Kaitan ini begitu erat sehingga beliau saw. menyatakan ‘ tidak akan berpisah’ hingga saat kedua-duanya kembali kepada beliau di surga yakni hingga hari kiamat kelak.
Dengan perkataan lain adalah: “Selama Al-Qur’an masih terdapat di muka bumi (tertulis maupun terhafal) selama itu pula ‘ithrah (keturunan) Rasulallah saw. akan tetap ada di dunia, dan sebaliknya: Selama masih terdapat keturunan Rasulallah saw. dimuka bumi ini, Kitabullah Al-Qur’an akan tetap ada di dunia” ! (Silahkan baca kembali hadits-hadits Tsaqalain, Safinah dan lainnya serta uraian ulama pakar pada halaman sebelumnya)
Akan sia-sialah golongan pengingkar atau penuduh yang mengatakan bahwa keturunan Nabi saw. sudah punah/putus dan belum konkrit, omongan mereka ini sama sekali tidak didasari oleh dalilwalaupun hanya satu dalil tidak lain hanya berdasarkan kedengkian dan kehasutan terhadap keturunan yang mulia tersebut yang dikaruniakan oleh Allah swt. Saya berlindung pada Allah swt. atas kebohongan golongan pengingkar ini. Wallahu a’lam.
Sebagian besar isinya bab ini, kami kutip dan kumpulkan dari kitab-kitab: Pembahasan Tuntas Perihal Khilafiyah oleh Almarhum H.M.H Al-Hamid Al-Husaini dan Keutamaan Keluarga Rasulallah saw. oleh K.H.Abdullah bin Nuh) dan kitab lainnya.
Semoga kita semua diberi hidayah oleh Allah swt. dan bisa menjalani perintah-Nya dan Sunnah Rasul-Nya. Amin

Tidak ada komentar: