Jumat, 10 Oktober 2008

Pertanda Kebaikan

Dua Pertanda Kebaikan...

'Bila kamu shalat, jadikanlah itu seolah-olah shalat orang yang mengucapkan selamat tinggal." (Hadis)

Kisah ini menceritakan tentang kemuliaan Nana (71) seorang wanita yang wafat ketika shalat subuh dan mayatnya masih utuh setelah lima belas tahun dikubur. Walaupun kisah yang terjadi ini sudah cukup lama, namun peristiwa tersebut dapat dijadikan iktibar sekaligus memberi hikmah bagi kita yang masih hidup.

Bagaimana kisah hidup wanita tersebut hingga ia meninggal dalam keadaan husnul khatimah yang terlihat pada keajaiban jasadnya itu? Silahkan Anda simak kisah ini sampai tuntas.

Jejen (40-an) menceritakan bahwa peristiwa kematian ibunya sangat tiba-tiba dan tanpa diduga sama sekali. Sebelum ajal menjemput, menurut Jejen, tidak ada firasat apa pun. Tidak juga ada pertanda kalau ibunya sedang sakit. Semuanya berjalan normal, Malam itu, ketika Jejen hendak shalat Isya, seperti biasa Jejen melihat ibunya sudah lebih dahulu melaksanakan shalat Isya di kamarnya.

Beberapa saat setelah usai shalat, lantunan ayat-ayat Al Quran dari kamar ibunya terdengar jelas di kamar Jejen. Ketika Jejen sudah berada di atas dipannya, lamat-Iamat suara ibunya membaca Al Quran terdengar mengiringi rasa kantuknya. Sedangkan suasana malam yang begitu senyap membuat Jejen semakin tak mampu lagi terjaga, Ia lelap tertidur.

Waktu terus merambat. Tak terasa malam pun berganti memasuki dini hari. Ketika waktu Subuh telah tiba, seperti biasanya Nana terjaga dengan sendirinya dan bergegas mengambil wudhu, Sedangkan suara gemercik air saat ibunya mengambil wudhu membangunkan Jejen dari tidurnya. Tak lama kemudian, melalui celah-celah dinding gedeg pemisah kamar mereka, secara perlahan Jejen mendengar bacaan shalat yang keluar dari mulut ibunya.

Ketika sedang asyik mendengarkan bacaan Qunut yang dilantunkan ibunya, seketika itu juga Jejen terhentak dan beranjak dari tempat tidurnya, karena dia mendengar suara seperti orang jatuh dari kamar ibunya. "Bruuuk !" Suara itu cukup keras.

Ketika dilihat, Jejen menemukan ibunya sudah tersungkur dalam posisi miring. Sementara kedua tangannya masih dalam posisi menengadah, sebagaimana layaknya orang yang tengah berdoa. Dalam situasi yang amat panik itu, Jejen hanya bisa berteriak memanggil-manggil ibunya.

"Ibu! Ibu!" teriak Jejen sembari mengguncang-guncang tubuh perempuan tua itu. Tapi sang ibu hanya diam, tak bergerak sedikit pun. Jejen segera memeriksa denyut nadi ibunya, dan alangkah terkejutnya Jejen, ketika mengetahui nadi di pergelangan tangan wanita tua tersebut sudah tidak berdenyut lagi. "Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un." Itulah kalimat yang terucap saat Jejen mengetahui bahwa ibunya telah wafat.

Betapa indahnya kematian yang dialami perempuan berusia 71 tahun ini. Ia berpulang masih dalam keadaan suci, masih memiliki wudhu, serta ketika sedang melaksanakan shalat Subuh. Inilah salah satu pertanda seorang manusia yang dipanggil Tuhannya dalam keadaan husnul khatimah.

Keliling kampung

Sekitar sebulan sebelum kematian wanita itu, Jejen bercerita bahwa ibunya sempat berkeliling kampung. Ia mendatangi semua orang yang dikenalnya untuk meminta maaf apabila ada kesalahan baik sengaja atau tidak disengaja. Bahkan ketika berpapasan dengan orang-orang yang tidak dikenalnya pun ia sempat meminta maaf kepada mereka. Siapa sangka hal ini merupakan suatu pertanda bahwa ia akan segera meninggal.

Perbuatan ibunya seperti itu menurut Jejen memang sempat mengundang perhatian banyak orang. Ada saja orang yang mencemooh Nana dan menganggapnya seperti orang yang kurang waras dan kurang kerjaan.

"Biarin ibu disebut gila, Jen. Ibu sih sabar wae. Masak orang gila suka shalat, suka mengaji," kenang Jejen menirukan perkataan ibunya.

Setelah meninggal, jenazah Nana dikebumikan di atas tanah miliknya di sekitar rumahnya. Hal ini memang pesan Nana kepada Jejen selagi masih hidup.

Limabelas tahun kemudian

Tanpa terasa kepergian ibunya sudah berjalan sekitar 15 tahun. Dalam masa yang panjang itu Jejen sudah dikarunia dua orang anak dari pernikahannya dengan Fatimah, wanita yang sengaja dipilihkan ibunya untuk mendampingi Jejen.

Suatu ketika, tiba-tiba muncul peristiwa di mana diketahui bahwa tanah waris ibunya telah berpindah tangan. Menurut pengakuan Jejen, dirinya tidak bisa berbuat apa-apa ketika muncul sosok yang mengaku sebagai ahli waris ibunya. Secara singkat Jejen menceritakan bahwa tanah yang ditempatinya itu adalah hak saudara ibunya. Sayang ketika ibunya meninggal, Jejen tidak mendapat wasiat maupun hak waris mengenai tanah yang ditempatinya itu. Ibunya pun tak sempat bercerita mengenai asal muasal tanah itu.

Karena di antara tetangga ada yang mengetahui bahwa orang yang mengaku berhak atas tanah itu memang salah satu keluarga almarhumah, membuat posisi Jejen semakin lemah. Agar tidak terjadi keributan lebih panjang, Jejen akhirnya pasrah dan membiarkan orang tersebut menguasai tanah yang diakui sebagai haknya. Masalahnya adalah di atas tanah tersebut terdapat makam ibu Jejen sedangkan tanah itu akan segera dijual oleh yang bersangkutan. Maka atas kesepakatan dalam musyawarah keluarga yang dihadiri oleh para tokoh masyarakat setempat, makam Nana akan dipindahkan ke tempat lain.

Penggalian kuburan

Penggalian kuburan pun dilakukan dan dipimpin oleh Ustadz Suhad, tokoh agama setempat yang juga guru mengaji almarhumah. Proses penggalian berlangsung lancar. Dari lubang kubur, ternyata mayat Nana masih terbungkus kain kafan. Peristiwa itu membuat Jejen, Ustadz Suhad serta beberapa orang yang turut menggali atau menyaksikannya terkejut.

Setelah diangkat, Jenazah Nana masih utuh layaknya jenazah baru yang akan dimakamkan. Daging yang melekat di tubuh Nana tidak terasa lembek di tangan orang yang mengangkatnya. Jenazah Nana seperti tidak termakan oleh waktu dan tanah.

Keadaan ini memang tidak masuk akal. Sebab kematian Nana sudah berselang 15 tahun yang silam. Logisnya kain kafan dan seluruh tubuh Nana sudah hancur kecuali tinggal tulang belulangnya. Tetapi kenyataannya tidak demikian. Jenazah Nana masih utuh.

Inilah kekuasaan Allah SWT. Tidak ada yang tidak mungkin bila Dia menghendaki. Sebab dalam Al Quran Allah pun berfirman yang artinya : "Dan Allah menetapkan hukum (menurut kehendakNya) tidak ada yang dapat menolak ketetapanNya. Dan Dialah yang maha cepat hisabnya." (Ar Ra'd 13 : 41).

Karena kejadian ini sempat menghebohkan warga sekitar, maka sebelum jenazah itu dikuburkan kembali di tempat lain, masyarakat berduyun-duyun melihat secara dekat. Peristiwa ini pun langsung menjadi bahan perbincangan. Banyak orang ingin mengetahui bagaimana sesungguhnya sosok Nana semasa hidup.

Dari mengadopsi yatim sampai menjodohkannya

Jejen menceritakan bahwa semasa mudanya Nana adalah wanita yang kurang beruntung dalam kehidupan berumah tangga. Ia mengalami empat kali pernikahan, tetapi keempat-empatnya gagal, alias berakhir dengan perceraian. Pada pernikahannya yang keempat, Nana mengadopsi seorang anak laki-laki yang masih berusia 2 tahun. Anak laki-laki itu adatah Jejen. Sedangkan ibu kandung Jejen yang diketahui telah menikah dengan seorang pria dari Sumatera Selatan, pergi bersama suaminya.

Meski Jejen adalah anak angkat, Nana memperlakukannya seperti anak kandungnya. Meski Nana begitu menyayangi Jejen, ia tetap disiplin dalam menanamkan nilai-nilai agama. Nana berprinsip, anak merupakan titipan Allah.

"Beliau memang agak cerewet, tetapi sesungguhnya orangnya sangat baik. Ketika saya masih kecil, saat beliau menyuruh saya shalat, beliau akan terus menyuruh saya hingga saya benar-benar mengerjakan shalat," kenang Jejen mengingat kebaikan ibu angkatnya itu.

Kebaikan Nana terhadap Jejen, memang tidak perlu diragukan. Hal itu dirasakan betul oleh Jejen. Bahkan selama hidupnya ia tidak pernah merasa dimarahi apalagi sampai ada hukuman fisik.

Ketika Jejen sudah cukup dewasa, perhatian dan kasih sayang Nana terhadap anak angkatnya itu tetap tidak berubah. Bahkan Nana pula yang menjodohkan Jejen pada seorang wanita yang kini menjadi istrinya. Kala itu Nana menganggap Jejen tidak pandai dalam memilih calon istri.

"Kamu nggak bakalan bisa memilih calon istri, ibu saja yang memilihkan. Cari istri itu yang getol ibadahnya, sayang sama kamu, sayang juga sama ibu. Ibu ada calon untuk kamu. Dia itu cucunya kiyai." Jejen mencoba meniru ucapan ibunya.

Jejen mengaku, sampai saat ini ia merasakan betul kebenaran ucapan almarhumah ibunya tentang Fatimah, istri Jejen yang dipilihkan ibunya itu.

Taat ibadah dan hormat pada guru

Nana adalah sosok wanita yang taat dan rajin dalam menjalankan ajaran agamanya. Tidak hanya shalat lima waktu, tahajud, shalat sunah lainnya pun seringkali dilakukannya. Puasa dan zakat tidak pernah luput dari perhatiannya termasuk puasa-puasa sunahnya. Sedangkan lantunan ayat suci Al Quran hampir setiap malam dikumandangkannya.

"Yang saya ingat, ibu sering sekali membaca surat Al Mulk dan Al Waqiah," tutur Jejen.

Selain itu, Nana pun sangat menyenangi menghadiri majelis-majelis pengajian di kampungnya hingga kampung tetangga. Dalam seminggu paling tidak, Nana mengunjungi tiga tempat majelis pengajian secara rutin.

Terhadap guru mengajinya, Nana sangat menghormati dan mencintainya. Hal itu diperlihatkan dengan sering membantu gurunya dalam sisi ekonomi. Misalnya sering memberi/mengantarkan makanan dan kadang kala uang. Semasa hidupnya, kata Jejen, ibunya pernah mendambakan untuk bisa menunaikan ibadah haji. Namun karena kondisi ekonomi tidak memungkinkan, hal itu hanya tinggal keinginan. Selain itu, Nana pun berkeinginan untuk memiliki sebuah pesantren. Namun meskipun keinginan ini juga tidak terlaksana, ia sempat mewakafkan sebidang tanah yang kemudian di atas tanah itu berdiri Pesantren Al Jiddi yang kepemimpinannya dipercayakan kepada Ustadz Suhad.

Dalam kehidupannya yang sederhana, Nana dikenal para tetangganya sebagai orang yang dermawan, taat beribadah, dan dapat menjadi contoh bagi wanita-wanita lain. Mereka melihat pada diri Nana suatu pelajaran bahwa hidup manusia tidak berarti apa-apa jika jauh dari Allah SWT. Karenanya mendekatkan diri pada-Nya setiap saat merupakan jalan yang terbaik sebelum maut menjemput.

Tidak ada komentar: