Sabtu, 07 Maret 2009

Penolakan terhadap Hadis Nabi Muhammad saw oleh Wahabi Salafi

Penolakan terhadap Hadis Nabi Muhammad saw oleh Wahabi Salafi

Mawlana Syaikh Hisyam Kabbani
ditranslasi dari The Approaching to Armageddon

Allah menganugerahi Nabi saw. dengan kemampuan prediksi yang luar biasa untuk menggambarkan situasi yang terjadi kini pada 1400 tahun yang lalu. Beliau dapat menyaksikan orang-orang yang mengklaim hanya mengikuti Alquran dan mengabaikan hadis atau sunah Nabi, yang mencakup seluruh perbuatan dan perkataan beliau serta tindakan dan pendapat orang yang beliau setujui.

Abû Râfi‘ meriwayatkan bahwa Nabi saw. bersabda: Kalian akan menemukan orang yang duduk di kursi tinggi yang empuk. Kemudian datang kepada mereka perintah dariku yang menghalalkan dan mengharamkan sesuatu. Mereka berkata, “Kami tidak tahu mengenai hal itu. Kami hanya mengikuti apa yang kami temukan dalam Alquran.”
Nabi saw menggambarkan mereka yang menolak hadis sebagai orang yang
duduk di atas kursi, sebagai kiasan bahwa mereka menganggap kedudukan mereka sangat tinggi. Ketika perintah atau larangan Nabi dikemukakan kepada mereka, mereka akan menolaknya, sambil berkata, “Kami hanya mengikuti Alquran, dan kami tidak tahu atau tidak peduli dengan apa yang dikatakan dalam hadis.” Hari ini, orang-orang semacam itu duduk, sebagaimana yang dilukiskan oleh Nabi saw., sambil mengklaim hanya mengikuti Alquran dan menolak hadis.

Orang-orang semacam itu tidak memiliki latar belakang ilmu keislaman, dan mereka bukan ulama sejati. Mereka menduduki posisinya melalui kekuasaan, bukan karena kualitas dan keutamaan mereka, dan kemudian mengklaim diri sebagai wakil umat Islam. Ironisnya, orang-orang yang tidak layak memimpin itu justru ditunjuk sebagai juru bicara orang-orang Islam, meskipun mereka menolak hadis Nabi.

Adalah jauh lebih sulit untuk menolak Alquran, karena itu berarti
menentang Tuhan secara langsung. Sebagai gantinya, mereka menjatuhkan kedudukan dan kehormatan Nabi saw. agar dapat mendiskreditkan literatur hadis, dengan mengatakan, “Nabi adalah manusia biasa seperti kita. Ia datang, menyampaikan risalahnya, dan setelah itu pergi.” Mereka lupa bahwa Allah menyebut Nabi saw. dengan nada pujian abadi.

Dan tiadalah Kami mengutus kamu melainkan untuk menjadi rahmat bagi
semesta alam. (Q 21:107). Lebih jauh lagi, Allah menegaskan bahwa Nabi saw. tidak berbicara atas namanya, dan tidak pernah berbicara menurut selera pemikiran, gagasan, nafsu, keinginannya, apakah keinginan baik maupun buruk. Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang disampaikan kepadanya. (Q 53:3–4). Itu berarti bahwa hadis Nabi merupakan wahyu yang diturunkan langsung dari Allah. Atas segala kejadian yang dialaminya selama hidup, Allah mewahyukan kepada beliau apa yang harus ia katakan, apa yang harus ia lakukan dan jelaskan.

Al-Miqdâm ibn Ma‘dî Karb meriwayatkan bahwa Nabi saw. bersabda: Akan
datang suatu masa ketika orang akan duduk di kursi tinggi yang empuk, di tengah-tengah orang banyak yang sedang membicarakan salah satu hadisku, dan ia berkata, “Yang ada antara aku dan kalian adalah Kitabullah (Alquran). Apa pun yang diperbolehkan dalam Alquran, akan kami perbolehkan. Apa yang dilarang dalam Alquran, akan kami larang.” [Lalu Nabi saw. bertanya] “Bukankah yang dilarang Nabi juga dilarang Tuhan?”

Orang-orang yang menolak hadis dan mengklaim hanya mengikuti Alquran
sebenarnya sama sekali tidak memahami Alquran. Ada banyak bukti yang
sangat jelas dalam Alquran sendiri tentang perlunya mengikuti Nabi saw. dan sunahnya. Tidak ada pemisahan antara Alquran dan sunah, karena keduanya saling melengkapi, dan berjalan seiring. Kenyataan tersebut disebutkan dalam berbagai ayat Alquran, termasuk ayat-ayat berikut ini: Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah dia, dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. (Q 59:7). Hai orang-orang beriman, taatilah Allah, dan taatilah rasul dan ulil amri di antara kalian. (Q 4:59). Dan taatilah Allah dan taatilah Rasul, supaya kamu diberi rahmat. (Q 3:132).

Katakanlah, “Jika kamu benar-benar mencintai Allah, ikutilah Aku,
niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu,” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Q 3:31). Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu, yaitu bagi orang yang mengharap rahmat Allah dan kedatangan Hari Kiamat, dan dia banyak menyebut nama Allah. (Q 33:21)

Nabi saw. bersabda: Aku tinggalkan di tengah-tengah kalian dua hal,
selama kalian memegang teguh keduanya, kalian tidak akan pernah
tersesatkan: Kitab Allah dan sunah Nabi-Nya. Mereka yang menolak hadis sebenarnya tidak mendalami pengetahuan Islam dari sumber-sumber tradisional yang otentik. Sejak awal perkembangan sejarah Islam, telah terbentuk sistem ijâzah dalam hal belajar dan otorisasi.

Sistem tersebut melibatkan pengajaran dari seorang guru yang memberi
otoritas kepada muridnya ketika ia berhasil menguasai sebuah bidang
tertentu. Seorang guru pada gilirannya dipandang berkompeten oleh gurunya, yang juga telah dipandang berkompeten oleh gurunya, dan demikian seterusnya dalam sebuah rantai yang terhubung hingga kepada salah seorang sahabat yang belajar langsung kepada Nabi saw.

Terdapat penekanan yang sangat kuat terhadap keharusan mempunyai
seorang guru agama yang mumpuni. Dalam Kanz al-‘Ummâl karya al-Hafizh ibn ‘Alî, ditemukan sebuah hadis, “Ya ‘Umar, agamamu adalah darah dan dagingmu. Perhatikanlah, dari mana kamu mengambil agamamu; ambillah dari mereka yang berada di jalan yang lurus dan janganlah mengambil dari orang yang sesat.” Imam Muslim berkata, “Pengetahuan (tentang diri) yang luar biasa ini merupakan perwujudan agama itu sendiri.

Jadi, kalian harus mengetahui dari mana kalian mengambil agama kalian.” Seorang ulama berkata, Pengetahuan merupakan ruh yang ditiupkan ke dalam hati. Ia bukan filsafat atau dongeng indah yang dituliskan. Maka berhati-hatilah dari mana kalian mengambilnya.”
Mereka yang disebutkan Nabi sebagai orang yang menolak hadis tidak
memiliki semacam jalur keilmuan yang terhubung dan terlacak hingga Nabi saw. melalui salah seorang sahabat, dan salah seorang dari empat imam mazhab, yang bisa memberikan lisensi untuk menunjukkan pengetahuan dan kompetensi mereka. Kini, orang-orang Islam telah merusak jalur hubungan itu dengan tidak memelihara rantai periwayatan yang tersambung.

Apa yang mereka pelajari sangat meragukan atau mungkin bertentangan
dengan pemahaman kesarjanaan Islam selama empat belas abad. Bahkan, ada beberapa orang Islam yang mempelajari Islam di universitas-universitas sekuler dari para profesor nonmuslim yang berargumen bahwa tidak ada hadis yang bisa dipercaya kesahihannya. Orang-orang orientalis ini menolak hadis, dan menyebutnya sebagai bikinan manusia, dan dengan pendapat tersebut mereka telah meracuni pikiran orang-orang Islam.

Orang-orang Islam belajar dari mereka dan berpikir bahwa mereka adalah pakar ilmu keislaman. Mereka mulai bertaklid kepada guru mereka itu, dan berkata, “Kami hanya membaca Alquran,” dan mereka sepenuhnya mengabaikan hadis. Allah berfirman:Maka demi Tuhanmu, mereka pada hakikatnya tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya. (Q 4:65)

Sepanjang sejarah, orang Islam tak pernah menerima Alquran saja sambil menolak hadis. Sangat membingung kan jika kita melihat beberapa pemimpin Islam dan pengikut mereka yang berkutat dengan dunia internet ternyata menolak hadis. Lima puluh tahun yang lalu, fenomena ini belum terdengar, dan kini ideologi tersebut dapat dijumpai hampir di semua masjid di Barat dan di seluruh dunia.

Banyak orang menolak hadis dan sunah Nabi, dan itu baru terjadi pada
masa kita sekarang ini. Nabi saw. mengatakan bahwa orang-orang semacam itu akan muncul di akhir zaman, dan kini kita sedang menghadapinya.Alquran diturunkan untuk semua manusia dan untuk semua zaman, dan dalam surah al-Nisâ’ ayat 64, Allah menggugah setiap orang Islam untuk datang kepada Nabi dan memohon wasilahnya sehingga Allah akan memberinya ampunan.

Dewasa ini mereka yang tidak mengakui kedudukan Nabi sebagai wasilah
dalam kehidupan dunia dan akhirat, atau dengan kata lain mengklaim bahwa beliau tidak punya kemampuan sedikit pun untuk menyaksikan umatnya dari alam kubur, atau menjadi wasilah atas nama mereka, semakin bertambah jumlahnya. Mereka seharusnya memerhatikan peringatan Nabi dalam hadis berikut: ‘Abd al-Rahmân ibn ‘Abd al-Rahmân ibn ‘Abd Allâh ibn Mas‘ûd dari ayahnya, ia mendengar Nabi saw. bersabda, “Barang siapa berdusta atas namaku, maka bersiap-siaplah mengambil tempat duduknya di neraka.”

Wa min Allah at Tqwfiq

Tidak ada komentar: