Minggu, 05 April 2009

Dzikir Mengingat Allah swt

Dzikir, Mengingat Allah
Maulana Syaikh Muhammad Hisham Kabbani
dalam Encyclopedia of Islamic Doctrine volume 2

Bismillahir rahmaanir rahiim, Allahumma shalli ‘alaa Muhammadin
wa ‘alaa aali Muhammadin wa sallim

Dzikir, Mengingat Allah : Kewajiban Terbesar dan Perintah Ilahi yang Terus-Menerus

Dzikir adalah tindakan seorang hamba yang paling sempurna, dan ditekankan ratusan kali di dalam al-Qur’an. Itu merupakan praktek penyembahan untuk mendapatkan ridha Allah , senjata yang paling ampuh untuk mengatasi musuh, dan perbuatan yang patut mendapat ganjaran. Dzikir merupakan bendera Islam, penyemir hati, inti dari ilmu tentang Iman, imunisasi terhadap kemunafikan, ibadah terpenting, dan kunci dari segala kesuksesan.

Tidak ada batasan yang menyangkut metode, frekuensi atau waktu untuk berdzikir atau apa pun mengenainya. Beberapa batasan dalam metode berdzikir menyinggung kewajiban khusus tertentu yang tidak dibicarakan di sini, misalnya dalam shalat yang telah ditentukan. Syari’ah sangat jelas dan setiap orang telah mengetahui kewajiban ini. Rasulullah bersabda bahwa penghuni Surga hanya akan menyesali satu hal, tidak cukup mengingat Allah di dunia ini!

Allah berfirman dalam al-Qur’an, “Wahai orang-orang yang beriman, perbanyaklah dzikir!” (33:41). Dia berfirman bahwa hamba-Nya adalah, “Mereka yang mengingat Tuhannya dalam keadaan berdiri, duduk dan berbaring,” (3:191); dengan kata lain, mereka yang mengingat Allah setiap saat baik siang maupun malam. Allah berfirman," Penciptaan langit dan bumi dan pergantian malam dan siang adalah tanda-tanda bagi orang yang mengerti, mereka yang mengingat (dan mengucapkan dan menyebut) Allah dalam keadaan berdiri, duduk, dan berbaring "(3:190-191)

Aisyah berkata, sebagaimana yang diceritakan oleh Muslim, bahwa Rasulullah mengingat Allah setiap saat baik siang dan malam. Rasulullah bersabda, “Jika hati kalian selalu dalam keadaan mengingat Allah , para malaikat akan mendatangi kalian sampai ke titik di mana mereka akan memberi salam kepada kalian di tengah perjalannya.” (riwayat Muslim). Imam Nawawi mengomentari hadits ini dengan mengatakan, “Panorama semacam ini akan terlihat pada orang yang terus-menerus melakukan meditasi (muraqaba), refleksi (fikr), dan antisipasi (iqbal) terhadap alam berikutnya.” (Nawawi, Syarh sahih Muslim)

Muadz bin Jabal berkata bahwa Rasulullah juga bersabda, “Para penghuni surga tidak akan menyesal kecuali satu hal, waktu yang telah dilewati mereka tanpa mengingat Allah .” (diriwayatkan oleh Bayhaqi dalam Syuab al-iman (1:392 #512-513) dan oleh Tabarani. Haythami dalam Majma al-zawaid (110:74) berkata bahwa semua naratornya dapat dipercaya (thiqat), sementara Sayuti dalam Jami al-saghir (#7701) menyatakan bahwa hadits itu hasan).
Allah menempatkan dzikir mempunyai nilai yang lebih dari pada shalat dengan menjadikan shalat sebagai cara atau alat dan dzikir sebagai sasarannya. Dia berfirman, Perhatikan lah! Shalat itu mencegah perbuatan keji dan munkar, tetapi sesungguhnya, mengingat Allah lebih besar manfaatnya, dan lebih penting "(29:45)

Beruntunglah orang yang mensucikan dirinya, dan mengingat nama Tuhannya, dan mengerjakan shalat (87:14-15). Maka dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku (20:14). Qadi Abu Bakar bin al-Arabi menerangkan bahwa tidak ada amal yang sah tanpa mengingat Allah (dzikir). Siapa pun yang tidak mengingat Allah dalam hatinya ketika memberi sadaqa atau berpuasa, contohnya, berarti amalnya tidak lengkap. Oleh sebab itu mengingat Allah bisa dipandang sebagai amal yang paling baik (dinyatakan oleh Ibnu Hajar dalam Fath al-bari (1989 ed. 11:251)).

Dzikir adalah sesuatu yang sangat penting. Abu Hurayra berkata bahwa Rasulullah bersabda, “Bumi dan segala isinya dikutuk kecuali mereka yang melakukan dzikir, guru-guru dan semua muridnya.” (Tirmidzi menyatakan hadits ini hasan, begitu pula Ibnu Majah, Bayhaqi dan lainnya. Suyuti menyebutkannya dalam al-Jami al-saghir dari pernyataan al-Bazzar yang serupa dengan narasi Ibnu Masud dan beliau mengatakan sahih. Tabarani juga menyatakannya dalam al-Awsat dari Abu al-Darda). Dengan menyebut kata “bumi dan segala isinya,” Rasulullah merujuk pada semua yang menyatakan status atau eksistensinya terpisah dengan Allah , bukannya menyatu dengan-Nya. Kenyataannya seluruh makhluk berdzikir kepada Allah , karena Allah berfirman bahwa semua ciptaan-Nya bertasbih kepada-Nya, dan tasbih adalah salah satu jenis dzikir. Allah berfirman mengenai Nabi Yunus , ketika seekor paus menelannya, “Jika dia bukan termasuk orang-orang yang bertasbih kepada-Ku (musabbihin), dia akan tinggal dalam perut paus itu hingga Hari Pembalasan (37:143-144).

Hadits Rasulullah yang baru saja disebutkan juga menekankan pentingnya mengikuti seorang guru yang mempunyai pengetahuan, karena tidak ada yang bisa mencegah datangnya kutukan selain berkah. Inilah yang dimaksud oleh Abu Yazid al-Bistami ketika beliau berkata, Siapa pun yang tidak memiliki syaikh, syaikhnya adalah setan.” Hal ini diperkuat dengan dua hadits Rasulullah .

Abu Bakrah berkata, “Aku mendengar Rasulullah bersabda, ‘Jadilah orang yang terpelajar (alim) atau murid (mutaallim), atau pendengar (mustami) atau seorang amatir (muhibb), tetapi jangan menjadi orang kelima karena kalian akan binasa. (al-Haythami berkata dalam Majma al-zawaid (1:22), “Tabarani menyatakan dalam al-Mujam al-saghir (2:9), al-Mujam al-awsat, dan al-Mujam al-kabir, juga al-Bazzar [dalam Musnad-nya], dan semua naratornya dianggap dapat dipercaya.” Hal itu juga dinyatakan oleh Abu Nuaym dalam Hilyat al-awliya (7:237) dan al-Khatib dalam Tarikh baghdad (12:295)).

Sakhawi berkata, “Ibnu Abd al-Barr berkata, ‘orang kelima adalah orang yang memperlihatkan permusuhan kepada para ulama dan meremehkan mereka, dan siapa pun yang tidak mencintai mereka menunjukkan penghinaan kepada mereka atau dalam tahap ingin menghina mereka, dan di sana terletak kehancuran.’ (Sakhawi, al-Maqasid al-hasana (hal.88#134). Lihat buku Ibnu Abd al-Barr yang berjudul Jami bayan al-ilm wa fadlih (1:30)). Rasulullah bersabda, “Al-baraqa ma akabirikum,’ ‘Berkah bersama yang lebih tua’ (riwayat Ibnu Hibban dalam sahih-nya, al-Hakim yang menyatakan bahwa hadits itu sahih, dan Ibnu Daqiq al-Id juga memperkuatnya).

Riwayat lain menyatakan, “Ketika yang muda mengajar yang tua, maka berkah telah dicabut.” (Lihat buku Sakhawi, al-Maqasid al-hasana hal. 155-159#290). Orang yang melaksanakan dzikir memiliki peringkat tertinggi di hadapan Allah . Orang-orang yang menyebut nama Allah dengan konsentrasi telah disebutkan dalam al-Qur’an. Efek terhadap hatinya juga telah dijelaskan dalam al-Qur’an," Di dalam rumah yang Allah telah izinkan supaya dimuliakan dan untuk mengingat Nama-Nya di rumah itu, Dia dipujikan siang dan malam oleh orang orang-orang yang perniagaan dan jual-beli tidak dapat mengalihkan perhatiannya dari mengingat nama-Nya (24:36-37).

Mereka yang beriman dan hati mereka tentram karena mengingat Allah: ingatlah sesungguhnya dengan mengingat Allah hati menjadi tentram (13:28). Selama peristiwa isra dan miraj Rasulullah diangkat hingga ke titik di mana beliau mendengar guratan Pena, yang menunjukkan tulisan Takdir Ilahi. Beliau melihat seseorang yang lenyap ke dalam cahaya Singgasana Allah . Rasulullah bertanya, “Siapa ini? Apakah ini seorang malaikat? Dia berkata kepadanya, “Bukan!” Rasulullah bertanya lagi, “Apakah ini Nabi?” Jawaban yang didapat juga “Bukan!” Kalau begitu siapa dia?” Jawabannya adalah, “Ini adalah orang yang lidahnya basah dengan mengingat Allah di dunia, hatinya terikat kepada masjid, dan dia tidak pernah mencela Ayah dan Ibunya.” (Syaikh Muhammad Alawi al-Maliki menyatakannya dalam kumpulan teksnya yang berjudul al-Anwar al-bahiyya min isra wa miraj khayr al-bariyya, yang berisi narasi lisan mengenai topik tersebut.)

Dalam hadits lain dilaporkan," Seorang pria mendatangi Rasulullah dan berkata, “Wahai Rasulullah , hukum dan persyaratan dalam Islam terlalu banyak buatku. Katakanlah sesuatu yang dapat aku jaga selalu (yakni, khususnya sebagai ganti dari banyaknya aturan dan persyaratan yang harus dilaksanakan secara umum).” [Dengan membaca hal itu pria tersebut berkata bahwa terlalu banyak persyaratan yang harus dipenuhi, orang harus mengerti bahwa dia tidak yakin kalau dia dapat menjaga semuanya. Dia menginginkan sesuatu yang dia yakin dapat dijaganya.] Rasulullah bersabda, “(Aku menasihatimu untuk melakukan satu hal) Jagalah lidahmu agar selalu basah dengan dzikir kepada Allah .“ (Ahmad, Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ibnu Hibban menyatakan bahwa hadits ini baik (hasan)). Dalam Islam telah dikenal bahwa pekerjaan terbaik di jalan Allah adalah berjihad. Tetapi Rasulullah tetap menempatkan dzikir di atas jihad dalam hadits yang autentik berikut ini.

Abu al-Darda meriwayatkan," “Suatu ketika Rasulullah bertanya kepada sahabatnya, Sudahkah Aku terangkan kepada kalian tentang amal yang paling baik, pekerjaan terbaik di mata Tuhanmu, yang akan mengangkat status kalian di Hari Kemudian, dan membawa lebih banyak kebajikan daripada membelanjakan emas dan perak sebagai pelayanan kepada Allah atau ikut serta dalam jihad dan membunuh atau terbunuh di jalan Allah ? Ia adalah Dzikir kepada Allah .’” (diriwayatkan oleh Malik dalam Muwatta, juga Musnad-nya Ahmad, Sunan-nya Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Mustadrak-nya Hakim, al-Bayhaqi. Hakim dan yang lain menyatakan hadits itu sahih).

Abu Said berkata, “Rasulullah ditanya, ‘Siapakah hamba Allah yang mempunyai peringkat terbaik di hadapan-Nya pada Hari Kebangkitan?’ Beliau menjawab, ‘Orang yang paling banyak mengingat Allah .’ Aku berkata, ‘Wahai Rasulullah , bagaimana dengan seseorang yang berperang di jalan Allah ?’ Beliau menjawab, ‘Bahkan jika dia menghajar orang-orang kafir dan musyrikin dengan pedangnya hingga patah, dan menjadi merah dengan darah mereka, sesungguhnya mereka yang berdzikir lebih baik peringkatnya.’” (diriwayatkan oleh Ahmad, Tirmidzi dan Bayhaqi).

Abd Allah bin Umar berkata bahwa Rasulullah sering berkata, “Segala sesuatu mempunyai semir/pengkilap, dan semir untuk hati adalah dzikir kepada Allah . Tak ada yang lebih diperhitungkan untuk menyelamatkan diri dari azab Allah selain dzikir kepada Allah . Beliau pernah ditanya apakah ini juga tidak diterapkan untuk jihad di jalan Allah , dan beliau menjawab, “Bahkan tidak untuk seseorang yang harus menghujani pedangnya hingga patah.” (Bayhaqi meriwayatkannya dalam Kitab al-daawat al-kabir begitu juga dalam Shuab al-iman (1:396#522), juga al-Mundhiri dalam al-Targhib (2:396) dan Tabrizi menyebutkannya dalam Mishkat al-masabih, pada bagian terakhir buku do’a).

Arti Mengingat Allah (Dzikir)

Kata dzikir mempunyai banyak arti. Kata itu bisa merujuk kepada Kitab Allah dan pembacaannya, shalat, belajar, dan mengajar. Penulis Fiqh al-sunna berkata dalam bab mengenai dzikir bahwa Said bin Jubayr berkata, “Seseorang yang patuh kepada Allah pada kenyataannya juga sedang mengingat Allah (dzikir). “ Beberapa ulama dari periode awal mengaitkannya dengan suatu bentuk (ibadah) yang lebih spesifik. Ata berkata bahwa, Majelis dzikir adalah perkumpulan di mana di dalamnya dibicarakan hal-hal yang baik dan yang terlarang, sebagai contoh: jual-beli, shalat, puasa, pernikahan, perceraian, dan haji.” Qurtubi berkata, “Majelis dzikir adalah suatu perkumpulan untuk ilmu pengetahuan dan nasihat di mana firman Allah , sunnah Rasulullah , nasihat para pendahulu yang shaleh, dan ucapan para ulama yang baik, dipelajari dan dipraktekkan tanpa ada penambahan atau inovasi (bid’ah), serta tanpa motif terselubung dan keserakahan.”

Berdo’a kepada Allah dapat dilakukan dengan lidah, mengikuti salah satu formula yang diajarkan oleh Rasulullah , atau suatu formula yang lain, atau mengingat Allah dalam hati, atau kedua-duanya, melalui hati dan lidah.

Tulisan berikut berhubungan dengan dua arti yang terakhir: bahwa menyebutkan nama Allah , sebagaimana yang diterangkan dalam ayat, “Orang-orang yang beriman adalah mereka yang ketika disebut nama Allah, hati mereka bergetar“ (8:2); dan sabda Rasulullah , “Dzikir terbaik adalah la ilaha illallah.” (dari Jubayr kepada Tirmidzi dan Ibnu Majah). Rasulullah tidak berkata, “Dzikir terbaik adalah dengan memberi ceramah,” atau “memberi nasihat,” atau “mengumpulkan dana.” Berikutnya yang menerangkan tentang dzikir yang dilakukan dalam hati, sebagaimana ditegaskan dengan ayat, “Laki-laki dan wanita yang mengingat Allah dalam jumlah yang banyak” (33:35). Rasulullah memuji dan menerangkan ayat itu dengan ucapan, “yang berhati tunggal adalah yang paling utama” (Riwayat Muslim). Ketika beliau ditanya, “Ya, Rasulullah , siapakah yang dimaksud dengan yang berhati tunggal?” Beliau menjawab, “Laki-laki dan perempuan yang mengingat Allah dalam jumlah yang banyak.” Lebih lanjut Rasulullah mengklarifikasi peranan hati dalam mengingat Allah ketika beliau berkata kepada Abu Hurayra,

“Pergilah dengan kedua sandalku ini dan siapa pun yang kau temui di balik dinding ini yang menyaksikan bahwa tiada Tuhan selain Allah dengan keyakinan dalam hatinya, berikanlah kabar gembira bahwa dia akan masuk surga.” (hadits riwayat Muslim). Dzikir kadang-kadang bisa berarti mengingat secara internal dan menyebutkan secara eksternal, sebagaimana yang dijelaskan dalam ayat, “Ingatlah Aku, maka Aku akan mengingatmu” (2:152), ketika diterangkan dengan jelas dalam hadits qudsi: Mereka yang mengingat-Ku dalam hatinya, Aku mengingatnya dalam hati-Ku, dan mereka yang mengingat-Ku dalam suatu majelis (yang berdzikir menyebut nama-Ku), Aku mengingat mereka (dengan menyebutkan mereka) dalam suatu majelis yang lebih baik dari majelis mereka.

Hadits yang sangat penting ini akan dijelaskan lebih jauh di bawah ini. Cukuplah dikatakan bahwa secara umum ada 3 tipe dzikir, yaitu: yang dilakukan dalam hati, yang diucapkan dengan lidah, dan melakukan keduanya secara bersama-sama. Ibnu Hajar menerangkan bahwa, menurut cerita Abu al-Darda mengenai kelebihan dzikir atas jihad, yang dimaksud dzikir di sini adalah dzikir yang disertai dengan kesadaran akan kebesaran Allah sehingga misalnya, seseorang dapat menjadi lebih baik, daripada mereka yang memerangi orang kafir tanpa ingatan semacam itu.

Dalam hadits lain yang diceritakan oleh Bukhari, Rasulullah bersabda bahwa mereka yang melakukan dzikir hidup, sedangkan yang tidak melakukannya bagaikan mayat. Beliau berkata, matsalu al-ladzi yadzkuru rabbahu wa al-ladzi la yadzkuru rabbahu matsalu al-hayyi wa al-mayyit. (Kitab daawat bab 66 tentang, “Keutamaan dzikir Allah”). Ibnu Hajar mengomentari," Yang dimaksud dengan dzikir di sini adalah ucapan atas ekspresi yang telah dianjurkan bagi kita, dan diucapkan dengan jumlah yang melimpah, seperti halnya amal shaleh yang abadi—al-baqiyat al-salihat—mereka adalah: subhan Allah, al-hamdu lillah, la ilaha illallah, allahu akbar dan semua yang berhubungan dengannya, seperti: hawqalah (la hawla wa la quwwata illa billah), basmalah (bis-millah al-rahman al-rahim), hasbalah (hasbunal-lahu wa nima al-wakil), istighfar, dan lainnya seperti do’a memohon kebahagiaan di dunia dan di akhirat.

Dzikir Allah juga diterapkan sebagai ketekunan dalam menjalankan kewajiban atau segala tindakan beribadah, seperti membaca al-Qur’an, membaca hadits, mempelajari ilmu-ilmu Islam (al-ilm), dan shalat-shalat sunnah. Dzikir dapat dilakukan dengan lidah, di mana orang yang membacanya akan mendapat pahala. Tidak perlu baginya untuk mengerti dan menghayati artinya dalam syarat dia tidak mempunyai maksud lain dengan mengucapkannya, dan jika, sebagai tambahan terhadap pengucapannya itu, juga dilakukan dzikir dalam hati, maka dzikirnya menjadi lebih lengkap, dan jika ditambah dengan penghayatan terhadap makna yang terkandung di dalamnya, dzikirnya menjadi lebih lengkap lagi, dan jika semua ini dilakukan dalam rangkaian ibadah, baik dalam shalat, jihad atau yang lain, akan lebih lengkap lagi dan jika seseorang menyempurnakan perhatiannya kepada Allah dan memurnikan ketulusannya kepada-Nya, maka itu adalah kesempurnaan terjauh.

Fakhr al-Din al-Razi berkata bahwa apa yang dimaksud dengan dzikir dengan lidah adalah ekspresi terhadap tindakan penyembahan (tasbih), pujian (tahmid), dan memuliakan (tamjid). Sementara dzikir dalam hati terdiri atas refleksi terhadap bukti dan tulisan yang menunjukkan inti sari Allah dan atribut-Nya, pada kewajiban yang di dalamnya termasuk hal-hal yang diperbolehkan dan dilarang sehingga seseorang dapat menguji aturan yang berkaitan dengannya dan pada rahasia ciptaan Allah . Sedangkan dzikir anggota badan mencakup pada tindakan kepatuhan yang dilakukannya, itulah sebabnya Allah menyebut shalat dengan “dzikir” ketika Dia berfirman, “Ketika panggilan (adzan) untuk melaksanakan shalat Jumat telah dikumandangkan, segeralah kalian mengingat Allah” (62:9). Dilaporkan juga oleh beberapa orang yang mempunyai pengetahuan tentang Allah , bahwa dzikir mempunyai 7 aspek:

Dzikir mata yang mencakup tangisan (buka),
Dzikir telinga yang mencakup pendengaran (isgha),
Dzikir lidah yang mencakup pemujian (tsana),
Dzikir tangan yang mencakup pemberian (ata),
Dzikir tubuh yang mencakup loyalitas (wafa),
Dzikir hati yang mencakup ketakutan dan harapan (khawf wa raja),
Dzikir roh yang mencakup ungkapan pasrah dan penyerahan diri (talim wa ridha)
(Ibnu Hajar dalam Fath al-Bari (1989 ed. 11:250)).

Kekerasan (suara) dalam Mengingat Allah (Dzikir)

Rasulullah memuji orang yang awwah (arti harfiahnya, orang yang berkata, ah, ah!); yaitu keras dalam dzikirnya walaupun yang lain mencemoohkannya. Ahmad menceritakan dengan mata rantai yang baik dari Uqba bin Amir, “Rasulullah berkata tentang seorang pria yang bernama Dzu al-Bijadayn, “innahu awwah (dia adalah orang yang banyak mengucapkan ah, ah!). hal ini disebabkan karena dia adalah orang yang sangat banyak berdzikir kepada Allah dengan membaca al-Qur’an, dan dia akan meninggikan suaranya ketika berdo’a.” (Ahmad dalam Musnad 4:159)

Allah berfirman kepada Nabi Ibrahim , ”Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang yang awwah dan halim” (9:114, 11:75); menurut Tafsir al-jalalayn, “menangis dan sangat menderita karena takut kepada Tuhannya.” (halim=penuh kasih sayang dan lemah lembut). Rasulullah berdo’a untuk menjadi awwah dalam do’a berikut, “rabbi ijalni ilayka awwahan (Ya Allah , jadikanlah aku orang yang menangis ah kepada-Mu.” Hadits ini diceritakan oleh Tirmidzi (Tirmidzi, kitab daawat #102, hasan sahih), Ibnu Majah (Ibnu Majah, Du’a #2), dan Ahmad (Ahmad, Musnad 1:227) dengan mata rantai yang kuat sebagai berikut: (Yahya bin Said< Abd Allah bin al-Harits

Rasulullah biasa berdo’a dengan do’a ini, “Ya Tuhanku! Tolonglah aku dan jangan membuatku menghadapi kesulitan, berikanlah aku kemenangan dan jangan memberikan kemenangan kepada orang terhadapku, buatlah rencana untukku dan bukan untuk melawanku, bimbinglah aku dan berikanlah kemudahan untuk membimbingku, sanggupkanlah aku dalam menghadapi orang yang menentangku. Ya Tuhanku! Jadikanlah aku orang yang sangat bersyukur kepada-Mu (syakkaran laka), banyak mengingat-Mu (dzakaran laka), banyak berdo’a kepada-Mu (rahhaban laka), patuh dengan sempurna kepada-Mu (mitwaan ilayka), rendah hati kepada-Mu (mukhbitan laka), selalu menangis dan kembali kepada-Mu (awwahan muniban)!…”

Majelis dalam Mengingat Allah (Dzikir) dengan Suara Keras dan secara Kolektif

Kutipan hadits qudsi berikut, dimulai dengan ,”Mereka yang mengingat-Ku dalam suatu majelis,” mengadakan perkumpulan untuk berdzikir keras secara kolektif sebagai pintu gerbang untuk mendapatkan janji Allah ‘Ingatlah Aku, maka Aku akan mengingatmu’ Tidak heran bila perkumpulan semacam itu mendapat pujian yang tertinggi dan berkah dari Allah dan Rasulullah sebagaimana dinyatakan dalam banyak hadits yang autentik.

Menurut Bukhari dan Muslim: “Rasulullah bersabda bahwa Allah mempunyai malaikat yang berkelana untuk menemukan orang-orang yang berdzikir [dan dalam versi yang lain dari Imam Muslim, majalis, ‘perkumpulan’ dzikir]. Ketika mereka menemukan sekelompok orang (qawm) yang berdzikir dengan keras [dalam Imam Muslim yang lain dikatakan bahwa mereka duduk bersama mereka], mereka memanggil satu sama lain dan menempatkan diri mereka dalam sebuah lapisan sampai ke surga yang pertama. (Ini untuk menyatakan para malaikat dalam jumlah yang tidak terbatas akan berada di atas mereka. Dia tidak mengatakan, “Ketika mereka menemukan satu orang.” Oleh sebab itu untuk mendapatkan ganjaran semacam ini harus dilakukan dalam suatu kelompok.)

Allah bertanya kepada para malaikatnya dan Dia telah mengetahuinya, (Dia bertanya untuk menekankan apa yang dikerjakan oleh hamba-Nya dan untuk memfasilitasi pemahaman kita), “Apa yang dikatakan oleh hamba-hamba-Ku?” (Dia tidak berkata, “hamba,” tetapi ibadi, “hamba-hamba” dalam bentuk jamak). Para malaikat berkata, “Mereka memuji-Mu (tasbih) dan mengagungkan Nama-Mu (takbir), dan memberi-Mu Atribut terbaik (tamjid). Allah bertanya, “Apakah mereka pernah melihat-Ku?” Para malaikat berkata, “Wahai Tuhanku! Mereka tidak melihat-Mu.” Dia bertanya lagi, “Bagaimana jika mereka melihat-Ku?” Malaikat menjawab, “Wahai Tuhanku, jika mereka melihat-Mu mereka akan lebih sungguh-sungguh lagi dalam beribadah, tamjid dan tasbih. Dia bertanya, “Apa yang mereka minta?” Para malaikat menjawab, “Mereka memohon surga-Mu!” Dia bertanya, “Apakah mereka sudah melihat surga?” Mereka berkata, “Wahai Tuhan kami, tidak, mereka belum melihatnya.” Dia berkata, “Dan bagaimana keadaan mereka bila mereka melihatnya?” Mereka berkata, “Jika mereka melihat surga, mereka akan lebih terikat dan tertarik kepadanya!”

Dia bertanya, “Apa yang mereka takutkan dan lari darinya? (Ketika seseorang mengatakan, Ya Ghaffar (Wahai Yang Maha Pengampun), Ya Sattar (Wahai Yang Maha Menyembunyikan)”, itu berarti seseorang takut kepada-Nya karena dosa-dosanya. Orang itu memohon kepada-Nya untuk menyembunyikan kesalahannya dan memohon ampunan-Nya.) Mereka berkata, “Mereka takut dan melarikan diri dari api neraka.” Dia berkata, “Dan apakah mereka telah melihat api neraka?” Mereka berkata, “Wahai Tuhan kami, tidak, mereka belum melihat api neraka.” Dia bertanya, “Bagaimana jika mereka melihat api neraka?” Mereka berkata, “Jika mereka melihat api-Mu mereka akan melarikan diri sejauh-jauhnya, dan bahkan akan lebih takut lagi.” Dan Allah berkata, “Aku menjadikanmu sebagai saksi (Allah tidak membutuhkan saksi karena Dia mengatakan, “Cukup Allah saja sebagai saksi” (4:79, 4:166, 10:29, 13:43, 29:52). “Menjadikanmu sebagai saksi” di sini maksudnya “menjamin kalian”) bahwa Aku telah mengampuni mereka.” (Allah telah mengampuni mereka karena, sebagaimana pada awal hadits dinyatakan bahwa mereka adalah sekelompok orang yang mengucapkan Nama-nama Allah dan mengingat-Nya melalui dzikir). Salah satu malaikat berkata, “Wahai Tuhanku, seseorang berada di sana yang tidak tergabung dalam majelis itu, tetapi datang atas maksud yang lain.” (Orang itu datang dengan niat bukan untuk berdzikir, untuk meminta sesuatu kepada seseorang). Allah berkata, “Majelis ini adalah sedemikian rupa sehingga orang yang duduk bersama mereka diampuni dosa-dosanya.”

Almarhum Imam Ahmad Mashhur al-Hadad (meninggal pada 1416/1995) berkata dalam bukunya Miftah al-janna: “Hadits ini menunjukkan keutamaan yang terdapat dalam majelis dzikir, dan pada setiap orang yang hadir melakukannya dengan keras dan serempak, karena frase-frase, “Mereka memohon kepada-Mu” dalam bentuk jamak, dan “Mereka adalah orang-orang yang duduk,” mempunyai arti bahwa mereka yang berkumpul untuk mengingat Allah dan mengerjakannya secara serempak, sesuatu yang hanya bisa dilakukan dengan keras, karena seseorang yang berdzikir pelan, dalam hati tidak perlu mencari suatu pertemuan dengan orang lain.”

Lebih jauh hal ini ditunjukkan oleh hadits qudsi yang berbunyi, “Allah berfirman, Aku seperti yang diharapkan oleh hamba-Ku, Aku bersamanya ketika dia mengingat-Ku. Jika dia mengingat-Ku dalam hatinya, Aku mengingatnya dalam diri-Ku, dan jika dia mengingat-Ku dalam kelompok, Aku menyebutkan namanya dalam suatu pertemuan yang lebih baik darinya…”(Bukhari dan Muslim). Jadi, dzikir dalam hati dibedakan dengan dzikir keras melalui firman-Nya, “mengingat-Ku dalam dirinya,” yang berarti, “dalam hati (diam),” dan “dalam suatu kelompok,” yang berarti “keras”.

Dzikir dalam suatu majelis hanya bisa dilakukan dengan keras dan serempak. Sehingga hadits di atas mengandung bukti bahwa dzikir yang dilakukan dengan keras dalam suatu majelis merupakan sejenis dzikir yang dimuliakan yang disebutkan dalam majelis tertinggi (al-mala al-ala) oleh Tuhan kita Yang Maha Mulia dan para malaikat yang berada di dekat-Nya, “yang terus mengagungkan-Nya siang dan malam, dan tidak pernah merasa lelah” (21:20).

Daya tarik merupakan bukti yang jelas antara mereka yang melakukan dzikir di dunia abadi, yang telah diciptakan dengan kepatuhan yang telah melekat dalam dirinya dan mengingat Allah menjadi sifatnya dan dinamakan malaikat dengan mereka yang melakukan dzikir di dunia yang padat, yang sifatnya dipenuhi dengan kelemahan dan gangguan dan dinamakan manusia. Ganjaran bagi manusia dalam melakukan dzikir adalah mereka akan diangkat ke peringkat yang serupa dengan Majelis Tertinggi, yang kemuliaan dan kenikmatannya cukup bagi setiap orang. (Imam Ahmad Mashhur al-Hadad, Miftah al-janna, terj. Mustafa Badawi, Key to the Garden, Quilliam Press hal.107-108)

Allah memberikan perbedaan yang nyata bagi mereka yang mengingat-Nya.

Abu Hurayra berkata,“Dalam perjalanan ke Makkah, Rasulullah melewati puncak sebuah gunung yang dinamakan Jumdan (=membeku di tempatnya), pada saat itu beliau berkata, ‘Bergeraklah (siru)! Ini adalah Gunung Jumdan, dan orang yang berpikiran tunggal (al-mufarridun) adalah yang paling utama.’ Mereka bertanya, ‘Siapa yang berpikiran tunggal, wahai Rasulullah ?’ Beliau berkata, ‘Pria dan wanita yang mengingat Allah tanpa henti (al-dzakirun allah katsiran wa al-dzakirat).” (diriwayatkan oleh Tirmidzi dan Muslim, dalam sahih-nya, pada permulaan buku Dzikir).

Gunung itu menyusul orang-orang sebab gunung itu juga berdzikir. Ibnu Qayyim al-Jawziyya menerangkan bahwa istilah mufarridun mempunyai dua arti, yaitu: muwahhidun, orang-orang yang terikat dalam tauhid yang mendeklarasikan Ke-Esaan Allah sebagai satu kelompok (tidak perlu sendiri), atau mereka yang beliau sebut ahad furada, orang yang sama namun sebagai individu yang duduk sendiri (Ibnu Qayyim al-Jawziyya, Madarij al-salikin). Dari contoh ini terbukti bahwa dalam keterangan Ibnu Qayyim al-Jawziyya, duduk dalam dzikir bisa dilakukan sendiri atau dalam kelompok. Dalam keterangan lain mengenai mufarridun, Ibnu Qayyim al-Jawziyya merujuk istilah tersebut kepada “mereka yang hatinya bergetar ketika mengucapkan dzikir Allah , merasuk ke dalamnya secar terus-menerus, tidak mempedulikan apa yang orang katakan atau lakukan terhadap mereka.” Hal ini karena Rasulullah bersabda, udzkur Allaha hatta yaqulu majnun “Mengingat dan menyebut Allah sebanyak yang kalian inginkan, sampai orang berkata bahwa kalian gila dan bodoh.” (Diriwayatkan oleh Ahmad dalam Musnad-nya, Ibnu Hibban dalam Sahih-nya, dan al-Hakim yang menyatakan bahwa hadits itu sahih).

Mufarridun adalah orang-orang yang sungguh hidup. Abu Musa melaporkan, “Perbedaan orang-orang yang mengingat Tuhannya dengan orang yang tidak mengingat-Nya adalah bagaikan orang yang hidup dengan orang mati.” (Bukhari). Ibnu Umar melaporkan bahwa Rasulullah bersabda, “Ketika kalian melintasi kebun-kebun di Surga, ambillah manfaat darinya.” Para sahabat bertanya, “Apa yang dimaksud dengan kebun-kebun di Surga itu, Ya Rasulullah ?” Beliau menjawab, “Lingkaran dzikir. Para malaikat Allah berkelana mencari lingkaran dzikir, dan ketika mereka menemukannya, mereka akan mengelilinginya dengan rapat.” (Tirmidzi dan Ahmad menyatakan hadits ini hasan gharib).

Abu Said al-Khudri dan Abu Hurayra melaporkan bahwa Rasulullah bersabda, “Ketika sekelompok orang mengingat Allah , malaikat mengelilingi mereka dan rahmat menyelimuti mereka, ketentraman turun kepada mereka, dan Allah menyebutkan mereka mereka kepada mereka yang bersama-Nya.” (Diriwayatkan oleh Muslim, Tirmidzi, Ahmad, Ibnu Majah dan Bayhaqi).

Muslim, Ahmad, dan Tirmidzi meriwayatkan dari Muawiya bahwa, “Rasulullah pergi menuju lingkaran para sahabatnya dan bertanya, ‘Apa yang membuat kalian duduk di sini?’ Mereka menjawab, ‘Kami duduk di sini untuk mengingat dan menyebut Nama Allah (nadzkurullaha) dan untuk mengagungkan Dia (wa nahmaduhu) sebab Dia membimbing kita kepada jejak Islam dan Dia menganugerahkan nikmat kepada kita.’ Dengan segera beliau mendesak mereka demi Allah dan bertanya lagi apakah hanya itu alasan mereka duduk di sana. Mereka berkata, ‘Demi Allah , kami duduk di sini hanya untuk itu.’ Saat itu Rasulullah berkata, ‘Aku tidak meminta kalian untuk bersumpah karena ada kegelisahan di antara kalian, tetapi hanya karena Jibril datang kepadaku dan memberitahuku bahwa Allah mengatakan kepada malaikat bahwa Dia bangga kepada kalian!’”

Perhatikan bahwa dalam hadits di atas dinyatakan dengan kata jalasna, atau “kami duduk,” dalam bentuk jamak, bukan tunggal. Itu melambangkan adanya asosiasi manusia dalam suatu kelompok, dan bukan satu orang.

Shahr bin Hawashab menyatakan, “Suatu hari Abu al-Darda memasuki Masjid Bayt al-Maqdis (Jerusalem) dan melihat orang berkumpul mengelilingi pemimpin dzikir mereka (mudzakkir) yang mengingatkan mereka. Mereka mengeraskan suara mereka, menangis dan berdo’a. Abu al-Darda berkata, “Hidup Ayahku dan Ibuku aku korbankan untuk mereka yang merintih terus menerus sebelum hari perintihan!” Lalu dia berkata, “Wahai Ibnu Hawshab, mari kita segera bergabung dengan mereka. Aku mendengar Rasulullah bersabda, ‘Jika kalian melihat semak belukar Surga, gembalakan ternakmu di sana.’ Kami bertanya, ‘Wahai Rasulullah , apa yang dimaksud dengan semak belukar Surga?’ Beliau menjawab, ‘Lingkaran orang-orang yang mengingat, demi Zat yang jiwaku berada dalam Genggamannya, tak satu pun orang yang berkumpul untuk mengingat Allah kecuali dikelilingi dengan rapat oleh para malaikat, rahmat menyelubungi mereka, dan Allah menyebutkan mereka dalam Kehadirat-Nya, dan ketika mereka ingin pergi, seseorang memanggil mereka dengan berkata, Pengampunan telah dibangkitkan, perbuatan buruk kalian telah diubah menjadi amal kebaikan!’ Lalu Abu al-Darda mendatangi mereka dan duduk bersama mereka dengan antusias.” (Hafiz Ibnu al-Jawzi menyatakan hal ini dengan rantai transmisinya dalam bab yang berjudul, “Sebutan bagi orang elit yang biasa menghadiri majelis pembaca hikayat” dalam bukunya al-Qussas wa al-mudzakkirin (Pembaca Hikayat dan Orang yang Mengingatkan) ed. Muhammad Basyuni Zaghlul (Beirut: Dar al-kutub al-ilmiyya, 1406/1986) hal. 31).

Uraian di atas menunjukkan bukti-butkti mengenai bolehnya melakukan dzikir keras, dalam kelompok dan pengertian dzikir, termasuk memberi peringatan dan menceritakan kembali kisah-kisah yang bermanfaat bagi jiwa.

Tipe dan Frekuensi dalam Mengingat Allah (dzikir)

Karena mengingat Allah (dzikir) merupakan pekerjaan hati, Ibnu Taymiyya sebagaimana dikutip oleh muridnya Ibnu Qayyim, berkata bahwa mengingat Allah (dzikir) sangat diperlukan bagi hati, sebagaimana air untuk ikan. Ibnu Qayyim sendiri menulis sebuah buku berjudul al-Wabil al-sayyib, mengenai keutamaan dari mengingat Allah (dzikir), di mana beliau membuat daftar lebih dari seratus, di antaranya adalah:" Dzikir menginduksi perasaan cinta kepada Allah . Dia yang mencari akses kepada kecintaan Allah harus mengingat Allah (dzikir) sedalam-dalamnya. Sebagaimana dengan membaca dan mengulang adalah pintu kepada ilmu pengetahuan, maka mengingat Allah adalah pintu gerbang menuju Kecintaan-Nya.

Mengingat Allah melibatkan proses meditasi (muraqaba) yang dengannya seseorang dapat mencapai tahap kesempurnaan (ihsan), di mana seseorang menyembah Allah seolah-olah dia benar-benar melihat-Nya. Suatu perkumpulan untuk mengingat Allah (dzikir) adalah perkumpulan para malaikat, sedangkan perkumpulan yang tidak mengingat Allah (dzikir) adalah perkumpulan Setan. Dengan keutamaan dari dzikir Allah , orang-orang yang mengingat Allah diberkahi, begitu pula orang yang duduk di sebelahnya. (dikutip dari Maulana M. Zakariyya Kandhalvi, Virtues of Dhikr (Lahore: Kutub Khana Faizi, n.d.) hal 74-76)

Meskipun pada kenyataannya mengingat Allah (dzikir) merupakan bentuk ibadah yang paling mudah (pergerakan lidah lebih mudah dibandingkan dengan pergerakan anggota tubuh lainnya), tetapi dzikir merupakan bentuk yang paling utama.

Mengingat Allah (dzikir) merupakan salah satu bentuk sumbangan (sadaqa). Abu Dharr al-Ghifari berkata, “Rasulullah bersabda, ‘Sumbangan (sadaqa) adalah bagi setiap orang setiap hari setelah terbit matahari.’ Aku berkata, ‘Ya Rasulullah dengan apa kita memberi sedekah bila tidak mempunyai harta?’ Beliau berkata, ‘Pintu sedekah adalah mengucapkan takbir, “Allahu Akbar (Allah Maha Besar), subhan Allah (Mahasuci Allah), al-hamdu lillah (segala puji bagi Allah), la ilaha illallah (tiada Tuhan selain Allah), astagfirullah (Aku memohon ampun kepada Allah), melakukan perbuatan baik, menghindari kebatilan… ini adalah pintu-pintu sedekah yang diperuntukkan bagimu, dan terdapat ganjaran bagimu bahkan ketika kamu melakukan hubungan seksual dengan istrimu.” (diriwayatkan oleh Ahmad dan Ibnu Hibban, dan pernyataan yang serupa juga dilontarkan oleh Muslim).

Seluruh ucapan untuk memuji dan mengagungkan Allah , memuji Kesempurnaan seluruh Atribut-Nya yang meliputi Kekuatan dan Kemuliaan, Keindahan dan Keagungan-Nya, baik diucapkan dengan lidah maupun diucapkan dalam hati, dianggap sebagai mengingat Allah (dzikir). Dia telah memerintahkan kita untuk mengingat-Nya setiap saat. Allah berfirman, Wahai orang-orang yang beriman! Berdzikirlah dengan (dengan menyebut nama) Allah, dzikir yang sebanyak-banyaknya dan bertasbihlah kepada-Nya di waktu pagi dan sore (33:41-42). Jika seseorang mengingat Allah , niscaya Allah akan mengingatnya: Ingatlah Aku, Aku akan mengingatmu (2:152).

“Mengingat Allah adalah pondasi dari amal atau perbuatan baik. Siapa pun yang berhasil melakukannya, dia akan diberkahi dengan kedekatan terhadap Allah . Itulah sebabnya Rasulullah selalu mengingat Allah . Ketika seseorang mengeluh, ‘Hukum Islam terlalu sulit bagiku, katakanlah sesuatu yang mudah kuikuti,’ Rasulullah berkata kepadanya, ‘Biarkan lidahmu selalu sibuk dengan mengingat Allah .’ (Diriwayatkan oleh Ahmad dengan 2 mata rantai lisan, juga oleh Tirmidzi dan Ibnu Majah dengan mata rantai yang lain. Sementara Ibnu Hibban dan al-Hakim menyatakan hadits itu sahih).

Mengingat Allah juga merupakan suatu jalan untuk membebaskan diri dari api neraka. Muadz melaporkan, ‘Rasulullah bersabda, ‘Tidak ada tindakan lain yang lebih efektif untuk membebaskan diri dari hukuman atau azab Allah selain berdzikir kepada-Nya.” (diriwayatkan oleh Ahmad).

Ahmad juga melaporkan bahwa Rasulullah bersabda, “Semua yang kalian ucapkan dalam merayakan Keagungan Allah , Kemuliaan dan Ke-Esaan-Nya dan seluruh ucapan kalian untuk memuji-Nya berkumpul di sekeliling Singgasana Allah . Kata-kata tersebut bedengung seperti lebah, dan menarik perhatian orang yang mengucapkannya di hadapan Allah . Bukankah kalian mengharapkan bisa mempunyai seseorang di sana, di Kehadirat Ilahi yang akan memanggil namamu?”

Jumlah yang Dipersyaratkan untuk Mengingat Allah adalah Sebanyak Mungkin

Allah memerintahkan kita agar Dia harus diingat sebanyak-banyaknya. Untuk menggambarkan laki-laki dan perempuan bijaksana yang memikirkan tanda-tanda Kebesaran-Nya, al-Qur’an menyebutkan," Mereka yang mengingat Allah dalam posisi berdiri, duduk dan berbaring (3:191)
Laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah. Untuk mereka, Allah telah menyediakan ampunan dan pahala yang besar (33:35)

Pengarang Fiqh al-sunna berkata bahwa Mujahid menerangkan, “Seseorang tidak bisa menjadi salah satu dari laki-laki dan perempuan yang banyak mengingat Allah sebagaimana yang telah disebutkan dalam ayat al-Qur’an di atas kecuali dia mengingat Allah setiap saat, dalam keadaan berdiri, duduk dan berbaring di tempat tidurnya” Beliau juga berkata ketika ditanya berapa banyak dzikir yang harus dilakukan agar tergolong “mereka yang banyak mengingat Allah” (33:35), Ibnu as-Salah berkata bahwa “banyak” di sini merujuk pada “ketika orang secara konstan berdo’a di pagi dan sore hari dan di waktu-waktu yang lain dalam satu hari dan di waktu malam sebagaimana yang dilaporkan dari Rasulullah .”

Sehubungan dengan ayat Qur’an di atas, Ali bin Abi Talha menyatakan bahwa Ibnu Abbas berkata, “Seluruh kewajiban yang dijatuhkan kepada ummat manusia oleh Allah sudah jelas dinyatakan dan seseorang dibebaskan dari kewajiban itu hanya dikarenakan sebab yang alamiah. Satu kekecualian adalah kewajiban dzikir. Allah telah menetapkan tidak ada batas yang spesifik untuk itu, dan seseorang tidak boleh meninggalkannya dalam situasi dan kondisi apa pun. Kita telah diperintahkan untuk ‘mengingat Allah dalam keadaan berdiri, duduk dan berbaring’ (3:191), di pagi hari, dan sepanjang hari, di laut atau di darat, dalam perjalanan atau di rumah, dalam kemiskinan dan kaya, dalam keadaan sakit atau sehat, terang-terangan atau rahasia dan pada hakikatnya sepanjang hidup manusia dan dalam segala situasi dan kondisi.”

Dari bukti di atas jelaslah bahwa tidak ada istilah terlalu banyak untuk berdzikir. Rasulullah bersabda, “Dia yang mencintai sesuatu akan menyebutkannya berulang-ulang.” (Diriwayatkan oleh Abu Nuaym dalam Hilya dan Daylami dalam Musnad al-firdaws. Sakhawi menyebutkannya dalam al-Maqasid al-hasana hal. 393#1050 dan tidak memberi komentar mengenai hal ini.) Mereka yang mencintai Allah dan Rasul-Nya akan menyebutkan Allah dan Rasul-Nya. Tidak ada yang membatasi praktek ini kecuali mereka yang tidak merasakan cinta seperti itu.

Imam Ghazali berkata, (Imam Ghazali, dalam buku Ihya ke-40 berjudul “Mengingat Mati dan Kehidupan Setelah Mati” (hal. 124 terj. T.J. Winter). “Jiwa dan roh manusialah yang membentuk sifat alamiahnya… Setelah mati keadaannya akan berubah dalam 2 jalan. Pertama dia kehilangan mata, telinga, lidah, tangan, kaki dan seluruh bagian tubuhnya, sebagaimana dia kehilangan keluarga, anak-anak, kerabat dan seluruh orang yang dia kenal, dan kuda-kudanya lengkap dengan segala peralatannya, pembantu, rumah, tanah, dan segala yang dia miliki. Tidak ada perbedaan nyata antara apa yang telah dia ambil dari benda-benda ini dengan benda-benda yang diambil darinya karena pemisahan itu sendiri yang membuatnya kesakitan…

Jika dalam dunia ini terdapat sesuatu yang bisa menghibur dan memberi kedamaian baginya, maka dia akan sangat menyesal setelah kematiannya, dan merasakan penderitaan yang sangat berat karena kehilangannya. Hatinya akan cenderung memikirkan segala yang dia miliki, kekuasaan dan rumah, bahkan pada sebuah kaos yang biasa dia pakai, misalnya, yang dengannya dia mendapatkan kesenangan.

Namun demikian jika dia bahagia karena mengingat Allah , dan dirinya bergembira hanya dengan Allah , maka dia akan memperoleh kebahagian dan kesenangan yang sempurna. Penghalang antara dirinya dengan Tuhannya sekarang telah dihilangkan, dia akan terbebas dari segala rintangan dan perhatian duniawi, semua yang telah mengganggunya dari mengingat Allah . Ini adalah salah satu aspek mengenai perbedaan antara keadaan hidup dan mati.”

Dalam topik yang sama Imam Habib al-Haddad berkata, (Imam Habib al-Haddad, Key to the Garden hal.104) “Waktu dan hari-hari adalah modal seseorang, sementara kecendrungan, keinginan dan ambisi yang berbeda-beda merupakan perampok jalanan. Jalan bagi seseorang untuk mendapatkan keuntungan dalam perjalanan ini terletak pada keberhasilan dalam mendatangi Allah dan dalam memperoleh kebahagiaan yang abadi, sementara itu orang akan merugi bila menjadi tersekat dengan Allah , dan menyerahkan dirinya pada siksa api neraka.”

Dengan alasan ini, orang beriman yang pandai akan mentransformasi seluruh nafasnya dalam perbuatan ibadah dan hanya menyelanya dengan mengingat Allah (dzikir).

Pentingnya Dzikir dalam Hati (Khafi)

Pengarang Fiqh al-sunna menulis, "Kegunaan berdzikir adalah untuk memurnikan hati dan jiwa dan membangkitkan kesadaran ummat manusia. Qur’an mengatakan, “Dirikanlah shalat, karena shalt itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan munkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (dzikir) itu lebih besar keutamaannya dari ibadah-ibadah yang lain” (29:45).

Dengan kata lain, mengingat Allah mempunyai dampak yang lebih besar dalam mencegah perbuatan keji dan munkar dibandingkan shalat yang biasa dilakukan. Hal ini dikarenakan seorang hamba membuka jiwanya kepada Tuhannya dan mengagungkan-Nya sehingga Allah menguatkan dirinya dengan cahaya-Nya, meningkatkan keimanan dan keyakinannya, menentramkan hati dan pikirannya. Ini merujuk kepada: “Yaitu orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tentram dengan mengingat Allah, ingatlah hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tentram” (13:28).

Dan ketika hati dipenuhi dengan Kebenaran, mereka akan berpaling menuju cita-cita tertinggi tanpa dibelokkan oleh rangsangan dari keinginan dan hawa nafsu. Ini Menegaskan pentingnya dzikir dalam kehidupan manusia. Tentu saja sangat tidak beralasan untuk mengharapkan hasil hanya dengan mengucapkan beberapa kata tertentu, karena kata-kata yang diucapkan dengan lidah tanpa didukung kemauan hati tidak konsekuen. Allah sendiri telah mengajarkan kita suatu adab untuk mengingat-Nya, melalui firman-Nya yang berbunyi, Dan sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu, dengan rendah hati dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan sore, dan janganlah kami termasuk orang-orang yang lalai (7:205).

Ayat ini menunjukkan bahwa melakukan dzikir dalam hati tanpa mengeraskan suara adalah lebih baik. Suatu ketika dalam perjalanan Rasulullah mendengar sekelompok Muslim yang berdo’a dengan suara keras. Kemudian Rasulullah bersabda, ‘Istirahatkanlah dirimu (membuat jeda dalam berdo’a), kalian tidak memanggil orang yang tuli atau yang tidak hadir. Sesungguhnya Dia yang kalian panggil berada dekat denganmu dan Dia mendengar semuanya. Dia lebih dekat kepadamu daripada leher kudamu.’ (Muslim).

Hadits ini menggarisbawahi bahwa perasaan cinta dan kekaguman seseorang harus dilibatkan dalam berdzikir. Sad menyatakan bahwa Rasulullah bersabda, “Dzikir yang terbaik adalah dzikir khafi dan uang yang terbaik adalah yang mencukupi.” (Ahmad menyatakan dalam Musnad-nya, Ibnu Hibban dalam Sahih-nya, dan Bayhaqi dalam Shuab al-iman. Nawawi berkata bahwa hadits itu tidak cukup kuat.) Sebagai respons terhadap penelitian menyangkut perkataan Nawawi, Ibnu Hajar berkata, “Dzikir dengan lidah disertai kehadiran hati lebih disukai daripada tanpa kehadiran hati.” (Nawawi, pada akhir bab berjudul,”Majelis Dzikir” dalam komentarnya terhadap Sahih Muslim.)

Bukan karena dzikir dalam hati adalah suatu ibadah yang tidak bisa dipungkiri dalam arti leksikal (yakni terdiri dalam formula yang spesifik) sehingga dia lebih disukai, tetapi karena lewat dzikir ini seseorang secara intens berniat dalam hatinya untuk mengagungkan Allah di atas segalanya. Itulah arti dari pernyataan yang dikemukakan di depan oleh Nawawi dan beberapa pernyataan yang mengatakan bahwa, “Tidak ada pahala dalam dzikir khafi.” Dengan menyangkal bahwa tidak ada pahala di dalamnya, maksudnya, “Tidak ada pahala dalam kata-kata yang tidak diucapkan,” sedangkan yang berpendapat ada pahala di dalamnya, maksudnya “pada kenyataannya hatinya hadir dalam berdzikir,” sebagaimana yang telah kita katakan tadi. Pertimbangkanlah hal ini karena ini sangat penting. Allah Maha Tahu. (Ibnu Hajar, dipetik oleh al-Haythami dalam Fatawa hadithiyya, hal. 48).

Muhammad Baha al-Din Naqshband (wafat 1388), ulama Asia Tengah yang sangat terkenal, berkata, “Ada dua metode dzikir, yang satu diam dan satu lagi keras. Aku memilih yang diam karena dia lebih kuat dan dengan demikian lebih disukai.”

Syaikh Amin al-Kurdi berkata,“Ketahuilah bahwa ada dua jenis dzikir, “dengan hati” (qalbi) dan “dengan lidah” (lisani). Masing-masing mempunyai bukti yang legal baik dalam Qur’an maupun sunna. Dzikir dengan lidah, yang mengkombinasikan suara dengan huruf, tidak mudah dilakukan setiap saat, karena jual beli dan aktivitas lainnya secara bersamaan membuyarkan perhatian seseorang terhadap dzikir ini. Sebaliknya dzikir yang sebenarnya, yaitu dengan hati, dinamakan demikian untuk menekankan bahwa dia tidak dipengaruhi oleh huruf dan suara. Dengan cara itu tak satu pun yang bisa mengganggu seseorang dari dzikirnya, dengan hati yang mengingat Allah , tanpa diketahui makhluk lain, tanpa kata-kata dan suara. Dari semuanya, dzikir inilah yang terbaik, di luar dari itu mengalir perkataan para Awliya.” (Syaikh Amin al-Kurdi, Tanwir al-qulub (Pencerahan Hati) hal. 522)

Itulah sebabnya banyak ulama yang mengikuti jalan Muhammad Baha al-Din Naqshband yang memilih dzikir dalam hati. Lebih jauh lagi, hati merupakan tempat di mana Yang Maha Pengampun meletakkan pandangan-Nya, tempat bagi iman, tempat menyimpan rahasia, dan sumber cahaya. Jika bersuara, seluruh tubuh bersuara, dan jika tidak bersuara, seluruh tubuh tidak bersuara, sebagaimana yang telah dijelaskan kepada kita oleh Rasul Terpilih .

Suatu hadits yang menegaskan hal ini diriwayatkan dengan otorisasi dari Aisyah, “Allah menilai dzikir di atas dzikir 70 kali lipat (maksudnya dzikir dalam hati di atas dzikir keras). Di Hari Kebangkitan, Allah akan membawa seluruh ummat manusia ke hadapannya, dan Malaikat Pencatat akan membawa apa yang telah mereka catat dan rekam, dan Allah akan berkata, ‘Amatilah, jika ada sesuatu milik hamba-Ku yang tertinggal.’ Malaikat akan berkata, ‘Kami tidak meninggalkan apa-apa sehubungan dengan hal-hal yang telah kami pelajari dan kami rekam, melainkan semuanya telah kami nilai dan tulis.’ Allah akan berkata, ‘Wahai hamba-Ku, Aku mempunyai sesuatu yang baik milikmu yang akan Aku nilai sendiri, itu adalah dzikirmu yang tersembunyi.’” (diriwayatkan oleh Bayhaqi).Juga dengan otoritas Aisha, dikatakan bahwa, “Dzikir tidak terdengar oleh Malaikat Pencatat bernilai 70 kali lipat dari yang mereka dengar.” (diriwayatkan oleh Bayhaqi).

Tentang Pengasingan Diri (khalwa, uzla)

Mengingat Allah (dzikir) dalam hati merupakan salah satu bentuk pengasingan diri bagi seorang hamba. Abu Said al-Khudri meriwayatkan, “Seorang Baduy datang kepada Rasulullah dan bertanya, ‘Wahai Rasulullah ! Siapakah manusia terbaik? Rasulullah menjawab, Orang yang berjuang di jalan Allah dengan hidup dan kekayaannya, serta orang yang hidupnya menyendiri di sebuah jalur pegunungan di antara jalur-jalur lain untuk menyembah Tuhannya dan mencegah orang dari keburukan dirinya (jaa arabiyyun ila al-nabi faqala ya rasulallahi ayyu khayru al-nas? Qala rajulun jahidun bi nafsihi wa malih…)” (Bukhari dalam Bahasa Inggris, Volume 8, Buku 76, Nomor 501)

Abu Said al-Khudri berkata, “Aku mendengar Rasulullah berkata, ‘Akan tiba saatnya di mana harta terbaik bagi seorang laki-laki Muslim adalah biri-birinya, yang akan di bawa ke puncak gunung dan ke tempat di mana turun hujan untuk melarikan diri dengan agamanya jauh dari ancaman (yati ala al nasi zamanun khayru mali al-rajuli al-muslim…) (Bukhari dalam Bahasa Inggris, Volume 8, Buku 76, Nomor 502)

Malik meriwayatkan, “Humayd bin Malik bin Khuthaym sedang duduk dengan Abu Hurayra di tanahnya di al-Aqiq ketika sekelompok orang Madinah mendekatinya. Mereka turun dari kudanya dan mendatangi mereka. Humayd berkata, ‘Abu Hurayra berkata (kepadaku), “Pergilah ke Ibuku dan katakan padanya, Anakmu mengirimkan salamnya dan memintamu mengirimkan sedikit makanan.” Aku pergi dan dia memberiku 3 bantal roti dan sedikit minyak zaitun dan garam. Aku membawakannya kepada mereka. Ketika Aku letakkan di depan mereka, Abu Hurayra berkata, Allahu akbar, segala puji bagi Allah yang telah mengenyangkan kita dengan roti setalah masa-masa di mana makanan kita hanya 2 benda hitam, air dan kurma.” Orang-orang memakan semua yang tersedia dan ketika mereka berangkat, dia berkata, “Anak dari saudaraku, perlakukan ternakmu dengan baik, bersihkan lendir dari mereka, tingkatkan makanan mereka, dan shalatlah di sekitar mereka, karena mereka semua adalah hewan surga. Demi Allah yang jiwaku berada dalam genggaman-Nya, akan segera datang suatu masa di mana sekelompok ternak lebih sayang kepada pemiliknya dibandingkan anak-anak Marwan.’” (Malik, Muwatta)

Muslim dan Tirmidzi meriwayatkan, “Abu Hurayra berkata, ‘Dalam perjalanan ke Makkah, Rasulullah melewati puncak sebuah gunung yang dinamakan Jumdan (=membeku di tempatnya), pada saat itu beliau berkata, ‘Bergeraklah (siru)! Ini adalah Gunung Jumdan, dan orang yang berpikiran tunggal (al-mufarridun) adalah yang paling utama.’ Mereka bertanya, ‘Siapa yang berpikiran tunggal, wahai Rasulullah ?’ Beliau berkata, ‘Pria dan wanita yang mengingat Allah tanpa henti (al-dzakirun allah katsiran wa al-dzakirat).”

Versi Tirmidzi berbunyi, “Rasulullah berkata, ‘Orang yang berpikiran tunggal (al-mufarridun) adalah yang paling utama.’ Mereka bertanya, ‘Siapa yang berpikiran tunggal?’ Beliau berkata, ‘Mereka yang memusatkan pikirannya dengan mengingat Allah dan dianggap hina (oleh orang lain) karena melakukannya (al-mustahtirun bi dzikr Allah) dan yang bebannya hilang karena berdzikir (yadau anhum al-dzikru atsqalahum), sehingga mereka mendatangi Allah dengan berdebar-debar (fa yatun Allaha khifaqan).”

Al-Mundziri berkata, “Mereka adalah orang-orang yang terbakar karena mengingat Allah (al-muwallaun bi dzikr Allah)” (al-Mundziri, al-Tharghib wa al-tarhib)

Nawawi menulis, “Beberapa orang melafalkannya mufridun (=mereka yang mengisolasikan diri mereka)… Ibnu Qutayba dan yang lain berkata, ‘Arti yang asli dari kata ini adalah orang-orang yang sanak keluarganya telah meninggal sehingga dia menjadi sendirian (di dunia ini) dan mereka terus mengingat Allah .’ Riwayat yang lain adalah, ‘Mereka yang bergerak ketika menyebut atau mengingat Nama Allah’ (hum al-ladzina ihtazzu fi dzikr Allah), yaitu, mereka dengan sungguh-sungguh dalam berdo’a kepada Allah dan hatinya terikat kepada-Nya. Ibnu al-Arabi berkata, ‘Disebutkan bahwa seorang laki-laki menjadi sendiri (single, farada al-rajul) ketika dia menjadi terpelajar, menyendiri, dan memusatkan dirinya dalam melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya.’” (Nawawi, Syarh Sahih Muslim, Bk.48, Ch.1, Hadits 4)

Dzikir dalam isolasi atau pengasingan diri (khalwa) berhubungan dengan hadits dalam Bukhari, yang dimulai dengan, “Tujuh orang akan dinaungi oleh Allah …,” orang ketujuh adalah, “Orang yang mengingat Allah dalam pengasingannya (dzakara Allaha khaliyan) dan matanya dibanjiri dengan air mata.”

Menurut Tirmidzi, “Aisyah menyatakan, ‘Di awal masa kenabian Rasulullah , pada saat Allah ingin memberi kemuliaan kepadanya dan kasih sayang kepada semua hambanya melalui Rasulullah , seluruh pandangan beliau datang bagaikan terbitnya matahari. Hal ini berlangsung terus selama yang Allah kehendaki. Yang paling dicintai beliau adalah mengasingkan diri (al-khalwa) dan tidak ada yang lebih dicintainya daripada menyendiri dalam pengasingan.” (Tirmidzi meriwayatkannya dan menyatakan hadits itu hasan sahih gharib. Bukhari dan Muslim menyatakan hal yang sangat serupa lewat mata rantai yang berbeda dan kata khala digunakan menggantikan khalwa)

Ibnu Hajar berkata dalam komentarnya terhadap Bukhari (Ibnu Hajar, Fath al-Bari dalam komentar terhadap Bab mengenai pengasingan diri dalam Bukhari), “Ibnu al-Mubarak menyatakan dalam Kitab al-raqaiq dari Syuba dari Khubayb bin Abd al-Rahman dari Hafs bin Asim bahwa Umar berkata, ‘Ambillah manfaat bagimu dari pengasingan diri.’ Dan perkataan yang baik adalah yang diucapkan oleh al-Junayd, semoga Allah melimpahkan kita kebaikan dari berkahnya. ‘Menjalani kesulitan dalam pengasingan diri adalah lebih mudah daripada hidup dalam masyarakat yang tanpa cacat.’ Al-Khattabi berkata dalam buku mengenai pengasingan diri (Kitab al-uzla), ‘Jika tidak ada yang lain yang didapat dari pengasingan diri kecuali selamat dari gunjingan dan pandangan terlarang yang tidak dapat dihilangkan, itu saja sudah cukup berguna sekali.’ Judul dalam Bukhari, [Bab mengenai Pengasingan Diri sebagai Waktu Istirahat dalam Menemani Setan] merujuk pada hadits yang disebutkan oleh al-Hakim dari Abu Dzarr dari Rasulullah dengan mata rantai yang baik (hasan), ‘Pengasingan diri lebih baik daripada bersosialisasi dalam melakukan keburukan.’ Namun yang biasanya dipertahankan adalah perkataan Abu Dzarr atau Abu al-Darda. Ibnu Abi Asim menyatakan hal itu…Al-Qusyairi berkata dalam Risala-nya, ‘Metode bagi orang yang berkhalwat adalah dia harus mempunyai suatu keyakinan bahwa dia menjaga orang lain dari kejahatannya, bukan sebaliknya. Ini mengisyaratkan bahwa dia menganggap rendah dirinya dan ini adalah suatu atribut dari sifat rendah hati sedangkan sebaliknya berarti dia menganggap dirinya lebih hebat dari orang lain dan ini merupakan atribut sifat arogan.”

Abu Bakr bin al-Arabi menulis, “Jika dikatakan bahwa waktu menjadi sangat korup sehingga tidak ada yang lebih baik daripada mengisolasi diri, kami berkata, seseorang mengisolasikan dirinya dari orang lain dalam perbuatan-perbuatannya, sementara itu dia masih tetap bergaul dengan mereka secara fisik, namun jika dia tidak berhasil, maka pada saat itu dia mengisolasi dirinya dari mereka secara fisik tetapi tidak dengan memasuki suatu biara atau kuil (yataziluhum bi badanihi wa la yadkhulu fi al-rahbaniyya) yang dilarang dan ditolak oleh sunnah. (Abu Bakr bin al-Arabi, Aridat al-ahwadhi syahr sahih al-Tirmidzi, Buku 45 (daawat) Ch. 4)

Mengingat Allah (dzikir) dengan Nama “Allah”

Allah berfirman dalam kitabnya, Sebutlah nama Tuhanmu dan beribadahlah kepada-Nya dengan penuh ketekunan (73:8). Qadi Thanaullah Panipati berkata, “Ketahuilah bahwa ayat ini merujuk pada pengulangan nama yang pokok (ism al-dzat),” yaitu “Allah.” (Qadi Thanaullah Panipati, Tafsir Mazhari (10:111)). Arti yang sama secara mendalam juga terdapat pada bagian akhir ayat 6:91, Surah al-Anam, “Katakanlah ALLAH. Kemudian biarkan mereka bermain dengan kesesatannya.”

Rasulullah bersabda, “Waktu tidak akan berjalan bila ‘Allah Allah’ tidak disebutkan lagi di bumi.” Menurut mata rantai yang lain, beliau bersabda, “Waktu tidak akan berjalan pada seseorang yang mengucapkan Allah, Allah.” (Keduanya diriwayatkan oleh Muslim dalam Sahih-nya, buku mengenai Iman, bab 66 yang berjudul dzahab al-iman akhir al-zaman, “Hilangnya iman di akhir zaman.”)

Imam Nawawi dalam komentarnya terhadap bab ini berkata, “Ketahuilah bahwa riwayat kedua versi hadits ini sangat banyak dalam hal pengulangan nama Allah dan begitulah adanya seperti yang ditemukan di semua sumber yang berwenang.” (Nawawi, Syarh sahih Muslim, Dar al-Qalam, Beirut ed. Vol. ½ hal 537).

Imam Muslim menempatkan hadits ini dalam kepala bab, hilangnya iman di akhir zaman, meskipun dalam hadits tersebut tidak disebutkan masalah iman. Hal ini menunjukkan bahwa mengucapkan, “Allah, Allah” menunjukkan keimanan. Mereka yang mengucapkannya menunjukkan keimanan mereka, dan sebaliknya mereka yang tidak mengucapkannya tidak menunjukkan keimanan mereka. Oleh sebab itu mereka yang memerangi orang yang mengucapkannya sebenarnya lebih buruk dari mereka yang imannya lemah dan tidak mengucapkan “Allah, Allah”.

Nawawi menyoroti keaslian dari pengulangan ini untuk membuktikan bahwa pengulangan kata, “Allah, Allah” adalah sunna matsura, atau praktek yang diwariskan oleh Rasulullah dan para Sahabat. Tetapi Ibnu Taymiyya mendesak agar kata itu tidak berdiri sendiri, melainkan harus tersusun, misalnya dalam bentuk seruan (yakni, “Ya Allah”) sehingga kontradiksi dengan sunnah.

Perlu dicatat bahwa translasi Siddiqi terhadap Sahih Muslim mengandung kesalahan translasi dari riwayat pertama yang dinyatakan di atas sebagai, “Waktu (Berbangkit) tidak akan datang selama Allah masih diagungkan di dunia,” dan yang kedua sebagai, “Waktu (Berbangkit) tidak akan datang kepada seseorang selama dia berdo’a kepada Allah .” Sebagai translasi ini adalah salah, tetapi sebagai komentar dapat diterima karena mengucapkan Allah, Allah berarti berdo’a kepada-Nya. Hal ini berlaku bagi semua ibadah, sesuai dengan sabda Rasulullah , “Berdo’a—itulah arti ibadah.” (riwayat Tirmidzi dan lainnya). Namun untuk mengakuratkan translasinya, bentuk kata yang disorot oleh Nawawi harus dipertahankan dalam segala penjelasan mengenai hadits ini. Bukan sekedar “berdo’a kepada Allah ” tetapi dikatakan “Allah, Allah,” munurut kata-kata diucapkan oleh Rasulullah sendiri.

Orang yang mengetahui bahwa dzikir, “Allah, Allah” telah disebutkan oleh Rasulullah sendiri tidak leluasa untuk memikirkan lebih dalam apakah dzikir itu digunakan oleh para Sahabat atau tidak, dengan maksud untuk menyelidiki validitasnya. Validitasnya cukup dibuktikan dengan pernyataan bahwa Rasulullah mengatakannya. Tambahan lagi, Bilal biasa berdzikir, ”Ahad, Ahad” ketika dia disiksa. Ibnu Hisham berkata dalam Sira-nya,

“Ibnu Ishaq meriwayatkan [dengan mata rantai transmisinya] bahwa, ‘Bilal adalah seorang Muslim yang imannya kuat, hatinya suci… Umayya bin Khalaf biasa menyiksanya dengan menjemurnya di panas matahari, menelantangkan tubuhnya dan meletakkan sebuah batu besar di dadanya. Kemudian dia berkata, “Kamu tinggal di sini sampai mati atau mau menyangkal Muhammad dan menyembah al-Lat dan al-Uzza.” Selama menjalani siksaan ini, Bilal biasa mengucapkan, “Ahad, Ahad”—“Satu, Satu!” (Ibnu Hajar menyatakannya dalam al-Isaba (1:171 #732).

Mengingat Allah (dzikir) dengan “Hu (Pokok)”, Hayy (Yang Maha Hidup)” dan “Haqq (Yang Maha Benar”

Orang yang mengetahui bahwa Allah, Allah adalah dzikir yang biasa dilakukan oleh Rasulullah juga tidak leluasa untuk keberatan dengan bentuk yang serupa dengan dzikir tersebut, seperti HU dan HAYY dan HAQQ. “Allah memiliki Nama-Nama yang indah, maka memohonlah kepada-Nya dengan Nama-Nama itu” (7:180). Hadits menyebutkan ada 99 nama, tetapi Nama Allah tidak dibatasi hanya 99 Nama saja, sebagaimana yang dijelaskan oleh Nawawi dalam komentarnya terhadap hadits tersebut.

“Hu” adalah kata ganti dari Allah , dan “Hayy” adalah Nama-Nya, menurut ayat al-kursi: Allahu la ilaha illa HU Al-HAYY al-Qayyum (2:255) (Allah! Tiada tuhan kecuali DIA, Yang Maha Hidup, Yang Maha Mandiri). “Haqq” adalah salah satu nama yang terdaftar dalam hadits yang termasuk dalam 99 Nama Allah menurut Bukhari dan Muslim.”

Lebih lanjut Rasulullah berdo’a kepada Allah dengan do’a sebagai berikut: ‘Labbayka ilah al-Haqq (dengan perintah-Mu, Wahai Yang Maha Benar)’ (do’a ini diriwayatkan dalam buku mengenai Haji dalam Sunan-nya al-Nasai dan dalam buku Manasik-nya Ibnu Majah) dan ‘anta al-Haqq (Engkau adalah Kebenaran)’ (Bukhari dan Muslim).

Allah berfirman, “Wa lillahi al-asma al-huna faduhu biha (Allah memiliki Nama-Nama yang indah, maka memohonlah kepada-Nya dengan Nama-Nama itu)” (7:180). Nama-nama itu tidak terbatas pada 99 saja, sebagaimana yang dinyatakan secara eksplisit oleh Nawawi dalam komentarnya terhadap hadits di mana Rasulullah bersabda, “Inna lillahi taala tisatan wa tisina isman, miatan illa wahidan, man ahsaha dakhala al-jannat … (Ada 99 Nama-nama yang dimiliki Allah , seratus kurang satu, siapa pun yang menghafalnya (mengucapkannya) akan masuk surga)” (Bukhari dan Muslim).

Nawawi dan lainnya menunjukkan bahwa arti dari hadits ini bukannya, “Hanya ada 99 nama,” tetapi “Ada 99 nama yang terkenal,” atau “Ada 99 nama yang cukup bagi seseorang yang bila menghafalnya akan masuk surga.” Rasulullah biasa memanggil Allah dengan SELURUH Nama-Nya; Allahumma inni aduka bi asmaika al-husna kulliha, “Ya Allah, Aku memanggil-Mu dengan seluruh Nama indah-Mu.” (diriwayatkan oleh Ibnu Majah, buku mengenai Do’a dan Imam Malik dalam Muwatta-nya, Kitab al-Syir).

Mengingat Allah (dzikir) dalam Suasana Remang-Remang

Allah berfirman kepada Rasulullah , Wa min al-layli fa tahajjad bihi nafilatan laka (Dan pada sebagian malam hari, bertahajjudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu (17:79) dan Dia berfirman, “Sesungguhnya bangun di waktu malam adalah lebih khusuk dan bacaan di waktu itu lebih berkesan” (73:6).

Keutamaan shalat di malam hari telah dikenal di seluruh buku hadits dan fiqih karena pada saat itu tidak ada gangguan duniawi. Oleh sebab itu Imam Ghazali menulis tentang topik ini, “Pikiran berakar dari mata… orang yang mempunyai niat baik dan cita-cita yang tinggi tidak bisa dibelokkan dengan apa yang ada di hadapannya, tetapi yang lemah akan terjebak olehnya. Pemecahannya adalah dengan cara memutuskan hubungan dengan gangguan ini, yaitu dengan memejamkan mata, shalat di tempat yang gelap, tidak membiarkan sesuatu berada di depannya yang mungkin akan menarik perhatiannya dan tidak melakukan shalat di tempat yang penuh dengan dekorasi. Oleh sebab itu para Awliya biasa beribadah di ruangan yang gelap, sempit dan tidak banyak celah.” (Imam Ghazali, Ihya Ulum al-Din, buku mengenai Shalat).

Gerakan selama Mengingat Allah (dzikir)

Dalam rujukan terhadap hadits Muslim di mana Rasulullah memuji para mufarridun, atau mereka yang berhati tunggal dalam mengingat Allah , Nawawi berkata, “Riwayat yang lain adalah, ‘Mereka adalah orang-orang yang bergoyang atau bergerak pada saat menyebut atau mengingat Allah (hum al-ladzina ihtazzu fi dzikir Allah), sehingga mereka menjadi sungguh-sungguh dalam berdo’a dan hatinya terikat kepada Allah .”

Imam Habib al-Haddad berkata, “Dzikir kembali dari raut luar, yaitu lidah ke raut dalam, yaitu hati, di mana dia mengakar dengan kuat dan dapat mengikat erat anggota-anggota tubuhnya. Manisnya hal ini dapat dirasakan oleh orang-orang yang berdzikir dengan seluruh anggota tubuhnya sehingga hati dan kulitnya menjadi lunak. Sebagaimana firman Allah , ‘Kemudian kulit dan hati mereka menjadi lunak ketika mengingat Allah’ (39:23).” (Imam Habib al-Haddad, dalam Key to the Garden, hal. 116).

“Pelunakan hati” terdiri atas sensitivitas dan perasaan takut yang ditimbulkan dari kedekatan kepada Allah dan tajjali [manifestasi satu atau beberapa Atribut Ilahi]. Cukup Allah saja yang menjadi Teman Dekat bagi seseorang!

Sedangkan untuk “pelunakan kulit”, ini adalah keadaan terekstasi dan bergoyang dari satu sisi ke sisi yang lain akibat hubungan intim dan tajjali atau perasaan takut dan takjub. Tak ada salahnya bagi orang yang mencapai keadaan ini dan menyebabkan dia bergerak mengikuti irama, karena dalam penderitaan yang luar biasa akan cinta dan hasrat yang menggebu, dia menemukan sesuatu yang membangkitkan kerinduan yang paling dalam…

Desakan yang ditimbulkan oleh rasa takut dan takjub mengantarkan pada tangisan dan memaksa orang menjadi gemetar dan rendah hati. Ini adalah keadaan yang dialami oleh orang-orang beriman yang saleh (abrar), ketika mereka mendengar Nama Allah diucapkan. “Hati mereka bergetar,” (39:23) kemudian hati mereka menjadi lunak dan cenderung untuk menyukai dzikir Allah karena mereka diliputi ketenangan dan martabat, sehingga mereka tidak sembrono, tidak menganggap dirinya penting, berisik, atau menyombongkan dirinya. Allah menggambarkan mereka sebagai orang yang akal sehatnya telah pergi, yang dengan lemah gemulai mereka menari dan melompat.

Hadits lain tentang Keutamaan Mengingat Allah (dzikir)

Abu Hurayra melaporkan bahwa Rasulullah bersabda, “Ketika seorang hamba Allah mengucapkan la ilaha illallah (tiada tuhan selain Allah ) dengan hati yang tulus, pintu-pintu Surga akan terbuka baginya sampai dia mencapai Singgasana Allah selama dirinya menjauhi dosa-dosa besar.” (diriwayatkan oleh Tirmidzi yang menyatakan hadits ini hasan gharib. Al-Mundziri menyertakannnya dalam al-Targhib 2:414)

Abu Hurayra juga melaporkan bahwa Rasulullah bersabda, “Perbaharui Imanmu.” “Bagaimana kami memperbaharui Iman kami?” tanya mereka. Rasulullah menjawab, “Ucapkan selalu, la ilaha illallah.” (diriwayatkan oleh Ahmad dengan rantai transmisi yang baik). Jabir melaporkan bahwa Rasulullah bersabda, “Cara mengingat Allah yang paling baik adalah dengan mengucapkan la ilaha illallah berulang-ulang dan do’a terbaik adalah mengucapkan alhamdulillah (segala puji bagi Allah ).” (diriwayatkan oleh Nasai, Ibnu Majah dan Hakim yang menyatakan rantai transmisinya sahih).

Abu Hurayra melaporkan bahwa Rasulullah bersabda, “Ada 2 frase yang ringan di lidah namun berat dalam skala timbangan dan sangat disukai oleh Yang Maha Pengasih. Kata-kata tersebut adalah subhan Allah wa bi hamdihi (Mahasuci Allah dan segala puji bagi-Nya) dan subhan Allah al-azhim, (Mahasuci Allah Yang Maha Agung)” (diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim dan Tirmidzi)

Abu Hurayra juga melaporkan bahwa Rasulullah bersabda, “Aku sangat senang mengulang kata-kata subhan Allah, wa al-hamdu lillah, wa la ilaha illallah, wallahu akbar (Mahasuci Allah , dan segala puji bagi Allah , dan tiada tuhan selain Allah , dan Allah Mahabesar) lebih dari semua yang disinari Matahari.”

Abu Dzar melaporkan, “Rasulullah bersabda, ‘Maukah kamu mengetahui kata-kata yang sangat dicintai Allah ?’ Aku berkata, ‘Ya, katakanlah kepadaku, Ya Rasulullah .’ Beliau berkata, ‘Kata-kata yang disukai Allah adalah subhan Allah wa bi hamdihi’” (Mahasuci Allah dan segala puji bagi-Nya) (riwayat Muslim dan Tirmidzi)

Dalam versi Tirmidzi, hal berikut juga ditemukan, “Kata-kata yang paling disukai Allah dan dipilihkan bagi para malaikat adalah ‘subhana rabbi wa bi hamdihi subhana rabbi wa bi hamdihi (Mahasuci Tuhanku dan segala puji bagi-Nya, Mahasuci Tuhanku dan segala puji bagi-Nya!)”. Jabir melaporkan bahwa Rasulullah bersabda, “Siapa yang mengucapkan ‘Mahasuci Allah , Yang Mahabesar dan segala puji bagi-Nya’ akan mempunyai pohon palem yang ditanam di Surga.” (diriwayatkan oleh Tirmidzi yang menyatakan hadits ini hasan)

Abu Said melaporkan bahwa Rasulullah bersabda, “Lakukanlah perbuatan baik (al-baqiyat al-shalihat) secara kontinu dan lebih sering.” Mereka bertanya, “Apa yang mempertahankan perbuatan baik itu?” Rasulullah menjawab, “ takbir [allahu akbar], tahlil [la ilaha illallah], tasbih [subhan allah], al-hamdu lillah, dan la hawla wa la quwwata illa billah. (diriwayatkan oleh Nasai dan Hakim yang menyatakan rantai transmisinya sahih)

Abd Allah bin Masud melaporkan bahwa Rasulullah bersabda, “Selama Perjalanan Malam Aku bertemu Ibrahim yang berkata kepadaku, Wahai Muhammad, sampaikan salamku kepada ummatmu, katakan kepada mereka bahwa Surga adalah tanah yang suci, airnya terasa manis dan permukaannya luas, lega dan rata. Benih-benihnya adalah: subhan allah (Mahasuci Allah ), wa al-hamdu lillah (segala puji bagi Allah ), wa la ilaha illallah (tiada tuhan selain Allah ), dan wallahu akbar (Allah Mahabesar).” (diriwayatkan oleh Tirmidzi, sedangkan Tabarani mempunyai versi dengan tambahan “Tiada daya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah”)

Samura bin Jundub melaporkan, “Rasulullah bersabda, “Frase yang paling disukai Allah ada 4: subhan allah, wa al-hamdu lillah, wa la ilaha illallah, dan wallahu akbar (Mahasuci Allah , segala puji bagi Allah , tiada tuhan selain Allah , dan Allah Mahabesar). Tidak ada salahnya untuk memulainya dari urutan yang kami sukai dalam mengingat-Nya.” (diriwayatkan oleh Muslim)

Ibnu Masud melaporkan bahwa Rasulullah bersabda, “Jika seseorang membaca 2 ayat terakhir dari surat al-Baqara (2:285-286) di malam hari, ayat-ayat itu akan cukup baginya. (diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, Ibnu Khuzayma dalam Sahihnya menyebutkannya dalam bab “Membaca al-Qur’an Mempunyai Pahala yang Setara dengan Shalat Malam”) yaitu, bahwa 2 ayat ini akan membawanya kepada pahala yang setara dengan satu shalat malam dan akan menjaganya dari segala kejahatan di malam itu.”

Abu Said al-Khudri meriwayatkan bahwa Rasulullah bertanya, “Dapatkah salah satu dari mereka membaca sepertiga al- Qur’an selama satu malam?” Para sahabat menganggap berat dan mereka bertanya, “Siapa di antara kami yang bisa, Ya Rasulullah ? Lalu Rasulullah bersabda, “Allah Yang Maha Esa, Allah tempat Memohon (Surah al-Ikhlash) adalah sepetiga al-Qur’an.” (diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim)

Abu Hurayra melaporkan bahwa Rasulullah bersabda, “Barang siapa yang mengucapkan, la ilaha illallahu wahdahu la syarika lah, lahu al-mulku wa lahu al-hamd, wa huwa ala kulli syayin qadir (Tiada Tuhan selain Allah , tidak ada yang menyekutui-Nya. Bagi-Nya segala kerajaan dan segala puji, yang menghidupkan dan yang mematikan, dan Allah berkuasa atas segala sesuatu) seratus kali sehari akan mendapat ganjaran setara dengan ganjaran memerdekakan 10 orang budak. Sebagai tambahan 100 amal shaleh akan dicatatkan baginya dan 100 niat buruk akan dihapuskan darinya, dia juga akan dilindungi dari Setan pada hari itu sampai sore harinya, dan tidak ada orang yang mempunyai amalan lebih baik darinya kecuali mereka yang mengerjakan lebih dari itu.” (diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Nasai dan Ibnu Majah)

Dalam versi Muslim, Tirmidzi, dan Nasai hadits itu ditambahkan dengan, “Barangsiapa yang mengucapkan ‘subhan Allah wa bi hamdihi (Mahasuci Allah dan segala puji bagi-Nya)’ 100 kali sehari, seluruh dosanya akan dihapus bahkan jika dia memiliki dosa sebanyak buih di permukaan lautan.

Memohon Ampun kepada Allah (Istighfar)

Anas melaporkan bahwa dia mendengar Rasulullah bersabda bahwa Allah berfirman, “Wahai Anak Adam, apa pun yang kamu minta dan harapkan dari-Ku, akan Ku berikan—mengenai hal yang kamu berhutang kepada-Ku—dan Aku tidak peduli (berapa banyaknya). Wahai Anak Adam, bahkan jika dosa-dosamu bertumpuk sampai selangit dan kemudian kamu mencari ampunan-Ku, Aku akan mengampunimu, bahkan jika kamu mempunyai dosa sepenuh bumi dan kamu menjumpai-Ku dalam keadaan tidak menyekutukan-Ku, Aku akan mengampunimu.” (diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim).

Abd Allah bin Abbas berkata, “Jika orang berdo’a dengan keyakinan terhadap ampunan Allah , Dia akan memberi jalan kepadanya untuk keluar dari kesulitannya dan memberinya rezeki dari sumber yang tidak diduga-duga.” (diriwayatkan oleh Abu Dawud, Nasai, Ibnu Majah, dan Hakim, yang berkata bahwa rantai transmisinya sahih). Juwayriyya bin al-Harits, salah satu istri Rasulullah melaporkan bahwa suatu hari Rasulullah keluar dari rumahnya di pagi hari ketika dia sedang sibuk melaksanakan shalat subuh di tempat ibadahnya. Beliau kembali di waktu dhuha, sementara itu dia masih berada di sana. Rasulullah berkata kepadanya, “Kamu tetap berada di tempatmu sejak Aku pergi?” Dia berkata, “Ya” Lalu Rasulullah berkata lagi, “Aku membaca 4 kata sebanyak 3 kali setelah Aku meninggalkanmu dan jika keempat kata itu ditimbang dengan apa yang kamu baca sejak pagi tadi, dia akan lebih berat timbangannya. Keempat kata itu adalah, subhan allahi wa bi hamdihi adada khalqihi wa ridha nafsihi wa zinata arsyihi wa midada kalimatihi (Mahasuci Allah dan segala puji bagi-Nya, sebanyak jumlah Ciptaan-Nya, sebanyak jumlah yang ridha kepada-Nya dan sebanyak bilangan berat Singgasana-Nya, dan sebanyak jumlah tinta (yang digunakan untuk menulis) Kalimat-Nya. (Muslim dan Abu Dawud)

Ibnu Umar melaporkan bahwa Rasulullah berkata kepada mereka, “Seorang hamba Allah berkata, ‘ya rabbi laka al-hamdu kama yanbghi li jalali wajhika wa li azimi sulthanik (Ya Tuhanku! Hanya bagimu segala puji sebagaimana pujian ini hanya layak untuk-Mu dan karena kemegahan Kesultanan-Mu).’ Ini sudah terlalu banyak bagi kedua malaikat untuk mencatatnya. Mereka tidak tahu bagaimana mencatatnya, jadi mereka pergi ke surga untuk bertanya, “Ya Tuhan kami! Hamba-Mu telah mengucapkan sebuah do’a yang bagi kami sulit untuk mencatanya.” Allah bertanya kepada mereka—dan jelas Allah lebih tahu apa yang telah diucapkan oleh hamba-Nya, ‘Apa yang telah diucapkan oleh hamba-Ku?’ Kedua malaikat menjawab, ‘Dia mengucapkan, “Ya Tuhan kami! Hanya bagimu segala puji sebagaimana pujian ini hanya layak untuk-Mu dan karena kemegahan Kesultanan-Mu.”’ Allah berkata kepada mereka, ‘Tulislah sebagaimana yang dia ucapkan, nanti ketika dia bertemu dengan-Ku, Aku sendiri yang akan memberi ganjarannya.’ (diriwayatkan oleh Ibnu Majah)

Abdullah bin Amir bin al-As berkata, “Aku melihat Rasulullah menghitung jumlah tasbihnya dengan jemari tangan kanannya.” (diriwayatkan oleh Tirmidzi yang menyatakan hasan gharib, Nasai, Abu Dawud, dan Ahmad).

Yusayra binti Yasir melaporkan bahwa Rasulullah memerintahkan mereka (para wanita imigran) agar secara teratur mengingat Allah dengan mengucapkan tahlil (la ilaha illallah), tasbih (subhan allah), dan taqdis (allahu akbar), agar tidak pernah lupa terhadap Allah dan Rahmat yang telah diberikan-Nya dan untuk menghitung jumlah bacaan mereka dengan jemari mereka, karena jemari akan ditanya dan mereka akan berbicara. (diriwayatkan oleh Ahmad, Tirmidzi yang menyatakan gharib, Abu Dawud dan al-Hakim. Syawkani dalam Nayl al-awtar 2:316 berkata bahwa Suyuti menyatakan rantai transmisinya sahih)

Menggunakan Tasbih (Masbaha, Sibha)

Sad bin Abi Waqqas melaporkan bahwa suatu ketika Rasulullah melihat seorang wanita yang mempunyai biji kurma atau kerikil yang digunakan sebagai butiran untuk mengagungkan Allah . Rasulullah bersabda kepadanya, “Mari kukatakan sesuatu yang lebih mudah dan lebih sempurna bagimu daripada itu.” Jadi beliau menyuruhnya untuk mengucapkan:

Subhan allahi adada ma khalaqa fi al-sama,
Subhan allahi adada ma khalaqa fi al-ard,
Subhan allahi adada ma khalaqa bayna dzalik,
Subhan allahi adada ma huwa khaliq,
Allahu akbaru adada ma khalaqa fi al-sama,
Allahu akbaru adada ma khalaqa fi al-ard,
Allahu akbaru adada ma khalaqa bayna dzalik,
Allahu akbaru adada ma huwa khaliq,
Al-hamdu lillahi adada ma khalaqa fi al-sama,
Al-hamdu lillahi adada ma khalaqa fi al-ard,
Al-hamdu lillahi adada ma khalaqa bayna dzalik,
Al-hamdu lillahi adada ma huwa khaliq,
La ilaha illallahu adada ma khalaqa fi al-sama,
La ilaha illallahu adada ma khalaqa fi al-ard,
La ilaha illallahu adada ma khalaqa bayna dzalik,
La ilaha illallahu adada ma huwa khaliq,
La hawla wa la quwwata illa billahi adada ma khalaqa fi al-sama,
La hawla wa la quwwata illa billahi adada ma khalaqa al-ard,
La hawla wa la quwwata illa billahi adada ma bayna dzalik,
La hawla wa la quwwata illa billahi adada ma huwa khaliq,

Mahasuci Allah sebanyak jumlah ciptaan-Nya di langit
Mahasuci Allah sebanyak jumlah ciptaan-Nya di bumi
Mahasuci Allah sebanyak jumlah ciptaan-Nya di antaranya
Mahasuci Allah sebanyak yang Dia ciptakan
Lalu ulangi semua yang ada di atas 4 kali, dengan mengganti Mahasuci Allah dengan “Allah Mahabesar” pada ulangan pertama, “Segala puji bagi Allah” pada ulangan kedua, berikutnya “Tiada Tuhan selain Allah” dan “Tiada daya dan kekuatan melainkan dengan pertolongan Allah.”

Safiya binti Huyayy, istri Rasulullah berkata, “Rasulullah mendatangiku dan di depanku terdapat 4000 biji kurma untuk menghitung tasbih (subhan Allah). Beliau berkata, ‘Kamu banyak sekali bertasbih! Maukah kamu kuajarkan kalimat yang bisa meringkas tasbihmu?’ Dia berkata, ‘Ajarilah aku!’ Beliau berkata, ‘Ucapkanlah Subhan Allah adada khalqihi—Mahasuci Allah sebanyak jumlah ciptaan-Nya.’” (diriwayatkan oleh Tirmidzi yang berkata bahwa hadits ini gharib sedangkan al-Hakim dan Suyuti menyatakan sahih)

Allah berfirman dalam al-Qur’an kepada Rasulullah , “Dan tetaplah memberi peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman” (51:55). Pengingat dapat dijumpai dalam berbagai bentuk, baik untuk umum maupun pribadi. Yang digunakan untuk umum misalnya adzan, sedangkan untuk keperluan pribadi digunakan masbaha, sibha, tasbih, atau manik-manik dzikir. Semua itu telah digunakan sejak masa Sahabat Rasulullah . Karena digunakan sebagai pengingat maka tasbih sering disebut mudzakkir atau mudzakkira yang artinya “pengingat.”

Ada suatu riwayat yang dapat ditelusuri kepada Rasulullah , di mana beliau berkata, nima al-mudzakkir al-sibha, “Manik-manik dzikir adalah pengingat yang baik sekali!” (Syawkani meriwayatkannya dari Ali bin Abi Thalib sebagai bukti atas kegunaan manik-manik dzikir dalam Nayl al-awtar (2:317) dari riwayat Daylami dalam Musnad al-firdaws dengan mata rantainya, dan Suyuti menyatakannya dalam fatwa mengenai manik-manik dzikir dalam al-Hawi li al-fatawi (2:38)).

Pernyataan bahwa menghitung jumlah dzikir dengan manik-manik adalah sebuah inovasi atau bid’ah jelas keliru. Penggunaan manik-manik sebagai alat bantu menghitung sudah jelas dianjurkan oleh Rasulullah dan merupakan sunnah para Sahabat. Hal ini dibuktikan dengan hadits sahih Sad bin Abi Waqqas yang menyatakan bahwa Rasulullah melihat seorang wanita yang menggunakan biji kurma atau kerikil untuk menghitung jumlah dzikirnya (nawan aw hasan), dan tidak melarangnya melakukan hal itu. (Hadits ini ditemukan dalam Abu Dawud, Tirmidzi, Nisai, Ibnu Majah, Ibnu Hibban, dan Hakim. Dzahabi menyatakan sahih). Hadits sahih yang lain yang berhubungan dengan itu dinyatakan oleh Safiyya, di mana suaminya melihat Rasulullah menghitung “Subhan Allah” dengan 4000 biji kurma. (Hadits ini ditemukan di Tirmidzi, Hakim, dan Tabarani dan telah dikonfirmasikan sebagai hadits sahih oleh Suyuti).

Abu Safiyya, budak yang dibebaskan oleh Rasulullah juga menyatakan bahwa dia akan menggelar tikar untuk shalat. Selain itu dibawa pula sebuah keranjang dari daun palem yang berisi kerikil, sehingga dia dapat bertasbih hingga tengah hari. Ketika dia melakukan shalat, keranjangnya dipindahkan, dan setelah itu dikembalikan lagi ke tempatnya sehingga dia dapat melanjutkan tasbihnya hingga sore hari. (diriwayatkan oleh Ibnu Hajar dalam Isaba (7:106#625) dengan mata rantainya, disebutkan bahwa Bukhari meriwayatkannya [dalam Tarikh-nya] bagitu pula dengan al-Baghawi melalui 2 mata rantai yang berbeda. Syawkani menyatakan sebagaimana yang terlihat berikut ini)

Syawkani berkata, “Rasulullah membenarkan penghitungan dzikir degan jemari tangan dengan alasan bahwa jemari akan ditanya dan akan berbicara, yaitu mereka akan menjadi saksi terhadap pengaruh dari dzikir tersebut. Hal itu berarti menghitung tasbih dengan jemari lebih baik daripada dengan manik-manik dzikir atau kerikil. Namun dua buah hadits lainnya [Sad bin Abi Waqqas dan Safiyya binti Huyayy] menunjukkan diperbolehkannya menghitung tasbih dengan biji kurma dan kerikil atau manik-manik dzikir, karena tidak ada faktor yang membedakan di antara mereka dalam hal ketentuan Rasulullah terhadap kedua wanita itu, dan juga tidak ada tanda-tanda penolakan terhadapnya. Sementara untuk mengarahkan kepada mana yang lebih baik, ini tidak meniadakan izin untuk melakukannya (la yunafi al-jawaz). Ada beberapa laporan mengenai pengaruhnya.”

Dinyatakan dalam monograf Hilal al-Haffar melalui Mutamar bin Sulayman, dari Abu Safiyya, budak yang dibebaskan oleh Rasulullah , bahwa tikar akan digelar untuknya (Abu Safiyya) dan sebuah keranjang yang terbuat dari daun palem dan berisi kerikil dibawakan kepadanya sehingga dia bisa bertasbih hingga siang hari. Kemudian itu akan diambil dan dikembalikan lagi setelah dia selesai melakukan shalatnya, kemudian dia akan bertasbih lagi hingga sore hari. Imam Ahmad menyatakan hal ini dalam Kitab al-zuhd [dengan mata rantainya]. Ahmad juga meriwayatkannya dari al-Qasim bin Abd al-Rahman bahwa Abu al-Darda mempunyai sebuah kantong penuh dengan biji kurma yang ketika di melakukan shalat Zuhur, biji-biji itu dikeluarkan satu per satu sambil bertasbih sampai seluruhnya dikeluarkan.

Ibnu Sad dalam Tabaqat meriwayatkan [dengan mata rantainya] bahwa Sad bin Abi Waqqas biasa melakukan dzikir dengan kerikil, dan bahwa Fatima binti al-Husayn bin Ali bin Abi Thalib biasa bertasbih dengan benang yang terdiri atas beberapa simpul, dan bahwa Abu hurayra bertasbih dengan kerikil yang diikat dengan benang (al-nawa al-majmu). Abd Allah anak dari Imam Ahmad meriwayatkan dalam Zawaid al-zuhd, bahwa Abu Hurayra mempunyai untaian benang dengan 1000 simpul yang terikat padanya dan dia tidak akan tidur sampai selesai menghitung tasbih melewati seluruh simpul tersebut.

Al-Daylami meriwayatkan dalam Musnad al-firdaws melalui Zaynab binti Sulayman bin Ali, dan dari Umm al-hasan binti Jafar dari ayahnya, dari kakeknya, dari Ali, dan ini dapat ditelusuri kembali kepada Rasulullah bahwa, “Manik-manik dzikir adalah pengingat yang baik sekali!”. “Suyuthi menyatakan beberapa laporan dengan mata rantainya dalam monografnya pada subjek yang berjudul al-Minha fi al-sibha yang merupakan kumpulan fatwanya. Pada bagian akhir, dia berkata, “Tidak ada pernyataan dari salah seorang ulama Salaf dan juga Khalaf bahwa menghitung tasbih dengan sibha (manik-manik dzikir) adalah hal yang terlarang. Sebaliknya sebagian besar dari mereka justru menggunakannya untuk menghitung tasbih, dan mereka juga tidak menganggapnya makruh.” (Syawkani, Nayl al-awtar (2:316-317)).

Ulama hadits dari India, Zakariyya al-Khandlawi menyatakan bahwa Abu Hurayra berkata, “Aku membaca istighfar (memohon ampunan Allah ) 12000 kali sehari.” Dia juga menyatakan bahwa, menurut cucu Abu Hurayra, beliau memiliki seutas benang dengan 1000 simpul dan tidak akan tidur sebelum dia selesai membaca subhan Allah (Mahasuci Allah) pada semua simpul tersebut. (Zakariyya al-Khandlawi, Hayat al-sahaba). Menurut cucu perempuannya, melalui Imam al-Husayn, Fatima juga biasa menghitung dzikirnya dengan seutas benang dengan beberapa simpul.

Maulana Zakariyya melanjutkan, “Telah diketahui bahwa banyak Sahabat Rasulullah lainnya yang menggunakan manik-manik dalam memanjatkan do’a pribadinya, seperti Sad bin Abi Waqqas sendiri, Abu Safiyya, budak Rasulullah , Abu Sad, Abu Darda, dan Fatima, semoga Allah ridha terhadap mereka semua. Manik-manik yang terjalin dalam untaian benang atau tidak, tidak ada bedaannya.” Sudah menjadi ketetapan bahwa menghitung dzikir adalah sunnah Rasulullah . Beliau sendiri menasihatkan istrinya, Ali, Fatima untuk menghitung tasbih (subhan allah), tahmid (al-hamdu lillah), dan takbir (allahu akbar) masing-masing 33 kali sebelum tidur di malam hari. Ibnu Amir menyatakan bahwa di melihat Rasulullah menghitung jumlah beliau mengucapkan subhan allah dengan tangan kanannya. Ini tidak berarti bahwa tidak diperbolehkan menggunakan tangan kiri, karena Rasulullah bersabda, “Hitunglah [dzikir] dengan tanganmu.”

Dalam salah satu fatwanya, Imam Suyuti mengulang cerita Ikrima yang bertanya kepada gurunya Umar al-Maliki mengenai manik-manik dzikir. (Suyuti, al-Minha fi al-sibha (manfaat dari menggunakan manik-manik dzikir)). Umar menjawab bahwa dia juga harus bertanya kepada gurunya, Hasan al-Basri, mengenai hal itu dan dia berkata, “Sesuatu yang telah kita gunakan di awal perjalanan kita tidak ingin meninggalkannya di akhir perjalanan. Aku menyukai dzikir dengan hati, tangan, maupun lidahku.” Suyuti memberi komentar, “Dan bagaimana dengan sebaliknya, ketika manik-manik dzikir mengingatkan orang kepada Allah dan seseorang yang jarang melihat manik-manik dzikir kecuali dia mengingat Allah , yang merupakan salah satu manfaat terbesar.”

Sementara untuk pernyataan Albani yang menentang penggunaan manik-manik dzikir, penolakannya terhadap hadits nima al-mudzakkir al-sibha (lihat Silsila daifa #83 dari Albani) dan keluhannya yang sangat mengejutkan yaitu bahwa barang siapa yang membawa manik-manik dzikir di tangannya untuk mengingat Allah adalah orang yang tersesat dan bid’ah, biarkan para pembaca diarahkan kepada sangkalan mereka dalam Wusul al-tahani bi ithbat sunniyyat al-sibha wa al radd ala al-albani dari Mahmud Said.

“Suatu anggapan yang keliru bahwa manik-manik dzikir berasal dari agama Buddha atau Kristen dan tidak didukung oleh ulama, tetapi bisa saja dihilangkan seperti halnya salah seorang ulama Yahudi asal Hungaria Ignaz Goldziher (meninggal 1921) mewariskan peninggalan yang meragukan bagi literatur para orientalis.”

Tanya Jawab dengan Salafi ( Q & A )

Pertanyaan yang banyak diutarakan mengenai dzikir antara lain adalah:

Question (Q): Bagaimana pada umumnya para ulama dari keempat Mahzab berpendapat mengenai dzikir? Apakah dzikir mempunyai dasar dalam al-Qur’an dan hadits? “Salafi” menuduh orang yang duduk berdzikir bersama, baik dengan keras maupun dalam hati sebagai bid'ah, penyimpangan dan klenik.

Question (Q) : Dapatkah dzikir dilakukan dengan suara keras atau dalam hati?

Answer (A) Jawab : Beberapa “Salafi” berkeberatan dengan dzikir dengan suara keras (zahar) dan menegaskan bahwa dzikir harus dilakukan dalam hati (khafi), sementara yang lain berpendapat sebaliknya.

(Q) : Dapatkah dzikir dilakukan secara bersama-sama atau harus dilakukan secara individu?
(A) : Beberapa “Salafi” keberatan jika dilakukan secara berkelompok, mereka menyatakan bahwa dzikir harus dilakukan oleh setiap individu, tetapi yang lain keberatan kalau dilakukan secara individu sebab menurut mereka itu berarti anti sosial dan seperti di biara atau kuil.

(Q)Dapatkah dzikir dilakukan secara teratur dan frekuentif?
(A)Beberapa “Salafi” keberatan dengan hal ini sebab penekanan yang berlebihan terhadap dzikir dapat mengganggu seseorang dari usaha mencari uang, belajar, konferensi, atau jihad.

(Q) Dapatkah ada gerakan ketika berdzikir?
(A) “Salafi” menginginkan agar orang tidak bergerak ketika melakukan dzikir. Mereka akan keberatan jika ada yang melakukannya (bergerak atau bergoyang).

(Q) Dapatkah dzikir dilakukan dalam suasana yang remang-remang?Dapatkah nama ‘Allah’ diucapkan selama berdzikir?
(A) “Salafi” menyatakan tidak

(Q) Dapatkah tasbih digunakan untuk menghitung bilangan-bilangan dalam dzikir?
(A) Beberapa “Salafi” menuduh bahwa hal itu adalah bid’ah dan sesat.

Wa min Allah at taufiq

Tidak ada komentar: